Sudah 63 Tahun Indonesia Merdeka! Betulkah?
Oleh: Abdul Hamid (Dosen Fakultas Sastra Unpad)
Tanggal 17 Agustus sudah berlalu. Berarti sudah enam puluh tiga kali tanggal itu diagung-agungkan dan diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai tanggal kemerdekaan negeri. Pesta dan atau syukuran kemerdekaan negeri kita tercinta pun usai sudah. Segala kegitan yang berkaitan dan atau dikait-kaitkan dengan hari ulang tahun keenam puluh kemerdekaan pun beres sudah dilaksanakan, mulai tingkat RT hingga tingkat negara. Mulai yang khidmat, sederhana, sampai yang hura-hura dan juga pura-pura. Ada banyak yang dipahlawankan karena memang patut menjadi pahlawan. Ada juga yang memahlawankan diri sendiri karena merasa patut menjadi pahlawan atau karena alasan lain yang sangat 'entah'. Wallahu'alam. Kedua jenis pahlawan ini selalu disebut minimal satu kali selama enam puluh tahun. Maksimalnya pahlawan selalu ada dalam buku-buku pelajaran atau buku-buku otobiografi.
Selama enam dasawarsa kita telah memiliki enam orang yang dipresidenkan dan atau mempresidenkan. Tentu saja sejarah telah mencatat bahwa itu tidak berarti tiap presiden menguasai negara masing-masing sepuluh tahun. Yang jelas dengan sudah pernah dipresideni oleh lima orang anak negeri dan sedang dipresideni oleh satu orang lagi berarti bangsa Indonesia memiliki negara. Punya undang-undang dasar yang disebut Undang-Undang Dasar 1945 lagi. Pun punya lambang negara yang disebut Garuda yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Juga bendera kenegaraan yang dinamai Sang Saka Merah Putih. Tidak ketinggalan ada juga lagu kebanggaan milik kita, Indonesia Raya, yang jika dinyanyikan menjadi Endonesia Raya - kalau yang nyanyinya buta huruf. Ada bahasanya sendiri. Ada rakyatnya pula. Lengkaplah sudah sebagai syarat untuk sebuah negeri. Hebat! Merdeka!
Tunggu dulu. Betulkah kita Merdeka? Kita renungkan kembali makna yang terdalam dari kata merdeka. Bulan Agustus 2005 Belanda baru secara resmi mengakui kemerdekaan kita. Padahal kita mengakui kemerdekaan sejak Soekarno-Hatta memproklamirkannya pada tanggal 17 Agustus 1945, enam puluh tahun yang lalu. Mengakui sesuatu belum tentu memiliki sesuatu itu. Contoh, kita mengakui bahwa si A adalah pacar kita, namun belum tentu kita memiliki si A itu. Nah, apakah dengan mengakui kemerdekaan kita berarti kita memiliki kemerdekaan tersebut?
Jika kita telusuri, kini ternyata kita baru memiliki kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers. Sebelum reformasi, mata dan telinga negara dipasang di mana-mana. Kata jangan-jangan senantiasa menempel atau ditempelkan pada setiap pendapat, balik lisan maupun tulisan. Seluruh pendapat harus mengacu pada satu ungkapan yang begitu sakti: demi pembangunan! Kalau tidak begitu, tindakan subversiflah ancamannya. Kita bisa-bisa mendekam di penjara. Itu masa lalu. Kini zaman sudah berubah.
Pada sisi lain, ternyata kita belum sepenuhnya memiliki kemerdekaan berbangsa. Misalnya, dari sisi ekonomi dan politik kita masih terjajah. Kedua bidang ini masih belum kita tentukan sendiri. Kita masih bergantung kepada bangsa dan negera lain. Nilai rupiah sangat bergantung pada nilai dollar atau yen, atau yang lainnya. Pendeknya, kita masih dicoo gado (ungkapan bahasa Sunda yang berarti sangat dipermainkan dengan tidak sopan) oleh bangsa lain. Seolah-olah kita mati kutu. Tidak berkutik.
Pada sisi lainnya lagi, kita pun masih terjajah oleh bangsa lain. Misalnya pada gaya hidup. Pengertian gaya hidup modern disamakan dengan pembaratan (baca: Amerika). Amerika memakai bahasa Inggris. Tentu saja bahasa Inggris Amerika, bukan bahasa Inggris yang ada di negara Inggris. Bahasa Inggris pun sebagai bahasa nomor satu di dunia. Karena itu, dengan serta-merta bangasa kita sejak 1972 - melalui Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan juga Pedoman Umum Pembentukan Istilah - tidak lagi berorientasi pada bahasa Belanda, melainkan pada bahasa Inggris-Amerika. Bahkan dalam penulisan nilai uang rupiah pun kita mengikuti gaya Amerika.
Mengapa dalam bahasa Indonesia kita mesti menuliskan uang sebesar lima ribu rupiah, misalnya, di belakangnya harus memakai angka nol-nol yang menyatakan satuan sen - Menurut Ejaan Yang Disempurnakan penulisannya adalah Rp5.000,00. Dollar Amerika memakai sen, rupiah pun memakainya. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari tidak akan ditemukan nilai nominal sen. Kini kita hanya akan menemukan nilai nominal uang rupiah paling terkecil lima puluh rupiah. Itu pun sangat-sangat tidak berarti.
Indonesia belum merdeka, semuanya dapat kita intip melalui kebahasaan. Dulu orang memakai atau menyelipkan kosakata bahasa Belanda agar dianggap terpelajar atau ningrat. Sejak tahun 1972 bahasa Inggris yang memegang kendali. Untuk memperlihatkan keterpelajaran atau kemodernan, sebagian di antara kita memamerkan "kemahiran" berbahasa Inggris, baik secara lisan maupun secara tertulis. Padahal sasaran yang dituju belum tentu memahaminya atau dia sendiri tidak paham. Sebagai contoh, saya pernah mendengar seorang profesor dalam seminar mengatakan, "Kita harus berpikir positip tingking." Padahal yang dimaksuk adalah Kita harus berpikir positif atau kalau mau campur Kita harus Positive thingking.
Produk-produk buatan Indonesia untuk dikonsumsi orang Indonesia pun memakai bahasa Inggris. Toko-toto besar (mall) dan juga toko-toko kecil memasang label dengan bahasa Inggris untuk menandakan kemodernan. Padahal dapat dipastikan bahwa pengunjung atau calon pembelinya 99,99% tidak mahir berbahasa Inggris. Saya pernah diajak teman pergi menuju toko besar yang baru dibuka sebagian. Sang teman rupanya sedang lapar, maka dia mengajak saya makan sop opening. Dia menyangka sop opening itu semacam sop kaki atau sop buntut. Padahal maksud si toko adalah soft opening.
Ketika naik angkutan kota, saya pernah mendengar seseorang membaca stiker iklan sebuah toko besar. Iklan itu berbahasa Indonesia, namun ada juga bahasa Inggrisnya: CUT PRICE. Orang itu membacanya seperti menyebutkan nama Aceh: Cut Keke, Cut Tari, Cut Mini, atau Cut Nyak Dien, buak [kat praiss]. Dia bertanya kepada teman di sampingnya siapa yang lebih cantik, Cut Keke atau Cut Prise.
Nah, jika Anda termasuk orang modern atau terpelajar silakan pergi ke restoran dan coba pesanlah escargot dengan mengatakan kepada pelayan, "Mas/Mbak, jangan terlalu banyak esnya."
Pelayan pasti kebingungan atau bahkan cengar-cengir. Percayalah!
(Disajikan saat Hari Buku Nasional 18 Mei 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar