Sabtu, 24 Mei 2008

Objek Wisata Air di Thailand

Berbelanja & Melancong di Sungai

DAMNOEN Saduak yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Bangkok merupakan salah satu pasar air yang paling banyak dikunjungi wisatawan, selain "floating market" Taling Chang, Bang Khu Wiang, Chao Phraya, Thonburi, dan lainnya.* RETNO HY/"PR"

THAI Girl Show atau oleh wisatawan Indonesia --bahkan akhirnya diakui oleh masyarakat Thailand-- dipelesetkan menjadi tiger show (tari telanjang), tentu bukan menjadi satu-satunya alasan mengapa turis datang ke Thailand. Demikian pula halnya dengan menyaksikan Tiffany Show, kabaret yang dimainkan para waria yang kulitnya lebih mulus daripada wanita Thailand di Pattaya.

Ada sejumlah pelosok di Thailand yang dapat dikunjungi dan menjadi daerah tujuan wisata. Salah satunya adalah wisata berbelanja di sungai yang lebih dikenal dengan floating market atau wisata air. Damnoen Saduak yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Bangkok dan Chao Phraya, merupakan dua sungai yang paling banyak disusuri wisatawan. Namun, ada juga floating market lainnya seperti Taling Chang, Bang Khu Wiang, Thonburi, dan lainnya.

Kenapa Damnoen Saduak? Suasana yang masih tradisional dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di pinggiran sungai Saduak merupakan suatu hal yang menarik. Selain itu, perilaku pedagang saat menawarkan barang dagangan di atas sungai dengan menggunakan sampan, memaksa wisatawan untuk turut terlibat bertransaksi. Para pembeli tentunya harus menggunakan sampan juga dengan ongkos 100 bath (atau sekitar Rp 33.000,oo, kurs 1 Bath Rp 330,00) per orang.

Ada banyak buah-buahan Thailand yang terkenal sangat besar-besar seperti jambu air, pepaya, pisang, jambu batu, dan lainnya yang ditawarkan. Demikian pula olahan buah-buahan untuk dijadikan oleh-oleh semisal keripik durian, manisan asam, buah longan kering, juhi pedas, serta khanom (kue-kue khas Thailand).

Selain makanan, sutra Thai, katun, nielloware, kerajinan dari perak, perunggu, dan keramik juga banyak ditawarkan. Termasuk makanan khas Thailand celadon dan pewter. Meski lama memilih dan menawar, para pedagang dengan menggunakan alat bantu kalkulator begitu sabar dan sopan melayani. Menurut Macharo, penyedia sampan, suasana floating market di Damnoen Saduak tidak pernah sepi oleh aktivitas warga. Pun dengan kunjungan wisatawan yang setiap harinya mencapai tidak kurang dari 500 orang.

Selain Damnoen Saduak, wisatawan juga dapat mengunjungi floating market di Sungai Chao Praya yang merupakan sungai terbesar di Thailand dan membelah negeri gajah putih ini. Sungai ini merupakan gabungan dari empat sungai yang terbentang dari utara ke selatan sepanjang 370 km melewati 10 provinsi di Thailand dan membelah Bangkok menjadi dua bagian, ibukota lama dan ibukota baru.

Menyisir sungai ini bisa menggunakan perahu dengan tarif 200 bath (sekitar Rp 66.000,00) per orang. Selain berbelanja, kita juga dapat mengunjungi situs wisata di sepanjang sungai. Salah satunya adalah Prangs of Wat Arun, kuil terbesar di Thailand. Seperti di Borobudur, pengunjung bisa menaiki kuil meski tidak sampai puncak. Dari ketinggian sekitar 25 meter, terpampang pemandangan indah pesisir Sungai Chao Praya.

Sekitar 1 km dari Wat Arun, kita memasuki kawasan floating market Chao Praya. Berbeda dengan di Damnoen Saduak, di sini jumlah pedagang berperahu lebih banyak. Dalam menjajakan dagangannya, mereka tidak hilir mudik atau di pinggiran sungai, tetapi ditengah-tengah sungai. Selain itu, para penjual sangat agresif menjajakan dagangannya. Begitu pera-hu wisatawan datang, mereka langsung mendekat dengan kecepatan tinggi.

Jika merasa tertarik, transaksi bisa langsung dilakukan. Jangan segan menawar karena harga yang ditawarkan lebih mahal dari pasar tradisional di Wat Arun. Sekitar 200 meter dari pasar terapung ke arah hulu Sungai Chao Phraya, perahu berhenti di depan sebuah kuil, The Temple of The Emerald Buddha. Di depan patung Buddha raksasa, memberi makan ikan patin menjadi suguhan atraksi bagi wisatawan.

Ya, pinggiran sungai di depan The Temple of The Emerald Buddha merupakan "rumah" bagi ribuan ikan patin. Pemilik perahu menyediakan roti seharga 20 bath (Rp 6.600,00) sebagai makanan ikan. Begitu dilempar ke sungai, ikan-ikan patin bermunculan ke permukaan. Mereka berebut potongan roti tawar itu. Ukuran ikan-ikan itu beragam. Rata-rata sebesar lengan orang dewasa.

Menurut cerita, ikan-ikan itu memang dibiarkan hidup. Warga sekitar memegang teguh kepercayaan untuk tidak menangkap, apalagi makan ikan patin tersebut. "Ada cerita, dulu ada warga yang makan ikan ini. Tapi, satu keluarga kemudian sakit," ujar Angnuh.

Prosesi memberi makan ikan patin ini termasuk yang digandrungi wisatawan ketika di Bangkok. Agen wisata pun menjadikannya sebagai tujuan wajib bagi wisatawan. Dari Sungai Chao Praya juga bisa menikmati indahnya The Majestic Grand Palace, istana Raja Thailand Bhumibol Adulyadej.

Bisnis wisata memang sudah mengaliri seluruh denyut kehidupan warga Thailand. Pemerintahnya pun tidak tanggung-tanggung dalam memberikan kemudahan dan sokongan. Belanja di atas sungai dan memberi makan ikan patin pun menjadi daya tarik bagi wisatawan. (Retno HY/"PR")

                                                                                 ***

Keamanan yang Membuat Nyaman

"SAWASDEE khrap!" Salam disertai senyuman ramah petugas bandara, menyapa begitu rombongan yang dipimpin H. Cipto Rachmat, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Pusat Ikatan Olahraga Dansa Indonesia (PP IODI), tiba di Suvarnabhumi International Airport, Bangkok Thailand, Jumat (18/4) pukul 20.15 waktu setempat yang tidak berbeda dengan di Jakarta (WIB).

Sapaan serupa disertai bahasa Inggris patah-patah juga dilontarkan Asathai, pemandu yang menjemput dan akan mengantarkan rombongan dari Bandara Internasional Thailand menuju Hotel Bangkok Inter Place di kawasan Ramkhamhaeng, Huamark, Bangkapi, Kota Bangkok.

Lagi-lagi sawasdee khrap, menyapa kami dari sopir kendaraan yang akan membawa kami menyusuri jalanan Si Rat Expressway. "Sawasdee khrap!" senantiasa meluncur dari orang-orang setempat dalam setiap perjumpaan.

Meski malam sudah larut, suasana ramai kawasan Ramkhamhaeng Huamark cukup mengundang penasaran. Hampir sepanjang jalan berderet penjaja makanan, umumnya olahan sea food dan china food menjadi menu utama. Namun, tom yam goong yang menjadi makanan khas Thailand menjadi pilihan kami.

Keesokan harinya, sekitar pukul 8.00 waktu setempat, salam resepsionis Hotel Bangkok Inter Place, lewat telefon mengingatkan agenda setiap Sabtu dan Minggu. Ya, pasar akhir pekan Chatuchak di Phaholyothin, menjadi tujuan pertama kunjungan wisata di sela-sela kontingen olah raga dansa Indonesia (IODI) menjajal Indoor Stadium Sport Authority of Thailand.

Tidak sampai satu jam perjalanan menggunakan taksi dengan ongkos 150 bath, dari jantung kota Bangkok. Pasar yang tidak ubahnya pasar kaget di Bandung, seperti Gasibu, namun tertata cukup rapih memiliki daya tarik tersendiri.

Segala macam barang dijual, dari mulai binatang peliharaan, bibit tanaman, buah-buahan khas Thailand, makanan khas hingga pakaian dan furnitur, dijual sangat murah. Barang yang dijual tidak jauh beda dengan yang dijajakan di Gasibu, produk Cina mendominasi yang dijual. Yang membedakan hanya ketertiban dan kebersihan.

Lepas dari Chatuchak, dengan menggunakan tuk-tuk (alat transportasi khas Thailand yang mirip dengan bajaj), pasar semi modern Pratunam menjadi tujuan. Di kawasan antara Phetchaburi dan Ratchadamri ini, pasar semi modern Pratunam tidak ubahnya seperti Pasar Baru di Kota Bandung, bahkan kalau sore hingga malam tidak jauh beda dengan di Jalan Dalem Kaum, Kepatihan, atau Dewi Sartika.

Barang-barang yang dijual pun tidak jauh berbeda, selain pakaian juga barang-barang elektronik, serta kerajinan tangan. Lagi-lagi barang-barang buatan Cina mendominasi.

Hanya yang membedakan, kawasan Pratunam berada di jantungnya pusat perbelanjaan Kota Bangkok. Pasar semi tradisional ini berdampingan dengan sejumlah mal, semisal Baiyoke, Siam Paragon, Indra Regent, Central World Plaza, Gaysorn Plaza, Peninsula Plaza, dan Amari Plaza.

Ada banyak kawasan perbelanjaan di Kota Bangkok yang ditawarkan. Salah satunya pusat keramaian Pat Pong yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan dan hiburan malam terbesar di Bangkok.

Meski sudah lewat tengah malam, ratusan turis dari sejumlah negara masih bergerombol. Ada yang sedang berbelanja, santap malam, atau sekadar melihat-lihat. Kawasan ini baru akan berhenti beraktivitas saat waktu menunjukan pukul 2.00 dini hari.

Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 2.30, jalan yang mirip dengan Jalan Malioboro Yogyakarta ini masih ramai. Turis berbagai warna kulit masih lalu-lalang menikmati malam dengan menyantap makanan khas Thailand yang dijajakan di pinggir jalan tanpa harus terganggu dengan adanya pengamen atau pedagang asongan yang menawarkan barang.

"Inilah Bangkok. Meskipun sudah tengah malam, bahkan mau ketemu pagi lagi tetap ramai dan aman," ujar Susie Handayani, yang bertindak sebagai tour guide.

Kenyamanan, keamanan, serta keramahan dalam melayani setiap pendatang sepertinya sudah harga mati pariwisata Thailand. Akankah Bandung belajar dari Thailand dengan Bangkoknya? "Sawasdee khrap!" (Retno HY/"PR")***

3 komentar: