Oleh H. Nanat Fatah Natsir
(Pikiran Rakyat)
Sekitar tahun 2000, saat saya menonton TV berdua bersama orang Amerika, di layar kaca diberitakan gerakan Amien Rais "melengserkan" Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Tiba-tiba orang AS itu bertanya kepada saya. Pertanyaannya kurang lebih, "Kenapa Pak Nat, belum lama Amien Rais mengampanyekan dan paling depan mendukung Gus Dur agar menjadi presiden dan akhirnya Gus Dur terpilih menjadi presiden, tetapi tiba-tiba selang beberapa bulan justru dia sendiri yang menjadi sponsor paling depan agar Gus Dur lengser dari presiden?"
Saya balik bertanya kepada dia, apakah di Amerika pernah terjadi semacam itu? Dia jawab, tidak pernah. Pihak yang kalah pemilihan biasanya langsung mengucapkan selamat kepada pemenang dan langsung ia memberi dukungan sampai masa jabatan presiden berakhir. Kecuali, jika ada masalah yang sangat prinsip, dukungan pada presiden itu dicabut.
Saya bertanya, kepada bisa begitu? Katanya, demokrasi di Amerika memang sangat cerdas dan dewasa dan penuh dengan sportivitas karena mereka sudah dibiasakan belajar sportif dari kecil. Mereka memberi dukungan sepenuh hati kepada pemenang dan sebaliknya orang yang kalah tidak dipermalukan, tetapi diposisikan sebagai sparring partner dalam membangun negara secara demokratis.
Saya katakan kepada kawan dari Amerika itu, Indonesia ini masih dalam masa transisi. Baru belajar demokrasi. Indonesia dulunya adalah kumpulan kerajaan. Pernah belajar demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan terakhir, pada zaman Orde Baru, demokrasi Pancasila yang lebih cenderung pelaksanaannya otoriter. Sementara itu, AS sudah belajar demokrasi selama dua abad. Oleh karena itu, bangsa AS menjadi negara demokrasi yang terbesar di dunia dan selalu menjadi rujukan negara-negara lain dalam menerapkan demokrasi termasuk Indonesia.
Pemilihan Gubernur Jabar telah selesai dengan pemenangnya pasangan Hade. Pilgub telah berjalan dengan lancar dan aman walaupun di sana-sini pelaksanaannya belum sempurna. Bahkan dengan tingkat partisipasi pemilih (67,3%) berarti yang tidak ikut pilgub 32,7% walaupun alasannya bermacam-macam.
Sungguhpun demikian, masyarakat Jabar harus bersyukur telah menyelenggarakan pilgub dengan sukses, dengan kurang lebih 27 juta yang punya hak pilih dari jumlah penduduk 40 juta orang. Itu berarti menjadi provinsi demokrasi terbesar di Indonesia yang merupakan bagian provinsi dari negara demokrasi tiga besar di dunia setelah AS dan India. Pilgub Jabar dapat dijadikan model pelaksanaan demokrasi yang tertib, aman, dan demokratis. Padahal, dilihat dari jumlah penduduk dan latar belakang sosial budaya yang heterogen, Pilgub Jabar sangat rawan konflik.
Kita kagum kepada Agum Gumelar dan Danny Setiawan. Begitu Hade diumumkan oleh KPU sebagai pemenangnya, mereka langsung mengucapkan selamat dan mengakui kekalahan. Ini merupakan sikap yang sangat terpuji dari seorang pemimpin yang dengan ketulusannya mengucapkan selamat dan akan mendukung membangun Jabar.
Begitu juga bangga kepada pasangan Hade yang dengan rendah hati, tulus, dan jujur bersilaturahmi kepada Danny Setiawan dan Agum Gumelar seraya meminta dukungan dan bimbingan dalam rangka membangun Jabar. Memang, tanda rendah hati Ahmad Heryawan telah ditunjukkan tatkala berlangsung dialog interaktif cagub dan cawagub bersama rektor ITB, Unpad, UPI, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan STPDN, Maret lalu. Ketika itu acara mau dimulai. Akan tetapi, calon gubernur yang hadir baru Ahmad Heryawan.
Karena yang hadir hanya Ahmad Heryawan, saya kemudian mengajak rektor ITB untuk tidak melanjutkan acara dialog interaktif. Akan tetapi, tiba-tiba Agum Gumelar datang. Agum menyampaikan permintaan maaf bahwa beliau baru tahu acara ini karena ditelefon Ahmad Heryawan. Akhirnya, Agum membatalkan acara untuk pergi ke Jakarta dan bisa hadir di acara dialog interaktif dengan para rektor.
Dari peristiwa ini tampak kedekatan antarcalon. Tampaknya, perhelatan demokrasi dalam Pilgub Jabar baru lalu dapat dijadikan model dan contoh demokrasi yang kesatria dan dewasa oleh bangsa Indonesia. Baik di tingkat nasional maupun regional, terutama menjelang pemilihan anggota legislatif dan pilpres yang akan dilaksanakan pada tahun depan.
Akhirnya, terjawablah pertanyaan kawan saya orang Amerika itu, bahwa orang Indonesia itu ternyata bisa juga bersikap sportif dan dewasa dalam berdemokrasi. Orang Indonesia tak perlu waktu dua abad seperti bangsa Amerika.
Persoalannya sekarang, apakah ketulusikhlasan semua pemimpin-pemimpin Jawa Barat itu akan berlanjut sehingga Jabar menjadi provinsi termaju di Indonesia? Apakah kedewasaan dalam berdemokrasi yang baru saja selesai akan berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat? Kita tunggu saja perjalanan demokrasi di Jawa Barat. Kasihan berjuta rakyat yang menunggu perubahan nasib dari kesengsaraan dan kemiskinan. Wallahualam.***
Penulis, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung/Presidium ICMI Pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar