Rabu, 21 Mei 2008

Pembantaian Massal Korsel Mulai Dikuak


Chung Sung-Jun/Getty Images
Ilustrasi: Veteran perang Korea



Minggu, 18 Mei 2008 | 10:48 WIB

DI PARIT teronggok ratusan mayat manusia yang masih hangat. Lee Joon-young, sang penjaga penjara, diperintahkan untuk menembak mati jika masih ada orang yang hidup di antara mayat-mayat itu. Tiba-tiba terdengar suara rintihan,"Pak Komandan! Tembaklah aku." Suara itu berasal dari sela-sela tumpukan mayat.

Lee yang ketika itu berumur 25 tahun lantas mencabut pistol dari pinggangnya. Ia arahkan senjata itu kepada orang yang memohon mati tersebut. Dan selesailah hidup orang itu.

Meski sudah lewat 48 tahun, Lee masih mengingat peristiwa tersebut. Ketika itu, Lee mendapat tugas mengangkut dengan truk ratusan narapidana dari penjara kota Daejeon ke lembah Sannae tak jauh dari penjara. Para pesakitan itu adalah orang-orang komunis, namun ada juga yang tidak terkait dengan komunis.

Mereka kemudian dibunuh secara massal dengan cara ditembak di pinggir parit. Tubuh mereka kemudian langsung ditimbun dengan tanah. "Sampai hari ini saya masih merasa bersalah telah menarik pelatuk pistol itu," tutur Lee Joon-young.

Begitulah sekelumit kisah kesaksian yang didapat oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korea. Lembaga pencari fakta yang dibentuk pemerintah Korea Selatan ini bertugas untuk mengungkap pembantaian manusia yang berlangsung pada kurun waktu 1950-53.

Pada kurun itu adalah awal Perang Korea. Penguasa wilayah Selatan yang nonkomunis melakukan pembersihan terhadap orang-orang komunis untuk mencegah mereka membantu pihak Utara yang komunis. Dalam aksi pembersihan itu, militer dan polisi menciduk orang komunis maupun yang dituduh komunis. Mereka dituding sebagai pengkhianat negara.

Mereka kemudian dipenjarakan tanpa diadili. Saat menjelang Perang Korea meletus (Selatan dibantu Amerika Serikat melawan Utara yang komunis yang dibantu Republik Rakyat China dan Uni Soviet), orang-orang itu kemudian dieksekusi. Menurut taksiran awal Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Kim Dong-choon, jumlah korban pembantaian mencapai paling sedikit 100.000 orang.

Salah satu tempat pembantaian yang paling "monumental" adalah Lembah Sannae, di Kota Daejeon, yang terletak 145 km sebelah selatan ibukota, Seoul. Di situlah Lee Joon-young bertugas. Di situlah diperkirakan ada 7.000 mayat!

Komisi Kebenaran kini tengah melakukan perundingan dengan pemilik tanah yang di bawahnya terdapat mayat-mayat itu, supaya dapat melakukan penggalian.

Lee Joon-young yang kini berusia 83 tahun dan berada dalam perawatan di rumah sakit mengisahkan, para napi itu disuruh duduk di pinggir parit. Kemudian dari belakang kepala mereka ditembak, dan tubuh mereka terjerembab ke dalam parit. Begitu bergiliran. Setelah cukup banyak, milisi binaan militer diperintahkan turun ke dalam parit untuk menata mayat-mayat itu agar bisa diisi mayat lagi.

"Ketika mereka keluar dari parit kaki para milisi itu sudah berlumuran darah," kenang Lee,"aku sampai tidak bisa bicara karena ngeri."

Setelah itu Lee dapat tugas untuk memastikan bahwa semuanya telah mati. Ternyata satu orang yang masih hidup dan minta dibunuh itu ia tahu riwayatnya. Orang tersebut adalah narapidana kasus perampokan yang tinggal menjalani hukuman penjara satu tahun lagi. Jadi ia tidak punya kaitan dengan perkara subversi.

Namun, perintah dari atasan ketika itu adalah setiap narapidana yang dihukum 10 tahun atau lebih, tanpa memperdulikan jenis kejahatannya dan sudah berapa lama menjalani hukuman, harus dieksekusi. jadilah Lee melaksanakan perintah itu. Dan napi yang tinggal setahun lagi bebas itu harus dieksekusi.

Yang membuat hati Lee miris hingga hari ini adalah perkataan orang itu ketika memohon untuk diakhiri hidupnya. "Dia seharusnya mengatakan kepadaku,'hei bangsat, tembak lagi aku.' Namun, mengapa dia memanggilku sebagai 'Pak Komandan'." (AP)

PUT
Sumber : AP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar