Rabu, 21 Mei 2008

Sebatas Penikmat Teknologi

Sebelum diresmikannya Boedi Oetomo yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional saat ini, bangsa Hindia atau pribumi sudah mengenal telefon sebagai salah satu teknologi komunikasi yang digunakan saat itu. Namun, telefon yang beroperasi saat itu masih menggunakan wessel-board (digunakan secara manual), bermula dari local batery menjadi central batery. Di akhir penjajahan Belanda sekitar tahun 1940, Indonesia mulai mengenal sentral telefon otomatis dengan metode step by step. Begitu juga dengan teknologi informasi, mulai dari digunakannya morse kemudian dikembangkan dengan teknologi telex dan faksimil.

Tahun 1970, masuk era digital di mana komputer sudah mulai dikenalkan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Sejak era digital ini lah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mulai berkembang cepat. Kemajuan tersebut juga ditunjang dengan munculnya komunikasi data dengan internet berkecepatan tinggi.

Dengan adanya telekomunikasi telekomunikasi, informasi semasa perjuangan merebut kemerdekaan bisa digalang secara nasional. Di jawa Barat, Gedung Sate merupakan tonggak sejarah telekomunikasi Indonesia yang direbut dari jajahan Jepang.

Berdasarkan data historis di atas, apakah perkembangan teknologi saat ini berbanding lurus dengan satu abad kebangkitan nasional? Atau justru tersingkir dari percaturan masyarakat digital yang global?

"Yang terjadi sekarang adalah kebangkitan teknologi saja, bukan kebangkitan teknologi nasional," ucap Kepala Pusat Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi ITB Armein Z. Langi. Menurut Armein, kebangkitan teknologi nasional harusnya merujuk pada hajat hidup orang banyak, terutama membantu masyarakat miskin. Misalnya dalam bidang transportasi, energi, pangan, dan informasi. "Itulah kebangkitan teknologi yang sesungguhnya," ujar Armein.

Menurut Armein, teknologi yang diterapkan di Indonesia masih dalam tataran hanya ingin diakui dalam dunia internasional, sehingga masih terjebak dengan topik-topik di luar negeri, akibatnya hasil pembangunan teknologi tidak relevan dengan pembangunan di Indonesia. "Makanya kita rugi dua kali, sudah buang-buang uang, hasilnya pun banyak yang tidak bermanfaat bagi masyarakat," ujar Armein yang juga dosen Program Studi Teknik Elektro ITB ini.

Mengenai kondisi perkembangan teknologi di Indonesia, Armein menyebutkan bahwa secara garis besar, hanya teknologi yang dibangun di pusat pendidikan dan pusat penelitian saja yang berkembang, sedangkan perkembangan dalam dunia industri cenderung stagnan. "Kalangan perusahaan mayoritas masih membeli teknologi dari luar," kata Armein.

Menurut Armein, banyak hal yang menjadi kendala perkembangan teknologi di Indonesia. "Mayoritas kendala adalah seputar dana dan orientasi peneliti itu sendiri," ucapnya.

Mengenai dana, menurut Armein, untuk mengejar ketertinggalan teknologi dengan negara lain, seharusnya dana yang dialokasikan sebesar 3% dari GDP, yaitu sekitar 3 triliun rupiah. "Akan tetapi, yang ditawarkan pemerintah hanya 100 miliar rupiah per tahun," ucap Armein. Untuk ITB sendiri, ungkap Armein, dari USD 50 juta dana operasional, hanya 11 miliar rupiah per tahun yang dialokasikan untuk riset dan pengembangan teknologi. "Makanya dengan dana yang terbatas, kita harus lebih selektif dalam memilih teknologi mana yang bisa diaplikasikan di Indonesia," kata Armein melanjutkan.

Orientasi peneliti

Mengenai orientasi peneliti, Armein menilai, seharusnya peneliti berorientasi dalam dua hal, ke dalam negeri untuk diimplementasikan dalam pembangunan masyarakat secara nyata dan mengikuti perkembangan teknologi luar negeri.

Selain itu, jumlah peneliti ahli di Indonesia yang sangat kurang, juga mendapat sorotan dari Armein. "Sepuluh tahun lalu bahkan pernah ada survei yang menghitung bahwa jumlah doktor di seluruh Indonesia lebih sedikit daripada yang ada dalam salah satu perusahaan multinasional," ucap Armein. Tak hanya sampai disana, banyak doktor yang meninggalkan profesinya, misalnya karena tidak adanya arahan riset atau tekanan situasi.

Menurut pengamat telematika Heru Sutadi, kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terlihat dalam "E-Readiness" yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit 2007 lalu. "Indonesia berada di peringkat 67. Sementara itu, untuk pemanfaatan layanan pemerintahan elektronik (e-government), Indonesia berada pada peringkat 106 dari 189 negara yang disurvei oleh PBB dalam pengembangan e-government. Posisi ini merosot dari posisi sebelumnya pada peringkat 96," ucap Heru yang juga merupakan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Dalam hal industri perangkat TIK, posisi Indonesia juga masih hanya menjadi ‘penonton’ dan pengguna (user) para vendor besar kelas internasional. "Kalaupun banyak pihak lokal dilibatkan, posisinya tak bergeming hanya sebagai distributor produk-produk luar negeri, industri perangkat lokal tidak jalan, kalau tidak mau dikatakan tidak ada," kata Heru menjelaskan.

Senada dengan Heru, Armein juga mengatakan bahwa dalam teknologi seluler, Indonesia lebih berperan sebagai penikmat. "Makanya kebangkitan teknologi yang sebenarnya tidak terjadi, tetapi kalau dilihat dari segi konsumsi terhadap teknologi, kebangkitan itu memang terjadi, makanya saya tak heran jika Indonesia sering disebut sebagai galeri teknologi," ujar Armein.

Menurut Executive General Manager PT. Telkom Indonesia Divisi Regional III Jabar dan Banten, Dwi S. Purnomo, secara global Asia memang mengalami perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi dan informasi, terutama Cina dan India. Namun, ia mengakui saat ini Indonesia lebih banyak dijadikan sebagai objek daripada subjek dalam kemajuan teknologi dan informasi. Menurut dia, kemampuan sumber daya manusia Indonesia sebenarnya mampu untuk mengembangkan tekonologi tersebut, namun perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk memajukan industri nasional agar bisa bersaing dengan produk impor.

Untuk itu, agar mampu mengejar ketertinggalan dalam bidang teknologi informasi, Armein mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya meningkatkan kepedulian nasional terhadap teknologi. "Caranya adalah lewat pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jadi kebutuhan terhadap teknologi meningkat," kata Armein. (Endah Asih/Tia Komalasari) ***
                                                               
                                                                                  ***


Wawancara dengan Onno W. Purbo, Pakar Teknologi Informasi
Wujudkan Internet Murah

Di tahun 2008 ini, teknologi Indonesia memperlihatkan kemajuannya. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan regulasi pemerintah yang dinilai oleh banyak pihak justru membelenggu kebebasan teknologi informasi itu sendiri. Lalu, bagaimana perkembangan teknologi Indonesia di mata pakar teknologi informasi Onno W. Purbo?

Bagaimanakah perkembangan teknologi informasi sejauh ini?
Yang pasti kita harus bersyukur karena bangsa kita hidupnya susah, semua serba mahal, internet dan komputer mahal, tapi itu yang membuat bangsa Indonesia jadi kreatif, dan itu berdampak terhadap kemajuan teknologi informasi. Semua orang di dunia pasti mencari internet murah. Nah, karena kreativitas orang Indonesia tadi, baru Indonesia yang berhasil menemukan RT/RW net. Nggak ada bangsa lain di dunia yang bisa seperti itu.

Lalu, perkembangan RT/RW-net ini sekarang seperti apa?
Waktu awal ditemukan, perkembangannya kurang bagus, karena belum diketahui masyarakat luas. Untungnya sekarang sudah bisa dikatakan berkembang, karena bisa digunakan secara massal sesuai prinsipnya, yaitu seperti warung internet (warnet). Warnet kan bisa menyambungkan beberapa komputer dalam suatu ruangan, RT/RW-net bisa menyambungkan sekumpulan komputer dalam sebuah RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga).

Adakah contoh lain yang bisa dijadikan tolak ukur perkembangan teknologi di Indonesia?
Banyak, tapi biasanya terjadi di bawah tanah, maksudnya tidak secara resmi, misalnya dengan wajanbolic. Di antara negara-negara di dunia, baru Indonesia yang bisa kreatif bikin alat seperti wajanbolic. Mudahnya, wajanbolic adalah alat yang digunakan untuk memperoleh akses internet, yang tentu saja menggunakan wajan. Teknologi yang digunakan adalah antena untuk menangkap gelombang wireless 2,4 ghz.

Apakah alat seperti wajanbolic bisa berkembang baik di Indonesia?
Pasti, dengan catatan kalau peraturan dari pemerintah lebih baik dari sekarang. Apalagi sebenarnya masalah utama kita bukan teknologi, apalagi harga. Tapi masalah utamanya adalah masyarakat tidak tahu bahwa ada internet murah. Lagipula mereka juga tidak tahu bagaimana caranya membuat alat-alat seperti itu. Tak hanya di Indonesia, alat-alat seperti itu juga menarik minat hingga ke luar negeri. Saya seringkali diundang untuk memberikan workshop ke luar negeri. Itu yang saya bilang, kalau dalam hal ini luar negeri juga minta diajarkan oleh kita karena mereka tidak tahu cara membuat internet murah.

Bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan teknologi seperti wajanbolic dan RT/RW-net?
Kalau di level sekolah, itu bisa Rp 5.000,00 per bulan. Hal itu dimungkinkan karena di sekolah ada minimal 1.000 orang siswa. Kalau dijumlahkan mencapai 5 juta rupiah, itu sudah menutupi. Sedangkan kalau di level RT-RW, dengan biaya Rp 150.000,00 hingga Rp 200.000,00 per bulan, masyarakat bisa mengakses internet 24 jam. Dalam RT/RW-net, sekitar 20 komputer bisa di-share jaringan internetnya. Kecepatannya 384 Kbps dibagi 20. Untuk chatting dan browsing sih aman lah.

Adakah tolak ukur perkembangan teknologi yang lain?
Oh, kita juga sudah bisa 4G. Di dunia yang bisa jalan cuma di Indonesia. Indonesia sudah bisa membuat sentra teleponnya. Itu enggak bercanda dan memang benar-benar jalan. Kemarin saya baru pulang dari Thailand untuk memberikan workshop cara membuat 4G. (Endah Asih)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar