Kamis, 22 Mei 2008

Santet Pakai Jarum, Paku, dan Gotri


Kompas.com/abi
ILUSTRASI



Kamis, 22 Mei 2008 | 08:31 WIB

DUA foto rontgen di Museum Kesehatan dr Adhyatma MPH milik Pusat Penelitian dan Pengembagan Sistem dan Kebijakan Kesehatan Depkes Surabaya memperlihatkan gotri, paku, dan jarum bersemayam di usus manusia. Tak cuma memajangnya, museum ini juga melakukan kajian ilmiah fenomena ini.

Bagian budaya santet ini menjadi magnet tersendiri selain benda-benda kesehatan lain di museum itu. Pengunjung bahkan tidak hanya dari kota-kota di Indonesia, namun juga dari Malaysia dan Singapura.
Beberapa di antaranya bahkan rela menyumbangkan benda miliknya untuk dipajang di museum itu. Dari benda-benda sumbangan pengunjung ini, di antaranya ada sejumlah keris yang dipercaya memiliki kekuatan gaib.

Meski berkekuatan gaib, pihak museum enggan melakukan ritual pencucian benda-benda ini. “Keris seperti ini kadang-kadang memang memiliki kekuatan, tapi kadang-kadang kekuatannya hilang. Tergantung dari aura pengunjungnya,” kata Budi Sundarto, desainer interior museum.

Dengan kekuatan yang ada pada benda ini sering kali pengunjung menguji kekuatannya. “Pernah ada reporter salah satu televisi yang memang tahu tentang kekuatan ini. Ternyata kekuatan keris ini tiba-tiba hilang,” cerita Budi.

Yang terasa janggal, di antara benda-benda kesehatan budaya seperti peranti santet dan hasil-hasil pengobatan santet, di museum yang berlokasi di Jalan Indrapura 17 Surabaya ini juga terdapat mikroskop.

Keberadaan mikroskop di museum ini tidak cuma melengkapi interior ruangan, namun menjadi rangkaian peranti santet yang dipamerkan. Menurut HS, mantan peneliti utama Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan Depkes Surabaya, mikroskop ini kerap digunakan untuk meneliti jenis jaringan (tubuh) setelah seseorang mendapatkan pengobatan secara supranatural dari penyakit santet. Salah satunya hasil penelitian jaringan yang didapat dari operasi dukun di Jawa Tmur tahun 1999.

“Kami tidak bisa percaya begitu saja jaringan yang katanya berhasil dikeluarkan dari pengobatan supranatural. Karena itu harus diteliti,” terang HS yang menolak menyebutkan nama lengkapnya demi alasan keselamatan.

Bagaimana hasil kajiannya? HS menolak menjelaskan dengan alasan semua hasil kekuatan batin atau rasa tidak bisa dijelaskan secara nalar. Hal itu, lanjut pria bertitel doktor ini, akan merusak sistem ilmu batin yang ada saat ini. “Jangan sampai rahasia yang ada di kekuatan rasa itu hilang. Ilmu pengetahuan (iptek) bukan segala-galanya,” ujarnya.

Diakuinya, sejumlah hasil kajian ilmiah memang bisa menyentuh kekuatan rasa itu. Seperti tertangkapnya sejumlah benda-benda keras di dalam tubuh manusia pada dua hasil rontgen yang dipajang di museum itu.
Hasil rontgen pertama milik orang dewasa yang menunjukkan adanya gotri dan paku yang berada di dalam usus. Menurut HS, benda-benda tersebut adalah pemberian dari dukun sebagai obat. Namun, benda-benda itu tidak dapat keluar bersama kotoran selama dua minggu. “Kedua benda ini baru bisa dikeluarkan setelah diberikan tenaga dalam,” terang HS tanpa mau menyebut nama pasien dan rumah sakit yang mengeluarkan rontgen itu.

Rontgen yang kedua milik seorang bayi berusia tiga bulan yang dirawat di RSU dr Soetomo, Surabaya, tahun 1962. Di rontgen itu tampak jarum di dalam usus dan di dalam rongga perut/abdomen. Benda-benda tersebut berada di tubuh bayi yang saat itu dalam keadaan panas tinggi. Pasien tidak bisa tertolong, tapi sebelum meninggal bayi itu di-rontgen dan terlihat jarum di rongga perutnya.

“Benda-benda ini memang berhasil difoto, tapi yang masih menjadi pertanyaan kan bagaimana benda-benda ini bisa masuk dan keluar dari dalam tubuh manusia,” kata HS. Menurut pria beruban ini, kekuatan otak yang ada di tubuh manusia tetap pada batasannya. Di luar itu ada unsur rasa dan hati manusia, dan itu tidak harus semuanya diilmiahkan. “Kalau semua diilmiahkan unsur rasanya akan hilang. Biarlah unsur rasa itu tetap ada menjadi rahasia alam ini. Ilmu itu milik Allah, manusia hanya mendapatkan sebagian kecil dari ilmu Allah. Itu harus dipahami,” kata HS yang kini sudah pensiun dari Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan Depkes.

Mabaroch SSos, Kepala Subbidang Jaringan Informasi dan Perpustakaan, Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan Depkes, memberi kesempatan kepada ilmuwan untuk mengkaji fenomena rasa/batin di museum itu ke dalam sebuah penelitian ilmiah. “Kami tidak mungin memaksa bahwa fenomena ini ada. Tapi kami menantang untuk membuktikannya,” kata Mabaroch. musahadah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar