Kamis, 22 Mei 2008

Jangan Kotak-kotakkan Cama

Kesempatan Berkuliah Ekonomi Lemah Harus Tetap Terbuka

BANDUNG, (PR).-
Perbandingan kuota saringan nasional dan jalur khusus (seleksi mandiri) untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) harus berimbang. Kesempatan bagi calon mahasiswa (cama) kalangan ekonomi lemah untuk berkuliah harus tetap terbuka. Demikian diungkapkan praktisi dan pengamat pendidikan Prof. Dr. Eddy Jusuf di Kampus Universitas Pasundan Jln. Tamansari Kota Bandung, Rabu (21/5).

Menurut Eddy, jalur khusus masuk PTN dengan kuota lebih besar terkesan sebagai pengotak-ngotakan kalangan calon mahasiswa baru. Perbandingan kuota 70-30 di beberapa PTN (lihat tabel), kata Eddy, sangat tidak adil. Hal itu jelas mempersempit peluang masuknya calon mahasiswa dari kalangan miskin. Kesempatan justru lebih besar di jalur khusus dengan biaya lebih tinggi.

Beberapa PTN, kata dia, memang menerapkan subsidi silang. Dana yang diperoleh dari mahasiswa kaya digunakan untuk membantu mahasiswa ekonomi lemah. Namun dengan kuota yang tidak berimbang, jumlah calon mahasiswa potensial yang bisa dibantu sangat sedikit. "Percuma saja yang membantu banyak, tetapi yang dibantu sedikit," ucapnya.

Kuota 30 persen untuk saringan nasional, dinilai Eddy terlalu kecil untuk menampung mahasiswa berpotensi dari kalangan ekonomi lemah. Dengan jumlah tersebut, masih banyak mahasiswa berpotensi lain yang tidak bisa masuk PTN. Pendidikan murah terkesan sekadar wacana karena rata-rata biaya pendidikan S-1 PTN sekarang tidak berbeda jauh dengan PTS.

Diakses semua

Anggota DPRD Kota Bandung, Arif Ramdhani mengatakan bahwa pemberlakuan otonomi kampus PTN bukan untuk membatasi kalangan yang bisa masuk berkuliah. PTN seharusnya tetap dapat diakses semua golongan masyarakat.

Kenyataannya, Arif menilai otonomi kampus saat ini justru mempersulit akses pendidikan tinggi bagi kalangan ekonomi lemah. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti tes jalur khusus (seleksi mandiri), membuat jalur tersebut seakan terbatas bagi mereka yang punya uang.

Menurut Arif, dalam undang-undang disebutkan bahwa seluruh warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, adanya jalur khusus justru membuat kalangan yang tidak punya uang makin susah masuk PTN.

Pakar pendidikan Prof. Dr. S. Hamid Hasan mengatakan bahwa jalur khusus yang diberlakukan oleh PTN seharusnya untuk siswa yang berprestasi dari kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. "Menjadi tanggung jawab moral bagi perguruan tinggi untuk memberikan peluang bagi siswa yang cemerlang tetapi tidak mampu," ujarnya.

Perguruan tinggi, khususnya PTN, harus mengubah paradigma. Penyediaan jalur khusus bukan berarti jalur untuk mendapatkan uang. Akan tetapi, jalur untuk mengakomodasi anak berprestasi yang tidak mampu, tetapi ingin melanjutkan pendidikannya ke PT. (CA-177/CA-178/CA-186)

                                                                             ***


Pendidikan Inklusif dan Membebaskan
Non scholae sed vitae discimus (belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup)

DI tengah kontroversi komersialisme dan kapitalisme pendidikan di negeri ini, ada baiknya kita memunguti berbagai hikmah dari kisah-kisah nyata pendidikan dari berbagai penjuru dunia. Tak perlu malu mengambil suri teladan. Sebab hakikat pendidikan sejatinya adalah mengarahkannya demi tujuan-tujuan berkehidupan, bukan semata demi pendidikan itu sendiri. Seperti kata-kata bijak filsuf Seneca di atas.

Ini peristiwa empat tahun lalu di India. Negara di Asia Selatan yang semula berkategori paling miskin, kini menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru Asia, lewat potensi sumber daya manusia dengan iklim pendidikan berkualitas. Dengan catatan, tanpa perlu harus eksklusif, elitis, dan tak membuka akses bagi kaum tak berpunya!

Vaishali Wankhede, saat itu 17 tahun. Ayahnya, Ramesh Wankhede seorang penarik becak di Kota Nagpur. Ibunya, Maya, seorang pembantu rumah tangga. Kemiskinan adalah hidupnya. Dua abangnya, Mukesh dan Dinesh drop out (DO) dan bekerja menjadi tukang tambal ban dan sopir.

Tetapi, Vaishali diberkahi otak cemerlang. Di tengah lilitan kemiskinan dan ketimpangan gender, gadis yang seusianya di komunitas Maang di Nagpur harus sudah menikah itu, lulus tes masuk sekolah kedokteran di Maharashtra dengan skor 84 persen.

Skor Vaishali mencapai 169 dari total 200. Sebelumnya dalam try out yang diikuti sekitar 80.000 siswa, ia berada di urutan "100 besar". Sebuah keajaiban, sebab kemiskinan tak memungkinkannya ikut bimbingan. Orang tuanya juga buta huruf. "Saya memilih kedokteran, karena saya tak begitu bagus dalam matematika. Biologi kegemaran saya," kata Vaishali.

Kisah nyata Vaishali yang sangat inspiratif tak pelak menjadi berita besar. BBC misalnya menulis kisah Vaishali dengan tajuk "Against all Odds" (Mendobrak Perbedaan).

Lantas, dengan pendapatan orang tuanya yang kurang dari 30 dolar AS (sekitar Rp 300.000,00) per bulan, dari mana biaya pendidikan Vaishali di sekolah kedokteran yang butuh setidaknya 4.360 dolar (sekitar Rp 43,6 juta) setahun?

Beruntung Vaishali tak harus mengubur impian menjadi dokter. Ia tak harus seperti karakter Lintang dalam Novel Laskar Pelangi (Andrea Hirata) yang punya otak spektakuler, namun harus berhenti sekolah karena tak punya biaya. Pemerintah Maharasthra membebaskan biaya kuliah bagi mahasiswa tidak mampu. Tak cuma itu, Union Bank of India juga memberikan pinjaman lunak bagi biaya kuliah Vaishali yang bisa dibayar di saat ia sudah lulus dan bekerja.

"Sesungguhnya biaya kuliah di India relatif murah dibandingkan dengan negara-negara selevel lainnya. Asal cerdas dan punya otak cemerlang, semua orang bisa kuliah di India," ucap Profesor H.C. Kaliwale, tokoh pendidikan di Nagpur yang menyediakan diri menjadi penasihat Vaishali serta memberikan koleksi bukunya.

Selain tergolong murah, kata Kaliwale, tersedia banyak beasiswa untuk calon mahasiswa. Selain itu, perbankan di India tak hanya menjadi entitas kapitalisme tetapi ikut mendorong memajukan pendidikan dengan memberikan pinjaman lunak khusus mahasiswa.

Pendidikan di India, sebagaimana hakikat mendasarnya, akhirnya memang menjadi sebuah entitas inklusif dan kian memanusiakan manusia. Pendidikan menjadi sarana pembebasan, bukan malah membelenggu dan mengotak-kotakkan manusia. Kapan kita bisa? (Erwin Kustiman/"PR")

                                                                               ***


Peminat "Jalur Khusus" Meningkat

BANDUNG, (PR).-
Meskipun memberlakukan biaya kuliah lebih mahal dibandingkan jalur seleksi umum SNMPTN, peminat melalui "jalur khusus" (seleksi mandiri) yang disediakan perguruan tinggi negeri (PTN), menunjukkan peningkatan.

"Memang peminat pada jalur seleksi mandiri Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang sudah dibuka 2008 ini naik secara signifikan," kata Rektor UPI Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata usai acara kunjungan Gubernur Jawa Barat terpilih ke Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi Bandung, Senin (19/5).

UPI membuka dua jalur seleksi calon mahasiswa baru di luar SNMPTN yang tetap fokus pada pendidikan tenaga keguruan, yakni jalur ujian mandiri (UM) dan penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) .

Sejak 2005 UPI mengalami peningkatan peminat dari 1.500 orang sampai 2008 ini sejumlah 9.082 orang. "Namun, UPI tetap memberi porsi yang lebih besar untuk penjaringan mahasiswa baru lewat SNMPTN yaitu sebesar 50 persen," kata Humas UPI Andhika Dutha

Ia tidak memungkiri porsi 30 persen untuk UM mendapat minat yang luar biasa. Di sisi lain, calon mahasiswa baru yang mengikuti jalur PMDK hanya melewati uji dokumen yang membuktikan mereka termasuk 10 siswa terbaik dari sekolahnya. Bagi yang berprestasi di luar sekolah dan berkaitan dengan prestasi akademik, Olimpiade Fisika misalnya, perlu menyertakan portofolio prestasinya.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Akademik ITB dan Panitia Lokal SNMPTN, Adang Surahman menjelaskan untuk jalur SNMPTN, ITB menetapkan kuota sebanyak 1.080 untuk semua prodi. "Tidak termasuk Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) dan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) yang membuka jalur penerimaan melalui ujian saringan masuk (USM) terpusat dan daerah, serta kemitraan mandiri yang merupakan bentuk kerja sama ITB dengan pemerintah daerah," ujarnya.

Untuk USM daerah, kata Adang, sumbangan dana pendidikan (SDP) yang ditetapkan minimal sebesar Rp 45 juta untuk FSRD dan Rp 60 juta untuk SBM. Jalur USM terpusat menetapkan sumbangan minimal sebesar Rp 5 juta untuk FSRD, Rp 20 juta untuk Fakultas Teknik dan Sains, dan Rp 60 juta untuk SBM. Namun, untuk prodi Astronomi, Meteorologi, Oseanografi, Kria, dan Seni Rupa dapat ditempuh tanpa harus membayar SDP (nol rupiah).

Adang mengatakan setiap pemda mengusulkan satu siswa terbaiknya untuk masuk menjadi mahasiswa ITB tanpa tes apa pun. Namun, untuk menstandarkan kualitas dengan mahasiswa lain yang melalui tes, mereka mengikuti bridging programme selama dua bulan. Pada akhir program, akan didapat standar sebagai patokan untuk memilih prodi."

Kemitraan nusantara yang tidak menyertakan tes pada seleksi masuknya dilakukan apabila pemda hanya mengusulkan satu siswa terbaik dari daerahnya. Jika ada lebih dari satu calon yang diusulkan, mereka harus melewati tes seperti USM ditambah dengan tes lain sesuai prodi yang dipilih.

Kuota untuk SBM sebanyak 160 orang dan 210 orang untuk FSRD yang diisi penuh setelah penutupan jalur USM daerah. Dua prodi ini jarang terisi penuh lewat USM daerah. Lewat USM terpusat, dua prodi ini dipenuhi kuotanya. (CA-172)

                                                                                       ***

Unpad Membuka "Talent Scouting"

BANDUNG, (PR).-
Universitas Padjadjaran (Unpad) menerima mahasiswa jalur SNMPTN 3.800 mahasiswa dan SMUP (seleksi mandiri) sekitar 8.000 mahasiswa untuk tahun ini. Jumlah tersebut terdiri dari SMUP S-1 3.176, SMUP D-3 3.684, serta SMUP kelas khusus 1.375.

Humas Unpad, Weni Widyowati menuturkan, untuk jalur talent scouting Unpad menyediakan 55 kursi. Jalur ini disediakan bagi siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik namun tidak didukung kemampuan finansial.

Mengenai SPP dan biaya masuk kuliah, Weni mengatakan, Unpad memungut secara utuh semua biaya kepada mahasiswa baru. Untuk SNMPTN, biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa sekitar Rp 6 juta. Jumlah tersebut sudah termasuk SPP dan praktikum serta dana pengembangan sekitar Rp 4 juta.

Untuk jalur SMUP, dana pengembangan untuk mahasiswa baru bervariasi, yang terendah Rp 10 juta (Ilmu Peternakan dan beberapa jurusan di Fakultas Sastra) hingga yang terbesar Rp 175 juta untuk Pendidikan Dokter.

Humas UIN SGD Sakrim Miharja mengatakan, setiap tahunUIN SGD menerima 3.000 mahasiswa baru. Jalur SNMPTN 640 orang, jalur PPA 600 orang, sisanya melalui jalur mandiri atau UTL.

Untuk jalur SNMPTN, UIN hanya membuka beberapa program studi seperti ilmu hukum, jurnalistik, dan psikologi. Sementara untuk jurusan lainnya ditempuh melalui jalur UTL.

Mengenai biaya perkuliahan, Sakrim menyatakan, tidak ada istilah dana pengembangan di UIN SGD. Setiap mahasiswa baru hanya diharuskan membayar SPP, praktikum, serta sejumlah biaya administrasi. "SPP hanya Rp 600.000,00 praktikum sekitar Rp 200.000,00-Rp 600.000,00, tergantung jurusan. Ditambah biaya formulir dan administrasi. Paling sekitar Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta. Tidak mahal dan berlaku di semua jalur," ujarnya. (A-157)

                                                                                  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar