Wilayah Indonesia telah lama dikenal sebagai rawan terhadap bencana gempa dan juga letusan gunung berapi. Tidak heran memang, karena Indonesia berada di zona cincin api atau ring of fire yang di dalamnya berderet gugusan gunung berapi dan juga lempeng yang sangat aktif.
Setidaknya, ada empat lempeng tektonik bumi aktif yang berada di wilayah nusantara. Lempeng Lautan Hindia dan Australia, yang bergerak ke utara sekitar 50 – 70 mm/tahun dan menunjam di bawah palung laut dalam Sumatra–Jawa sampai ke barat Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur. Kemudian di sepanjang tepian Lempeng Kepulauan dari Pulau Timor ke arah timur dan terus memutar ke utara berlawanan arah jarum jam menuju wilayah perairan Maluku. Terakhir, Lempeng Benua Australia yang menabrak dengan kecepatan - 70 mm/tahun.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pakar Gempa Danny Hilman Natawijaya mengatakan, banyaknya kejadian gempa bumi serta aktifnya sejumlah gunung berapi akhir-akhir ini, menandakan semakin aktifnya pergerakan di kawasan cincin api ini. Ditandai dengan gempa besar berkekuatan 7.7 pada skala Richter di barat daya Pulau Pagai Selatan, Kabupaten Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, meletusnya Gunung Merapi yang sampai saat ini masih belum merada, selain juga aktifnya sejumlah gunung berapi lainnya di wilayah Indonesia.
Bahkan, menurut Danny, gempa di Mentawai sama sekali tidak mengurangi potensi gempa besar Mentawai, yang diprediksi mempunyai akumulasi tekanan bumi sampai 8,8 pada SR tersebut. "Kalau dilihat dari sepuluh tahun terakhir bisa dikatakan cincin api ini sedang aktif. Walaupun sebenarnya cincin api ini selalu bergerak setiap saat," kata Danny yang ditemui di ruang kerjanya Senin (8/11).
Indonesia, katanya, memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi, setara dengan Jepang, Taiwan, dan Amerika. Bahkan, bisa dikatakan lebih rawan karena infrastruktur Indonesia masih sangat kurang, jika dibandingkan dengan negara lain. "Akan tetapi, semua kerawanan tersebut sebetulnya bisa dipetakan sehingga bahaya getaran gempa di daerah, yang dilalui patahan aktif bisa diminimalisasi," katanya.
Di Indonesia, kata Danny, kejadian gempa bumi besar dan merusak umumnya terjadi pada wilayah batas tiga lempeng besar dan jalur patahan aktif utama, yang terbentuk di bagian interior lempeng kepulauan Indonesia.Sebagian patahan aktif tersebut, berada di daratan yang dekat dengan populasi penduduk dan sebagian lagi berada di bawah laut sehingga berpotensi tsunami.
Kecuali di wilayah Sumatra, data patahan aktif sumber gempa bumi baik pada zona batas lempeng-lempeng besar maupun di dalam interior lempeng sa-ngat terbatas. Pengetahuan sumber gempa yang ada umumnya, hanya sebatas pada pengetahuan dasar dalam skala regional saja tanpa pengetahuan detail yang memadai, sehingga jauh dari mencukupi untuk dapat diimplementasikan dalam usaha mitigasi bencana.
Untuk wilayah Jawa, menurut Danny, potensi gempa bumi dan tsunami umumnya belum banyak diketahui. Seperti halnya di Sumatra, di Jawa pun sumber patahan gempanya ada yang di daratan dan juga di bawah lautan di Selatan Jawa, yaitu sumber gempa bumi dari sistem patahan batas lempeng dari zona subduksi Jawa.
Berdasarkan pemetaan pendahuluan regional yang sudah dilakukan, di daratan Jawa terdapat cukup banyak jalur patahan aktif yang berpotensi menghasilkan gempa merusak. Patahan aktif yang sudah cukup dikenal umum adalah Patahan Cimandiri–Lembang dan Patahan Baribis. Meskipun demikian, katanya, potensi bencananya belum banyak dipelajari dan mendapat perhatian serius.
Patahan aktif lainnya yang sudah teridentifikasi di antaranya adalah patahan naik di wilayah Semarang–Brebes dan patahan di sebelah timur Gunung Muria, di mana akan dibangun reaktor nuklir pembangkit listrik. Kemudian, di Jawa Timur terdapat jalur lipatan Kendeng yang aktif pada zaman kuarter dan mungkin masih aktif sampai sekarang. "Semburan lumpur di Porong yang banyak memakan korban, lokasinya berada di ujung timur jalur lipatan ini," ujarnya.
Selain peta patahan aktif, Danny menjelaskan, laporan-laporan kuno dan catatan sejarah gempa bumi di daratan Pulau Jawa sejak pertengahan abad 19 juga menunjukkan sudah banyak terjadi gempa-gempa merusak di masa lalu. Dari laporan kerusakan atau intensitas gempa-gempa tersebut yang wilayah kerusakannya lokal dapat disimpulkan bahwa sumber gempanya adalah patahan-patahan aktif yang berdekatan dengan wilayah kerusakannya. Bukan berasal dari gempa besar Zona Subduksi yang jauh di bawah lautan di Selatan Jawa.
"Dari rekaman seismik dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir, belum pernah terjadi gempa dangkal yang berkekuatan skala magnitudo 7 atau lebih. Meskipun demikian, dari rekaman seismik yang pendek ini belum dapat disimpulkan bahwa patahan-pa-tahan aktif di Jawa tidak ada yang berpotensi untuk mengeluarkan gempa dengan kekuatan sampai magnitudo 7 atau lebih," ujarnya.
Dari aspek tenaga tektonik, menurut Danny, bagian Indonesia Timur mempunyai potensi ancaman bencana gempa bumi dua kali lipat dibandingkan dengan yang di bagian barat. Namun, dari aspek kerentanan, bagian barat Indonesia (Sumatra dan Jawa) lebih rentan terhadap bencana gempa bumi, karena populasi penduduknya lebih padat dan infrastrukturnya sudah lebih berkembang.
Secara umum dapat dikatakan bahwa potensi ancaman gempa di daratan Pulau Jawa, memang lebih kecil diban-dingkan dengan di daratan Sumatra, yaitu di sepanjang Patahan Sumatra. Meskipun demikian, karena populasi di Jawa lebih padat dibandingkan Sumatra juga infrastruktur dan kota-kota besar sudah lebih berkembang di Jawa, maka risiko bencananya belum tentu lebih kecil dari wilayah di sepanjang Patahan Sumatra.
Danny mengatakan, memetakan lokasi jalur patahan dengan seakurat mungkin adalah hal yang pokok untuk dapat melakukan tindakan pencegahan bencana. Sebab, pada prinsipnya pencegahan bencana patahan aktif dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian lokasi di sepanjang jalur patahan. "Terutama jangan digunakan untuk perumahan, bangunan-bangunan, dan infrastruktur lain sebisa mungkin."
Standar manajemen bencana alam memerlukan biaya yang tidak sedikit dan melibatkan banyak pemangku kepen- tingan. Oleh karena itu, ketersediaan peta-peta dengan standar yang baik adalah suatu keharusan, karena kalau tidak maka usaha yang dilakukan akan tidak tepat dan efisien."Dan mungkin bisa berakibat lebih banyak korban, karena kesalahan dalam membuat kebijakan dan langkah-langkah mitigasi yang dilakukan," ujarnya. (Nuryani/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar