Rabu, 14 Mei 2008

Jabar, Provinsi Pendidikan Tinggi

Oleh YOGI SUPRAYOGI SUGANDI

KOTA Yogyakarta boleh terkenal dengan julukan kota pendidikan. Di sana terletak universitas terkemuka dan sudah masuk dalam daftar 100 universitas dunia (versi Times Higher Magazines). Namun, provinsi terbanyak universitas negerinya sebetulnya adalah Provinsi Jawa Barat. Di Jabar ada Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Pertanian Bogor (IPB), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), dan Universitas Indonesia (UI).

Di tengah banyaknya universitas terkemuka tersebut, ternyata Jabar masih berhadapan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah. Di tengah-tengah banyak cerdik pandai dan orang berilmu rupanya banyak pula kawan dan saudara kita yang masih bergelut dengan kebodohan.

Jabar adalah provinsi yang sebetulnya sangat mudah untuk dijadikan provinsi berbasiskan pendidikan tinggi mengingat akses ke fasilitas dan akomodasi pendidikan sangat mudah didapat. Bahkan, beberapa profesor di Malaysia kagum dengan Jawa Barat yang begitu banyaknya pendidikan tinggi, namun pemerintah daerah belum bisa memaksimalkan keadaan ini sebagai momentum yang tepat untuk membangun Jabar.

Membagi Jabar
Jabar dengan kondisi geografisnya sepatutnya dibagi menjadi dua bagian penting, Jabar utara dan Jabar bagian selatan. Jabar utara dengan berbagai ragam industri besar, kecil, dan menengahnya, potensial untuk mendongkrak PAD Jawa Barat. Di sisi lain, Jabar selatan merupakan kawasan penyangga yang sepatutnya dijadikan kawasan pendidikan terpadu sehingga ada sinergi antara Jabar utara dan selatan, dengan Jabar utara sebagai penyuplai "uang" dan Jabar selatan sebagai penyuplai SDM berkualitas.

Bentuk sinergi mutualisme ini merupakan konsekuensi logis dari pembangunan yang kurang merata di Jabar. Jabar utara merupakan kawasan yang dekat dengan ibu kota dan merupakan kawasan kapital (modal), sedangkan Jabar selatan sepatutnya menjadi penyokong kawasan utara dengan mengedepankan sektor pertanian, industri kecil dan menengah, serta membangun basis pendidikan tinggi.

Kawasan pendidikan yang seharusnya ada di Jabar selatan adalah institusi pendidikan yang mempresentasikan kebutuhan kewilayahan. Sebagai contoh, IPB yang bergerak di bidang pertanian bisa menjadi pengelola pendidikan tentang pertanian di kawasan Jabar selatan. Alangkah bijaknya menjadikan IPB menjadi pendidikan tinggi pendamping Jabar selatan karena banyak lumbung-lumbung pertanian di kawasan ini.

Kemudian kawasan Jabar utara dengan industri beratnya sepatutnya didampingi oleh ITB yang merupakan institusi pendidikan teknik yang sudah disegani di mancanegara. Sebagai penyokong pendidikan di tingkat dasar, sudah tentu UPI menjadi penggerak utama untuk mencetak kader-kader pahlawan tanpa tanda jasa yang berkualitas.

Pembagian kawasan ini memang terlihat sangat ekstrem, tetapi pembangunan pendidikan tanpa kemauan yang ekstrem tidak mungkin terwujud dengan baik.

Berlarian
Fenomena SDM andal yang berlarian (brain drain) ke luar negeri merupakan fenomena Indonesia saat ini. Ini merupakan cerita yang menarik tentang seseorang mahasiswa yang menuntut ilmu di luar negeri kemudian mencoba melamar kerja di universitas terkemuka di Bandung dan Jabar, namun universitas tersebut tidak menerima karena persyaratan yang sifatnya lebih birokratis karena ijazah S-2-nya belum dapat diterima, dan hanya diberi surat tanda lulus dari universitas tempat dia menuntut ilmu di luar negeri.

Selama beberapa tahun dosen tersebut mengabdi menjadi dosen luar biasa di beberapa universitas di Bandung dan Jakarta. Dengan berpenghasilan kurang dari Rp 800.000,00 per bulan. Satu tahun berlalu akhirnya salah satu sahabatnya di luar negeri menawarinya posisi dosen di universitas tempat dia dulu menuntut ilmu (universitas yang pernah disejajarkan sebagai 88 besar universitas kelas dunia seperti Cambridge dan Harvard). Dosen itu akhirnya menerima dia sebagai dosen tamu dengan usia yang masih sangat muda yaitu 26 tahun, dengan penghasilan 15 kali lipat gaji di Indonesia dengan standar kerja yang sama yaitu sebagai dosen di Indonesia.

Setelah satu tahun berlalu, dia menyadari ternyata uang bukanlah salah satu pemuas kebutuhannya akan ilmu, akhirnya dia mencoba mendaftar sebagai staf pengajar di universitas yang terkemuka di Indonesia, yaitu Unpad. Hingga saat ini dia sedang menuntut ilmu (S-3) di luar negeri menyadari lebih baik miskin di kampung sendiri, tetapi dapat memberikan kemampuan yang paling maksimal untuk membangun bangsa dan negara sendiri daripada bergelimang harta di negeri orang dan membangun negeri orang lain.

Dari pengalaman itu kita bisa ambil iktibar bahwa banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri yang justru banyak yang akhirnya bekerja di luar negeri demi gaji yang sangat tinggi. Namun banyak juga yang satu pengalaman dengan kawan di atas yang kembali ke tanah air untuk membangun tanah air walaupun harus berhadapan dengan ekonomi yang terseok-seok. Namun itulah yang disebut dengan membela bangsa, bukan dengan politik, melainkan dengan tindakan nyata.

Indonesia bukanlah suatu negara yang tidak berkualitas secara sumber manusia, melainkan negara yang sedang membangun yang perlu memberantas kebodohan sebagai penghambat pembangunan negara. Kemiskinan, pengangguran, dan tindakan kriminal sangat identik dengan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Justru banyak insan-insan intelektual yang berguna melarikan diri ke luar negeri yang harus kita promosikan lagi untuk kembali ke tanah air dan membangun bangsa ini menjadi besar.

Misalnya Cina. Dahulu, ketika masih dalam pengaruh ekonomi terpusat, mereka sangat menekankan pendidikan sehingga mengirim banyak mahasiswa ke luar negeri, namun pada saat kebangkitan ekonomi Cina, mereka yang belajar di luar negeri kembali ke dalam negeri. Dengan kembalinya kaum terpelajar, Cina kemudian beroleh brain booming. Mereka memilih lebih baik membangun negara sendiri meski yuan yang didapat pasti lebih kecil dari mata uang asing.

Manusia andal
Selama ini kita tidak pernah sadar bahwa modal yang paling penting adalah memiliki manusia-manusia yang andal dan berkualitas. Penciptaan ini dalam ilmu sosiologi adalah salah satu bentuk mobilitas menaik yang paling rasional dan merit karena belum ada cara menangani mental mobilitas menaik jika tidak dengan cara pendidikan yang tinggi.

Saya ingat salah seorang profesor saya di Malaysia. Dia mengingatkan bahwa memperkaya hidup manusia bukan dengan uang, melainkan dengan cara enriching human life with knowledge (memperkaya hidup manusia dengan ilmu). Karena semakin orang berilmu ditambah dengan beberapa pengalaman, hal itu akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan andal. Modal dasar memiliki modal manusia yang andal adalah dengan memberikan pendidikan setinggi-tingginya dengan biaya yang semurah-murahnya (bukankah itu prinsip berniaga yang paling baik). Jikalau sumber daya manusia Indonesia sudah mencapai kualitas terbaik, akan muncullah generator manusia yang andal yang dapat digunakan di seluruh negeri.

Pembangunan Indonesia bukanlah pembangunan yang hanya mengandalkan kekuatan sumber daya alam. Buktinya sekarang kita sangat keteteran ketika harga minyak dunia mencapai harga USD 120 dan pemerintah berencana menaikkan bahan bakar minyak sampai 30%, bukankah ini disebabkan manusia gagal mencari energi lain pengganti minyak bumi. Kegagalan itu terjadi bukan karena minyak habis, melainkan karena sumber daya manusia yang sudah tidak tahu lagi untuk mencari pengganti bahan bakar minyak.

Pendidikan dasar sudah tidak cukup untuk memenuhi pasaran kerja dalam pembangunan ini. Untuk membangun bangsa diperlukan pendidikan yang berkelanjutan dan memiliki kualitas yang sangat baik. Pendidikan berkelanjutan maksudnya adalah transfer of knowledge dari satu sisi pendidikan yang satu dengan pendidikan yang lain yang menjadikannya tersinergi untuk mencapai kualitas manusia unggulan. Kemauan manusia Indonesia ini untuk maju juga harus mendapat perhatian utama dari pemerintah pusat dan daerah.

Namun hal ini belum terwujud karena pemerintah pusat sendiri belum sanggup untuk memenuhi 20% untuk anggaran pendidikan. Pemerintah pusat baru sanggup menganggarkan sekitar 12-13% dari anggaran APBN-nya untuk pendidikan. Itu pun masih dikurangi dengan anggaran gaji-gaji dosen dan guru serta staf-staf di departemen pendidikan.

Memang dilematis, namun jangan berkecil hati mengingat anggaran sekarang lebih banyak di daerah sehingga sangat memungkinkan kalau daerah menggunakan dana-dana itu untuk keperluan pendidikan berkelanjutan. Bukankah kita dahulu dapat melakukannya, ketika Provinsi Jawa Barat membangun universitas dari dana APBD-nya. Bukankah program tersebut merupakan program yang berhasil guna untuk masyarakat Jawa Barat?

Catatan pinggir
Kini dapat disimpulkan bahwa diperlukan suatu institusi pendidikan tinggi yang modern yang perlu dibangun di Jawa Barat selatan sebagai salah satu basis pendidikan di Indonesia. Karena pembangunan ekonomi Jabar selatan bisa dimulai dengan pembangunan suatu perguruan tinggi besar yang dapat menampung masyarakat Indonesia akan pendidikan tinggi yang bertaraf internasional.

Bukankah gubernur terpilih sekarang sangat santun dengan dunia pendidikan. Sekaranglah saatnya membangkitkan lagi dunia pendidikan di tatar Sunda yang mendunia?***

Penulis, peneliti Puslit KP2W Lemlit Unpad, Kandidat Doktor Filsafat Sosial dari University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, pengajar tetap di Jurusan Administrasi Negara, FISIP, Unpad. Anggota APSA (Asia Pacific Sociological Association), Penang, Malaysia dan ISA (International Sociological Association) Barcelona, Spanyol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar