Rabu, 21 Mei 2008

Jerman Kian Terbuka, Tetapi tidak Gratis Lagi


PAMERAN pendidikan internasional di Bandung, beberapa waktu lalu. Keterbatasan kouta perguruan tinggi negeri bergengsi membuat banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya di luar negeri.* ANDRI GURNITA/"PR"

JERMAN termasuk negara paling banyak dituju untuk studi. Apalagi, studi di Jerman identik dengan gratis alias tidak bayar. Didukung nama besar teknokrat B.J. Habibie pada waktu itu, hampir dapat dipastikan, gelar Dipl.Ing. merupakan dambaan semua mahasiswa. Alumninya saja untuk Bandung mencapai 250-300 orang, sedangkan untuk Indonesia mencapai 25.000 orang. Namun bagaimanakah kini, saat Jerman Barat dan Jerman Timur sudah tidak bertapal batas lagi?

Menurut Yusuv Suhyar, Dipl.Ing. dari Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Bandung, jenjang pendidikan di Jerman saat ini ada dua, jenjang tradisional yang berakhir dengan diploma dan jenjang baru yang berakhir dengan bachelor atau master. Kedua jenjang terakhir, hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu dan umumnya menggunakan bahasa Inggris.

Sebelum menempuh S-1, siswa internasional asal Indonesia harus mengikuti pendidikan prauniversitas terlebih dahulu. Mengingat pendidikan SMA/SMK di Indonesia hanya 12 tahun, sedangkan lulusan SMA/SMK di Jerman 13 tahun sehingga harus penyetaraan terlebih dahulu.

"Dulu, hasil penyetaraan ini dites lagi. Seleksinya sangat ketat, lebih kurang 50% banyak yang gagal. Biasanya ada yang kerja dulu, bahkan ada juga yang menikah dengan orang sana sampai akhirnya bisa masuk," ujar Yusuv.

Pada dasarnya, biaya pendidikan di Jerman gratis karena hampir semua perguruan tinggi milik negara. Kecuali beberapa perguruan tinggi swasta yang jumlahnya belum banyak. Saat ini, pemerintah Jerman mulai membahas penerapan biaya. Misalnya program diploma yang seharusnya selesai 10 semester, akan dikenakan "uang kuliah" bila sampai 14 semester belum selesai.

Selain itu, calon mahasiswa juga harus mempunyai semacam garansi. Berupa tabungan yang besarannya berbeda-beda untuk setiap program studi. "Jadi, kalau dulu kita bisa seratus persen gratis. Kecuali biaya hidup. Sekarang, pemerintah Jerman menerapkan peraturan seperti itu," tutur Yusuv.

Biaya hidup di Jerman berkisar antara 500 euro sampai 600 euro (sekitar Rp 7,3 juta sampai Rp 8,7 juta) setiap bulannya. Jumlah tersebut sudah cukup untuk menyewa tempat tinggal, makan, kebutuhan pakaian, dan asuransi kesehatan. Dengan kata lain, uang sebesar itu sudah membuat mahasiswa hidup layak. Hanya saja, untuk kota besar tertentu biaya hidup akan lebih besar di atas itu.

Pendidikan di Jerman pada hakikatnya hanya menggunakan bahasa Jerman. Untuk bidang studi tertentu, diperlukan standar kebahasaan tertentu semacam TOEFL. TOEFL bahasa Jerman ini dapat diperoleh di Goethe Institute yang terletak di Jalan Riau Bandung.

Penggunaan bahasa di pendidikan ini bergeser. Untuk program studi internasional menggunakan pengantar bahasa Inggris. Jenjang studi ini menggunakan sistem Anglo-Saxon dengan gelar bachelor (S-1) dan master (S-2).

Gelar pendidikan akademik di Jerman "diploma" yang setara dengan gelar master (S-2) yang dapat dilanjutkan ke doktor (S-3). Selama perjalanan studi hingga gelar diploma, tidak diberikan gelar akademik setara S-1.

Meski tren studi ke Jerman agak menurun, jaminan kualitas pendidikannya masih menjadi "kejaran". Mengingat kualitas pendidikan di Jerman sangat tinggi. Pada umumnya, sebagian besar sudah bergelar profesor dan doktor. Para guru besar hanya mengajar di satu universitas dan sebagian besar dosennya adalah pegawai negeri.

Berbeda dengan Inggris, AS, dan Australia, studi di Jerman menuntut kemampuan meresap jumlah materi pengetahuan lebih besar dengan ketekunan belajar mandiri tanpa banyak dibimbing pengajar. Lulusannya menjadi lulusan bergengsi yang diterima di seluruh dunia. (Eriyanti/"PR")***

1 komentar:

  1. Sedikit pertanyaan,
    saya siswi sma yang tertarik untuk melanjutkan study ke Jerman. Permasalahan saya adalah uang jaminan yang diterapkan oleh pemerintah Jerman kurang lebih 100jt. Kalau untuk persiapan keberangkatan masih bisa dijangkau. Apakah ada cara lain selain uang jaminan 100jt itu? apakah setiap mahasiswa yang ingin bekerja sambil kuliah di sana di batasi hanya 3 bulan? lalu kalau di batasi hanya 3 bulan untuk bulan2 selanjutnya bagaimana? Tolong jelaskan, terima kasih banyak sebelumnya.

    BalasHapus