Rabu, 21 Mei 2008

Pencinta Alam Itu bukan Tarzan

Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri


KEGIATAN Pendidikan Dasar Wanadri (PDW) pada Agustus 2001 lalu. Selain sebagai ajang regenerasi, PDW juga untuk menunjukkan tingkat keberhasilan kepengurusan dalam mengelola organisasi.* HARRY SURJANA/"PR"


"BAYANGKAN bila orang-orang sudah tak mau lagi melakukan kegiatan di alam bebas, kemudian tidak peduli lagi dengan alam dan lingkungan. Apa yang akan terjadi dengan hutan, rimba, sungai, gunung dan laut?"

Pernyataan itu dilontarkan senior Perhimpunan Pendaki Gunung dan Penempuh Rimba Wanadri, Ir. Iwan Abdurachman (Singawalang/1964) dan Prasidi Widyasarjana (Tapak Rimba/1971) awal tahun 2007 di Sekretariat Wanadri Jln. Aceh 155 Bandung. Ungkapan itu merupakan bentuk kekhawatiran keduanya akan kegiatan. Satu perhimpunan yang lahir dari kepedulian para pendirinya akan alam dan lingkungan 16 Mei 1964.

Kekhawatiran Abah Iwan dan Abah Pras, demikian keduanya biasa disapa, bermula dari rangkaian peristiwa tiga calon anggota perhimpunan pencinta alam meninggal dunia. Sejumlah media nasional dan daerah memberitakan kematian ketiganya akibat dugaan keikutsertaannya dalam program pendidikan dasar yang diselenggarakan perhimpunan pencinta alam.

Menurut dua sesepuh Wanadri itu, bagaimanapun kejadian-kejadian seperti itu tidak hanya merugikan pihak korban, tetapi juga kelangsungan hidup kegiatan dan olah raga di alam bebas. Bahkan, tidak mustahil orang-orang akan takut untuk mengikuti kegiatan di alam bebas. Bila itu terjadi, imbasnya juga akan menerpa pada kehidupan masyarakat dan lingkungan.

"Tanpa mengurangi rasa prihatin dan belasungkawa kami kepada keluarga korban, kejadian-kejadian seperti itu tidak seharusnya membuat orang takut. Saya contohkan, ketika pesawat ulang-alik AS meledak di udara yang disaksikan langsung keluarga awak pesawat, AS dan rakyatnya tidak langsung jera. Hari ini meledak, besoknya mereka membuat lagi pesawat ulang-alik," ujar Abah Iwan yang juga dikenal dengan sapaan Abah Ompong.

Dikatakan Abah Iwan, semangat untuk melanjutkan petualangan ke luar angkasa itu diikuti pembelajaran dan penelitian sehingga kasus yang sama tidak akan terulang lagi. Demikian pula pada kejadian-kejadian meninggalnya para calon anggota perhimpunan pencinta alam. Jangan membuat gairah berkegiatan di alam bebas itu berkurang, apalagi sampai padam. Justru, kejadian-kejadian tersebut harus membuat para penggemar kegiatan di alam bebas lebih hati-hati.

"Kegiatan di mana pun akan mengundang risiko, demikian pula kegiatan di alam bebas. Nah, tinggal bagaimana kita mengeliminasi risiko itu. Pencinta alam itu bukan Tarzan yang berada di leuweung tanpa bekal dan perlengkapan. Oleh karena itu, pencinta alam harus dibekali ilmu dan keterampilan untuk hidup di alam bebas," ujar Abah Iwan.

Pembekalan ilmu dan keterampilan itulah yang biasa disebut dengan Pendidikan Dasar Wanadri (PDW) dilakukan setiap dua tahun sekali seiring dengan pergantian kepengurusan. Untuk tahun ini, PDW 2008 digelar sejak 31 Mei hingga 10 Agustus mendatang.

Dalam obrolan yang juga dihadiri anggota Wanadri, M. Heru N. (Kabut Lembah/1999), Galih Donikara (Topan Rawa/1989), Agus Nugraha (Elang Rimba/1983), dan Dedi Chiko (Tapak Lembah/1993), Abah Pras, menjelaskan bagaimana kerasnya Wanadri menjalankan prosedur dan pendidikan dasar.

Setidaknya, ada tiga tahap khusus yang dilaksanakan Wanadri sebelum melakukan pendidikan dasar di lapangan. Selama ini, citra kelompok, perhimpunan atau apa pun yang berbau kegiatan pencinta alam, dalam pendidikan dasar pencinta alam sering terjadi kekerasan fisik. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Di Wanadri misalnya, dalam tata tertib secara tegas dinyatakan kalau menempeleng dilarang bila tidak dalam kondisi yang mengharuskannya. "Bahkan, orang yang berhak menempeleng pun tidak sembarangan," ujar Abah Iwan.

"Kegiatan di alam bebas itu keras, jangan ditambah lagi oleh kekerasan fisik. Kami berpegang pada pesan salah seorang pelindung kami, Pak Sarwo Edhie, yang mengatakan bahwa pendidikan itu dimaksudkan untuk membangun human skill. Kekerasan bisa jadi bukannya membangun, melainkan menjatuhkan human skill peserta. Kalau sudah down, pendidikan akan percuma karena tidak menghasilkan anggota yang sesuai dengan harapan," ujar Abah Iwan lagi.

Untuk ikut PDW juga tidak sembarangan peserta yang dapat ikut, selain WNI dan sudah berusia 16 tahun, setelah proses administrasi, peserta akan mengikuti tahap pertama berupa tes penjaringan calon peserta. Tes yang dilakukan adalah tes kesehatan (general check up) bekerja sama dengan Kesdam, psikotes (Psikoad), physical fitness (kebugaran fisik), dan tes renang.

Tahap kedua adalah masa prakondisi. Pada tahap kedua, para calon peserta yang sudah lolos tes mendapat pelatihan fisik selama dua bulan. Kemudian masuk tahap ketiga berupa program pemberian teori dan teknik hidup di alam bebas. "Setelah semua tahap itu dilampaui, barulah pendidikan di lapangan dilaksanakan. Program di lapangan pun dilakukan secara gradual (bertahap) sesuai dengan target yang ingin kita capai," ujar Abah Pras menambahkan.

Program pendidikan di lapangan meskipun berupa kelompok, namun menekankan pada kemandirian peserta. Jadi, tidak sembarangan untuk bisa menjadi seorang pencinta alam dan lingkungan. (Retno HY/"PR") ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar