Rabu, 14 Mei 2008

Naga Bonar: Kembalinya Harta Karun

 



Rabu, 14/5/2008 | 12:10 WIB


Jenis film: Komedi/Drama
Pemain: Deddy Mizwar, Nurul Arifin, Afrizal Anoda, Wawan Wanisar, Piet Pagau, Roldiah Matulesy, Yetty Mustafa, Nico Plemonia, Kaharuddin Syah
Sutradara: MT Risyaf
Penulis skenario: Asrul Sani
Produser: Bustal Nawawi
Produksi: Prasidi Teta And Citra Sinema


Dua puluh dua tahun pita seluloid film Naga Bonar arahan sutradara MT Risyaf itu tersimpan di ruangan Sinematek. Kini, lewat perjuangan yang keras, film yang skenarionya ditulis secara bernas dan cerdas oleh mendiang budayawan Asrul Sani itu, akhirnya dihadirkan kembali kepada masyarakat.

Itu sebuah kerja keras yang perlu diapresiasi. Ia hadir untuk setidaknya memaknai momen seabad Kebangkitan Nasional.
Kehadiran kembali Naga Bonar, seperti dituturkan Deddy Mizwar, salah satu pemain yang menggagas pemutaran kembali film tersebut, diharapkan bisa memberi ruang bagi masyarakat untuk mengambil pelajaran darinya tentang nilai-nilai perjuangan dalam rangka memaknai momen 100 tahun Kebangkitan Nasional.

Tak mudah memang untuk bisa menghadirkan kembali Film Terbaik Festifal Film Indonesia 1987 (FFI 1987) ini dengan kualitas di atas rata-rata. Namun, berkat kegigihan Deddy dan sejumlah rekannya, film ini bisa dinikmati lagi dengan kualitas gambar dan sound yang sangat layak.

Meski tidak sedikit adegan terpaksa dipotong lantaran tak bisa diselamatkan dari jamuran, itu tak berarti membuat Naga Bonar kehilangan ruhnya. Seperti yang pernah dilontarkan mendiang Asrul Sani tentang skenario yang ditulisnya itu, ia ingin menyuguhkan sebuah cerita yang bisa menumbuhkan rasa persahabatan, kesederhanaan berpikir, dan memiliki nilai-nilai patriotisme.
Ya, meski film ini telah melewati zamannya, ruh yang dibangun dalam ceritanya masih terasa relevan dengan suasana kebangsaan saat ini. Lewat Naga Bonar, Deddy, peraih Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 1987, memang berharap nilai-nilai yang ada dalam film tersebut menjadi hal yang bisa direnungkan kembali untuk kita bangkit menjadi bangsa yang besar dan dihargai. Dan, tema perjuangan, persahabatan, dan kasih sayang dalam film itu berhasil diracik lewat pendekatan komedi yang cerdas.

Naga Bonar, tokoh rekaan Asrul Sani, menjadi simbol dari tiga tema besar tersebut. Dikisahkan, Naga Bonar bukan sosok yang terpelajar. Ia hanya seorang mantan copet yang tergerak maju ke medan perang demi mempertahankan Tanah Air dari usaha pendudukan kembali pasukan penjajah. Ia mendaulat dirinya menjadi seorang Jendral untuk memimpin pasukan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sumatera Utara. Dengan pangkat jendral itu, awalnya ia berharap bisa menikmati segala kemewahan. Tapi, kenyataan justru lain.

Naga Bonar boleh saja terlihat tampak bodoh. Tapi, di balik itu semua, ia sosok yang memiliki nilai-nilai hidup yang luhur. Kecintaannya terhadap Mak-nya (Roldiah Matulesy), persahabatannya dengan si Bujang (Afrizal Anoda), dan ketulusan cintanya pada Kirana (Nurul Arifin)--perempuan yang jadi tawanannya semasa bergerilya--merupakan gambaran betapa ia memiliki nilai-nilai tersebut.

Sosok Naga Bonar pada akhirnya diharapkan bakal menjadi jembatan bagi generasi muda untuk memahami siapa sebenarnya Naga Bonar, yang berhasil mencuri perhatian generasi MTV lewat film Naga Bonar Jadi 2, yang disutradarai dan dimainkan oleh Deddy.

Rentetan cerita yang disuguhkan dalam Naga Bonar Jadi 2 memang tak terlepas dari film pertamanya yang disutradarai MT Risyaf. Pertemuan Maryam dan Naga Bonar dalam Naga Bonar Jadi 2 bukan tanpa alasan. Adegan tersebut menjadi bagian yang mengharu biru, tentu saja bagi mereka yang pernah menonton versi pertamanya. Generasi MTV tentu saja menganggap pertemuan itu tak ubahnya sebuah reuni biasa. Tapi, jika anda termasuk mereka yang berkesempatan menyaksikan film pertamanya, tentu saja anda akan sangat berbeda memahami makna pertemuan tersebut.

Pada akhirnya, kehadiran kembali Naga Bonar, film yang nyaris terkubur itu, pantas diberi acungan dua jempol. Terlebih butuh usaha ekstra untuk bisa menghadirkannya kembali ke masyarakat melewati sebuah perjuangan yang panjang.

Diakui Deddy, tidak gampang untuk bisa mengumpulkan ulang para pemainnya demi melakukan proses pengisian suara atau dubbing kembali, mengingat kualitas film terdahulunya sudah dalam kondisi kurang prima. ''Menyamakan suara yang tentu saja berbeda dengan suara 22 tahun itulah yang paling sulit,'' ujar Deddy.
Belum lagi usaha melakukan restorasi yang tak gampang. Banyak seluloid yang telah berjamur dan membuat sejumlah scene tidak bisa diselamatkan.

Usaha keras juga dilakukan dengan mengajak kembali Franky Raden, music director, yang pada FFI 1987 meraih Piala Citra untuk ilustrasi musik, agar bisa terlibat kembali dalam proses penggarapan ulang film itu. Franky sengaja didatangkan dari AS untuk melakukan supervisi ulang penggarapan musiknya. Hasilnya? Ya, bangsa ini patut bersyukur karena harta karun tersebut kini telah kembali untuk dijadikan bahan perenungan atau mungkin sekadar bernostalgia.

Eko Hendrawan Sofyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar