Suku Baduy tinggal di sekitar pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang merupakan tanah ulayat sesuai dengan Perda Kabupaten Lebak No. 32 /2001 tentang Perlindungan Atas Hak Tanah Ulayat Masyarakat Baduy. Luas total wilayahnya mencapai 5.136, 58 hektare.
Selama ini, sebagaimana suku lainnya, suku Baduy disebut suku terasing atau masyarakat pedalaman. Namun, istilah tersebut kini tidak relevan lagi karena dikonotasikan negatif sebagai masyarakat tertinggal, masyarakat terbelakang. Untuk menyebut komunitas semacam Baduy sekarang menggunakan istilah "masyarakat adat terpencil". Dengan demikian, walau menempati daerah pedalaman yang terpencil, tak mengurangi jati diri dan martabat mereka sebagai manusia.
Kendati dari segi istilah mengalami perubahan, suku Baduy masih menyisakan beberapa perbedaan persepsi, misalnya tentang asal-asul dan prinsip masyarakat Baduy. Persepsi yang beredar di kalangan masyarakat luar yang bukan Baduy berbeda dengan persepsi masyarakat Baduy sendiri.
Ada pendapat mengatakan, asal-usul masyarakat Baduy sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran. Masyarakat Banten yang dipimpin Raja Saka Domas (Pucuk Umun) sebagai pemeluk animisme. Tahun 1525, Maulana Hasanuddin mengislamkan Banten Utara secara berangsur-angsur, yang tidak masuk Islam mengungsi ke Parahiyangan atau Cibeo, Kanekes, Banten ( Rafiudin dalam Iskandar dkk, 2001). Masih ada beberapa versi lain tentang asal-usul masyarakat Baduy yang hampir sama.
Hal ini berbeda dengan pengakuan pemangku adat Baduy. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Baduy merupakan keturunan langsung manusia pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi, bernama Adam Tunggal. Mereka meyakini suku-suku bangsa lain di dunia bagian atau keturunan lanjutan dari masa lalu mereka dengan tugas berbeda-beda. Tanah ulayat mereka diyakini pula sebagai inti jagat (Dr. Ahmad Sihabudin M.Si. dan Asep Kurnia, 2010). Keyakinan masyarakat Baduy tersebut persis seperti keyakinan masyarakat di sekitar Gunung Merapi. Seperti di desa Mbah Maridjan yang meyakini tanah mereka merupakan pusat kekuasaan di tanah Jawa.
Prinsip hidup
Asal-usul yang diyakini menjadi prinsip hidup masyarakat Baduy yang berlaku hingga kini. Di antara prinsip yang diyakini adalah carek-lisan-khabar (perintah, ucapan, dan berita) yang merupakan tugas kesukuan mereka (wiwitan). Sementara lawan dari ketiga kata itu adalah coret-tulisan-gambar yang merupakan tugas manusia modern di luar suku Baduy.
Sebagai implementasi carek-lisan-khabar, masyarakat Baduy tetap teguh menggunakan tradisi lisan atau bahasa tutur. Lebih jauh, masyarakat Baduy tak mau belajar di sekolah formal dengan alasan bisa merusak tatanan budaya mereka. Akan tetapi, terutama Baduy luar (penamping), banyak yang pandai baca-tulis.
Uniknya, seperti pengamatan penulis dan wawancara dengan beberapa penduduk di sana, cara mereka belajar, yaitu ketika misalnya membeli sabun atau rokok dihafal mereknya dan di rumah tulisan pada bungkusnya dipakai untuk belajar. (Penduduk Baduy luar hampir mirip masyarakat bukan Baduy, mandi dengan sabun, gosok gigi dengan pasta gigi, dan merokok). Atau, mereka belajar baca-tulis dengan membentuk kelompok belajar di rumah yang dipandu para sukarelawan.
Budaya masyarakat Baduy yang nonliterat dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk strategi mereka dalam melestarikan prinsip hidup dan adat istiadat secara turun-menurun. Apa yang disampaikan oleh sesepuh berupa carek (perintah), lisan (ucapan), dan khabar (berita). Dengan demikian, asal-usul mereka pun sangat sulit dilacak, kemungkinan untuk menghindari kaji ulang atau dikritisi.
Masyarakat Baduy juga tidak mengikuti gaya hidup modern. Masyarakat Baduy luar sekalipun tak mau menggunakan listrik untuk penerangan. Mereka kukuh menggunakan lampu tempel. Di Kampung Ciboleger, perbatasan antara perkampungan Baduy dan perkampungan bukan Baduy, hanya dibedakan oleh bentuk rumah. Rumah baduy berdinding bilik bambu dan beratap rumbia, sedangkan yang lain berdinding tembok dan beratap genteng. Ketika malam tiba, perbedaan kian kontras karena soal listrik tadi.
Lawan carek, lisan, dan khabar adalah coret, tulisan, dan gambar. Tiga kata terakhir merupakan tugas kelompok manusia lain yang modern, yaitu meramaikan dunia. Yang pada perkembangan mutakhir, adanya berbagai alat elektronik dan komputerisasi. Ketiganya terpadu atau biasa disebut multimedia. Namun, kemajuan yang terus bergerak bukan tanpa risiko. Berbagai persoalan terus terjadi dan tak jarang menelan korban, termasuk manusia sendiri yang menjadi korbannya.
Bukan pelarian
Banyak literatur tentang asal-usul masyarakat adat terpencil. Seperti halnya Suku Tengger dan suku asing di sekitar pegunungan Bromo dan Pegunungan Ijen di Jawa Timur. Mereka diam di daerah pegunungan karena terdesak seiring runtuhnya Majapahit dan Blambangan.
Demikian halnya suku Baduy. Beberapa sejarah mengidentifikasi mereka ke daerah pegunungan Kendeng karena terdesak seiring runtuhnya Pajajaran setelah masuknya Islam di Banten. Namun, seperti diungkapkan di atas, suku Baduy menolak disebut pelarian setelah terdesak dari proses islamisasi di Banten Utara.
Terlepas pengakuan mana yang benar, terpenting adalah keberadaan masyarakat adat terpencil tidak selayaknya diusik. Keberadaannya sangat berarti bagi kelangsungan kosmologi. Diketahui, topografi Provinsi Banten terdiri atas empat kota dan empat kabupaten. Kota Serang, Tangerang, Tangerang Selatan, Cilegon, Kabupaten Serang, Tangerang, Lebak, dan Pandeglang.
Dari wilayah tersebut, sebagian besar telah padat, berupa kawasan industri ataupun perumahan yang ekologinya sudah terganggu akibat pesatnya proses pembangunan. Tinggal dua daerah, Lebak dan Pandeglang yang relatif masih memiliki kawasan alami. Di Lebak, ada kawasan tanah ulayat masyarakat Baduy. Sementara di Pandeglang, ada kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon.
Sangat naif jika Baduy, komunitas masyarakat adat terpencil yang menjaga keseimbangan alam dan keharmonisan sosial terus diusik dan dipolitisasi. Jika terus diusik, akan berakibat pada rusaknya lingkungan dan lunturnya keyakinan serta adat istiadat mereka sebagai bentuk kearifan lokal. Biarlah mereka bertahan bersama budaya tradisi carek, lisan, dan khabar. (Sumarno, pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Tangerang, Banten)***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=165655