Selasa, 10 Juni 2008

Terpaksa Sekolah dan Ujian di Kandang Ayam

Pendidikan


KOMPAS/AGUSTINUS HANDOKO / Kompas Images
Murid-murid kelas III Sekolah Dasar Islam Darul Ihsan, Desa Cimangkok, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menyimak pelajaran pada Sabtu (7/6) seusai mengikuti ujian kenaikan kelas.



Selasa, 10 Juni 2008 | 03:00 WIB

A Handoko

Tiba-tiba meja dan kursi yang diduduki Muhammad Danil (9), Hanafi (9), dan Supendi (9) patah dan hampir roboh. Sidik (9) yang duduk di depannya nyaris terkena paku yang mencuat di ujung meja.

Mereka berempat kemudian bersama-sama menancapkan lagi paku-paku di ujung papan dengan kaki meja sehingga meja bisa berdiri lagi.

Meja dan kursi yang dibuat dari kayu lunak sengon laut itu sudah lima tahun setia menemani hari-hari belajar siswa-siswa kelas III Sekolah Dasar (SD) Islam Darul Ihsan, Ciburial, Kecamatan Sukalarang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. ”Meja itu memang sudah beberapa kali patah, kemudian diperbaiki dengan cara dipaku,” kata Ani Maulani (29), guru kelas III.

Meja usang dan nyaris tak layak pakai itu menjadi pelengkap pemandangan menyedihkan di ”kelas” yang dihuni 20 murid, Sabtu (7/6). Tempat belajar anak-anak kelas III dengan ukuran 4 x 8 meter itu tak layak disebut kelas. ”Ruang ini dulu merupakan kandang ayam. Setelah pemilik bangkrut karena ada isu flu burung tahun 2003, kandangnya saya minta digunakan sebagai ruang belajar,” kata Kepala SD Islam Darul Ihsan Denden Abdul Qohar.

Sebagian dinding kelas dari anyaman bambu itu sudah koyak. Bagian bawah dinding kandang dengan anyaman rapat setinggi dada orang dewasa sudah banyak berlubang. Dinding bagian atas hingga atap yang terdiri dari jajaran bilah bambu lebar di satu sisi ruang sudah lepas seluruhnya.

Ruang yang dipakai Danil dan kawan-kawannya itu merupakan satu dari dua ruang yang hampir sama kondisinya. Satu bekas kandang lainnya digunakan oleh murid-murid kelas II yang berseberangan dengan ruang kelas III. Dua bekas kandang ayam itu dipisahkan oleh kolam yang kumuh. Kolam tersebut berisi bilah-bilah bambu yang sewaktu-waktu akan digunakan untuk menyulam rangka atap yang jebol. Kolam juga dipenuhi sampah sehingga bau anyir terhirup kalau angin berembus.

”Sering kali sulit menangkap pelajaran karena kelasnya tidak nyaman. Apalagi kalau hujan, air masuk dari samping juga dari atap karena bocor,” kata Sidik.

Ketidaknyamanan tempat belajar menjadi persoalan utama yang dihadapi murid-murid itu sehingga konsentrasi belajar terganggu, termasuk saat ujian kenaikan kelas yang baru selesai dilakukan murid-murid itu.

”Kami tidak bisa konsentrasi mengerjakan ujian karena tempatnya seperti ini. Kami ingin sekali seperti anak-anak sekolah lain yang belajar dan ujian di kelas yang bersih,” ungkap Hanafi.

Seusai ujian kenaikan kelas pada Jumat, murid-murid masih meneruskan pelajaran mereka pada Sabtu. ”Pelajaran masih diteruskan walaupun sudah ujian kenaikan kelas. Hanya sedikit materi yang masuk dalam ingatan anak-anak saat pelajaran karena mereka terganggu suasana yang tidak nyaman ini. Maka, banyak materi yang harus diulang,” kata Ani, guru dengan honor Rp 170.000 per bulan dari Yayasan Darul Ihsan untuk mendampingi murid-murid kelas III dan dan kelas II.

SD Islam Darul Ihsan berdiri pada tahun 2003 untuk menampung anak-anak tak mampu dari Desa Cimangkok. Hingga tahun 2006, tiga angkatan pertama menempati tiga bekas kandang ayam. Setelah itu, murid-murid kelas I dipindahkan ke sebuah ruang pengajian desa. Dua tahun terakhir, siswa kelas IV dan V menempati dua ruang permanen yang dibuat dari dana bantuan Pemerintah Kabupaten Sukabumi.

”Kami memutuskan membuat sekolah karena keluhan dari warga, anak-anak mereka harus berjalan jauh ke sekolah. Mereka juga masih dipungut biaya. Di sini, anak-anak tak kami pungut sama sekali walaupun harus bertahan di kandang ayam. Orangtua mereka hanya buruh tani,” kata Denden.

Selain bantuan untuk pembuatan dua ruang kelas, sekolah juga mendapat dana bantuan operasional sekolah (BOS). Semua dana digunakan untuk membeli buku pelajaran karena sekolah tak memiliki sumber lain untuk membeli buku pelajaran.

Wakil Bupati Sukabumi Marwan Hamami mengatakan, sekolah itu sebetulnya terlalu dipaksakan. Yayasan tidak perlu terburu-buru membuka sekolah. ”Sekarang, yang menjadi korban adalah anak-anak karena harus belajar di bekas kandang ayam,” katanya.

Sukabumi memiliki APBD Rp 1 triliun lebih pada tahun 2008 ini, tetapi hanya 15 persen yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar