Sabtu, 28 Juni 2008

Bahasa Sunda di Tapal Batas

Kalaupun masih tersisa perbedaan, hanya terletak pada dialek (cara pengucapan bahasa tersebut). Contohnya, penutur bahasa Sunda asal Amerika tentu akan berbeda dengan penutur bahasa Sunda asal Kuningan. Ada "lentong" yang membedakan di antara keduanya.

BAHASA Sunda sebagai bagian dari budaya suatu masyarakat tidak dapat mengelak dari batasan-batasan wilayah administratif. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan bahasa Sunda juga sangat ditentukan oleh kebijakan pusat (dalam hal ini pemerintah provinsi) dan daerah (pemerintah daerah). Akibatnya, keberadaan bahasa Sunda di suatu wilayah tertentu yang berbeda secara administrasi politik nyaris mati atau justru "dimatikan".

Persoalan-persoalan bahasa Sunda di tapal batas administrasi politik ini menjadi topik yang dibicarakan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) pada saat mengadakan "Saba Sastra" dan menggelar "Gundem Catur Sastra jeung Pangajaran Sunda" di Kab. Kuningan. Kegiatan yang merupakan hasil kerja bersama antara PPSS, Balai Pengembangan Bahasa Daerah (BPBD) Jawa Barat, Pemkab Kuningan, Dinas Pendidikan Kuningan, Dinas Pariwisata Kuningan, Tim Penggerak PKK Kuningan, PWI Cabang Kuningan, Daya Mahasiswa Sunda (Damas) Kuningan, dan Koran Sunda "Midang" ini diikuti berbagai unsur seperti guru, seniman, budayawan, pemerhati pendidikan, mahasiswa, dan pelajar.

Hadir sebagai keynote speaker pada pertemuan tersebut Ketua PPSS, Etti R.S., M.Hum., dan empat pembicara lain, yakni Dadan Sutisna (pengarang/pengasuh website), Safrina Noor (Dosen UPI Bandung), Asep Ruhimat (guru/pengarang), dan Holisoh M.E. (guru/pengarang) dipandu Dian Hendraya (pengarang/presenter TV).

Dari hasil pertemuan itu terungkap bahasa Sunda yang berada di wilayah-wilayah perbatasan atau berada di suatu wilayah yang berbeda secara administrasi politik sering kali pada akhirnya menjadi bahasa minoritas. Parahnya, indikasi tersebut didukung pola kebijakan Pemrov Jabar dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar yang mengadakan kegiatan "Workshop Sastra" setiap tahun di setiap wilayah.

Dalam workshop tersebut, pemerintah mengotak-ngotakkan bahasa Sunda sesuai kedudukannya per wilayah administratif. Pada tahun 2006 "Workshop Sastra Sunda" diselenggarakan di Wilayah Priangan (Tasik), 2007 di Wilayah Purwakarta (Subang), dan 2008 di Wilayah Bogor (Cianjur).

Bila pemerintah kembali mengadakan kegiatan tersebut untuk wilayah Cirebon, kemungkinan besar Kab. Kuningan akan masuk menjadi bagian dari wilayah Cirebon. Dari segi kewilayahan, Kuningan merupakan bagian dari kota-kota kecil yang berada di wilayah Pantai Utara (Pantura) dan berdekatan dengan Cirebon. Walaupun secara bahasa dan budaya, Kuningan berbeda dengan Cirebon.

Pada kondisi ini, keberadaan bahasa Sunda di Kuningan sangat mungkin menjadi bahasa minoritas. Pola pendidikan kebahasaan yang digunakan harus mengikuti kebijakan kebahasaan wilayah tersebut, seperti juga yang terjadi di daerah Brebes dan Majenang. Kebaradaan bahasa Sunda pada akhirnya menjadi bahasa minoritas.

Padahal secara budaya, masyarakat Brebes dan masyarakat Majenang adalah pemakai bahasa Sunda. Namun secara administratif, wilayah itu berada di daerah Jawa. Masyarakat Brebes dan Majenang akhirnya menggunakan bahasa daerah Jawa Brebes dan Majenang.

Kekhawatiran Etti ini lebih gamblang terkuak manakala Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda Kuningan, Yayat Ruhiyatun, membeberkan tentang sulitnya mendapatkan buku bahan ajar maupun buku pendukung bahan ajar. Guru hanya mengandalkan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibuat guru sendiri yang tergabung dalam MGMP.

Selain tidak banyak penerbit yang masuk ke daerah ini, toko buku yang tersedia pun hanya tiga tempat, sedangkan perpustakaan daerah baru sedang (akan) dibangun. Sementara dana bantuan operasional (BOS) yang diberikan pemerintah pusat untuk pengadaan buku-buku gratis di sekolah, terbatas untuk buku-buku mata pelajaran ujian nasional (UN). Alhasil, pendidikan dan pengajaran bahasa Sunda sangat terbatas.

Lebih parah lagi, ketersediaan guru bahasa Sunda yang berlatar pendidikan bahasa Sunda pun sangat sedikit. Akibatnya, berdampak pada sistem pengajaran yang diberikan. Sementara di sisi lain, dalam tataran pendidikan nasional maupun global, guru sudah bersentuhan dengan kemajuan teknologi informasi sehingga guru yang kreatif merupakan kebutuhan yang sangat mutlak.

Dari beberapa pertanyaan yang disampaikan peserta tergambar bahwa guru mengalami kesulitan pada saat harus menyampaikan pendidikan dan pengajaran bahasa Sunda. Beberapa di antaranya adalah apa dan bagaimana cara mengemas pendidikan bahasa Sunda yang selaras dengan kebutuhan global.

**

KETERBATASAN bahasa Sunda di daerah tapal batas seperti itu seharusnya memang tidak perlu terjadi. Keberadaan suatu bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut seharusnya memang tidak perlu dibatasi secara wilayah administratif. Apalagi, dengan terus bergulirnya kemajuan internet ke setiap lini kehidupan di mana pun sudah memupus kepentingan persoalan batasan wilayah tersebut.

Dadan Sutisna memaparkan, perkembangan dan kemajuan suatu bahasa tidak diukur batasan-batasan wilayah administratif di mana bahasa tersebut berada. Perkembangan dan kemajuan bahasa sangat ditentukan kebiasaan budaya baca tulis masyarakat pemakai bahasa tersebut. Semakin banyak masyarakat tersebut membaca dan menulis karya-karya yang dibuat para pengarang dalam bahasa tersebut, bahasa itu pun akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Sebaliknya, semakin rendah tingkat budaya baca dan tulis masyarakat, tunggulah kepunahan bahasa tersebut. Meski demikian, kebiasaan baca tulis masyarakat tersebut secara langsung ataupun tidak akan sangat bergantung kepada bahan bacaan yang tersedia. Namun sayangnya, di sebagian besar daerah apalagi daerah perbatasan, ketersediaan buku dan sumber-sumber bacaan Sunda sangat terbatas.

Lebih parahnya lagi, masyarakat yang sudah melek media juga sangat terbatas. Sumber-sumber bahan ajar masih dipandang harus berasal dari buku. Kalaupun sarana multimedia seperti internet sudah masuk sekolah, terkendala kemampuan guru dalam menguasai teknologi perangkat tersebut.

Saat ini saja, menurut Dadan, terdapat enam website kesundaan, yakni daluang.com, cupumanik.com, galuh-purba.com, ppss.or.id, sunda.web.id., dan urang-sunda.net. Semua website berisi berbagai informasi berkenaan dengan bahasa, sastra, dan budaya Sunda, serta dikelola oleh orang-orang yang mumpuni di bidang bahasa dan sastra Sunda.

Cuma persoalannya, keterampilan guru di bidang teknologi informasi masih sangat terbatas. Selain itu, daya beli masyarakat (daerah) selaku pengguna ruang maya pun berbeda jauh dengan masyarakat perkotaan. Mereka cenderung lebih mengandalkan buku yang diberikan pemerintah pusat.

Pada kondisi seperti ini, guru dapat menghidupkan dan menambah variasi bahan ajar maupun pendukung bahan ajar, tidak harus terpaku pada buku, tetapi dapat menggunakan majalah dan media dalam bentuk cetak ataupun maya (internet) yang tersedia di sekolah sehingga pendidikan dan pengajaran bahasa Sunda tidak harus terkendala persoalan wilayah administratif.

Pada tataran yang lebih global, Safrina Noorman mendedahkan bahwa perkembangan suatu bahasa nantinya akan mengarah pada bahasa hibrida, di mana setiap bahasa akan saling memengaruhi satu sama lain sehingga identitas itu sudah tidak ada. Persoalan batasan wilayah administratif pun ambruk dan tidak ada lagi bahasa minoritas atau "diminoritaskan".

Kalaupun masih tersisa perbedaan, hanya terletak pada dialek (cara pengucapan bahasa tersebut). Contohnya, penutur bahasa Sunda asal Amerika tentu akan berbeda dengan penutur bahasa Sunda asal Kuningan. Ada "lentong" yang membedakan di antara keduanya.

Bahasa hibrida seperti ini, menurut Safrina, tidak perlu dikhawatirkan karena sesuai sifatnya, bahasa selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Begitu juga dari sisi perubahan mental dan moral pemakai bahasa tersebut, Safrina merasa tidak perlu mencemaskannya. Meskipun sifat bahasa selalu berubah dan beradaptasi dengan perubahan tersebut, nilai-nilai budaya masyarakat yang terkandung dalam bahasa tersebut tidak akan pupus.

Kini, persoalannya adalah bagaimana pemerintah selaku pemegang regulasi pendidikan dan masyarakat yang peduli dengan keberadaan bahasa Sunda di perbatasan memberi wawasan kepada masyarakat terutama kalangan terdidik dalam memahami keberadaan bahasa Sunda di daerah tersebut agar lebih tercerahkan.

PPSS selaku komunitas yang notabene hanya mengandalkan semangat dan urunan "receh" dari para simpatisannya sudah memulai pencerahan itu. Bagaimana dengan pemerintah dan unsur terkait lainnya? (Eriyanti/"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar