Sabtu, 28 Juni 2008

Jaya Suprana, Tetap Setia pada Jamu


/ Kompas Images


Sabtu, 28 Juni 2008 | 03:00 WIB



Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR

Belum lama ini, Balai Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM melarang peredaran 54 merek jamu dan obat tradisional karena mengandung bahan kimia obat keras. Hal itu menimbulkan keprihatinan mendalam bagi Jaya Suprana. Maklum, baginya, jamu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan keluarga. Puluhan tahun menggeluti usaha jamu, membuatnya tak rela nama jamu ”tercemar”.

Langkah BPOM benar karena jamu dilarang mengandung ramuan kimiawi. Apalagi obat terlarang yang membahayakan kesehatan, bahkan nyawa manusia. Ramuan jamu harus 100 persen nabati tanaman berkhasiat, tanpa kompromi,” katanya.

Bagi Jaya, memberi ramuan kimiawi adalah tindakan kriminal. Ramuan kimiawi dalam jamu juga mencemarkan nama jamu. ”Ini jelas mencemarkan reputasi jamu sebagai obat tradisional Indonesia yang mengandung bahan ramuan nabati. Jamu itu berbeda dari obat tradisional China,” ujarnya.

Keprihatinan Jaya beralasan. Selama 90 tahun lamanya, keluarga besarnya menjalankan usaha Jamu Jago. Ia ikut memperjuangkan jamu agar diakui dan setara dengan obat farmasi.

Berpuluh tahun menggeluti usaha jamu, membuat Jaya dikenal sebagai jamulog. Sepulang dari sekolah di Jerman tahun 1976, Jaya terjun mengurus perusahaan Jamu Jago. Ia mulai bergabung dengan perusahaan keluarganya itu dengan posisi manajer pemasaran, hingga menjadi Presiden Komisaris.

Oleh karena itulah, industri jamu, baginya, tak sekadar bisnis belaka. ”Jamu itu memiliki makna ganda. Di satu sisi merupakan komoditas industri perusahaan keluarga Suprana, merupakan sumber nafkah. Di sisi lain, jamu merupakan karsa dan karya kebudayaan Nusantara di bidang kesehatan,” ujarnya.

Dua hal itu membuat Jaya berusaha menjunjung harkat dan martabat jamu di dunia kesehatan nasional yang ”dimonopoli” kebudayaan kesehatan asing. Kesadaran ini mulai tumbuh sepulangnya studi dari Jerman.

”Saya menyadari, secara kultural Indonesia ternyata masih dijajah imperialisme kebudayaan, termasuk kesehatan,” katanya.

Sejak itu, ia bersama Gabungan Pengusaha (GP) Jamu memperjuangkan agar melalui Undang-Undang Pelayanan Kesehatan Nasional, jamu wajib diakui dan diterima sebagai pendamping. Jamu setara dengan obat farmasi dan kedokteran. Perjuangan tak berhenti sampai di sini. Status ahli peramu jamu dan pengobat jamu juga diperjuangkan agar setara dengan apoteker dan dokter yang berasal dari dunia tradisi pengobatan Barat.

Sejak April 2008, Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Jamu Jago merintis kerja sama dengan Kementerian Riset Teknologi (Ristek) Bidang Utilitasi dan Diseminasi Iptek. Mereka menyusun kurikulum Sekolah Tinggi Jamu untuk mendidik para ahli peramu jamu dan pengobat jamu.

”Saya berharap jamu dan obat farmasi bersama-sama mempersembahkan karsa dan karya untuk Indonesia, melalui dwi jalur pelayanan kesehatan nasional Indonesia. Jamu dengan daya preventif dan promotifnya, sedangkan obat farmasi dengan daya kuratifnya,” ujar Jaya.

Generasi keempat

Kini, sehari-hari, Jamu Jago lebih banyak dijalankan oleh generasi keempat keluarga Suprana. Meski begitu, Jaya tetap mengontrol jalannya perusahaan Jamu Jago. ”Sekarang kan zaman modern, kontrol cukup dilakukan lewat teknologi komunikasi,” ujarnya.

Sebagai generasi ketiga perusahaan Jamu Jago, Jaya bangga dengan usaha jamu keluarga yang hampir 90 tahun berjalan tanpa konflik. Sekarang ”tongkat estafet” siap diserahkan kepada penerusnya.

”Salah satu filosofi dasar kami adalah ojo dumeh. Filosofi yang lainnya, rukun agawe santosa, dan ketulusan,” kata Jaya yang sampai sekarang secara kontinu menemui para karyawan di pabriknya. Dari tatap muka itu, ia bisa mengetahui keluhan karyawan dan memotivasi mereka.

”Saya tidak pernah minum obat kimia, tetapi setiap pagi saya selalu minum jamu. Makanya, saya juga tekankan agar karyawan minum jamu biar mereka tahu manfaatnya,” ucapnya.

Jamu Jago berkembang menjadi industri dengan karyawan sekitar 2.000 orang. Produk jamunya pun semakin beragam. Tak kurang dari 120 jenis produk Jamu Jago beredar di pasaran. Sebanyak 60 persen di antaranya bisa dikonsumsi pria dan wanita, 25 persen jamu untuk pria, 14 persen jamu khusus wanita.

Adapun 1 persen selebihnya diperuntukkan bagi hewan ternak. Sebab, ampas jamu pun tidak dibuang, tetapi didayagunakan sebagai jamu khusus untuk hewan ternak. Dari 120 jenis produk Jamu Jago, yang terlaris justru Buyung Upik. Jamu Jago ”memproklamirkan” Buyung Upik sebagai jamu untuk anak-anak yang pertama. Jenis jamu lain yang juga banyak penggemarnya adalah Jamu Pegel Linu, Esha, dan Basmingin.

Seiring berjalannya waktu, Jamu Jago tak hanya dipasarkan di Indonesia. Jaya menyebutkan bahwa produk jamunya pun telah memperoleh izin resmi dari departemen kesehatan Jepang, untuk dipasarkan di Negeri Sakura itu.

”Izin pemasaran untuk masuk Australia masih proses pada tahap akhir. Proses itu berjalan setelah kami ikut dalam pameran Indonesia di Perth dan memperoleh penghargaan dari pemerintah Australia Barat,” katanya.

Perasan keringat

Meski telah menjadi Presiden Komisaris Jamu Jago, pengalaman bekerja sebagai penjual buku bekas di Semarang, tukang bubut, tukang pasang ubin, dan pegawai kafetaria saat studi di Jerman merupakan pengalaman penting bagi Jaya.

”Saya bangga dengan semua tugas itu. Saya jadi bisa merasakan betul kerja dalam arti yang sebenarnya. Bagaimana perasan keringat itu menjadi uang,” tuturnya.

Menjadi pengusaha jamu hanya salah satu profesi Jaya. Sejak usia 16 tahun hingga usianya yang mendekati 60 tahun, ia telah menggeluti berbagai pekerjaan. Maka berbagai ”predikat” melekat dalam dirinya. Orang bisa menyebut Jaya sebagai jamulog, pianis, kolumnis, kartunis, seminaris, budayawan, kelirumolog, humorolog, sampai pemerhati sosial.

”Hidup saya sekarang melanglang Tanah Air dan buana. Orang selalu tanya, saya tinggal di mana? KTP saya memang Semarang, tetapi sebetulnya saya tinggal di perjalanan,” kata pria bernama asli Poa Kok Tjiang ini.

Ia, antara lain, meneliti humorologi dan menemukan ada subjenis studi humor, yaitu rideologi, ilmu yang mempelajari tertawa. ”Berdasar kajian rideologi, diyakini bahwa tertawa tidak selalu terkait dengan humor,” ujar penerima penghargaan Tokoh Humor Nasional 1996 ini.

Walau bergaul pula dengan kalangan politisi, Jaya tak tertarik terjun di dunia politik. Alasannya, ia takut ketularan ”virus amnesia”. ”Virus amnesia bikin orang mudah ingkar janji, lupa daratan, haus kekuasaan, mengutamakan kepentingan pribadi atas nama rakyat, dan lupa siapa kawan siapa lawan,” ujarnya.

Tentang berat badannya, Jaya malah berujar, ia tak pernah menderita penyakit kronis, kecuali mudah diare dan pernah terserang tifus. Sakit kepala pun ia mengaku tak pernah.

”Saya tak pernah mau tahu berat badan, dan tidak tahu kadar kolesterol atau gula. Kalau mati, saya pengin seketika tanpa cemas ditakut-takuti data medis, ha-ha-he,” paparnya.
A A


Tidak ada komentar:

Posting Komentar