Senin, 09 Juni 2008

PENJUAL JAMU

Kisah Perempuan Bantul


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO / Kompas Images
Hampir sebagian besar ibu rumah tangga di Dusun Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, DI Yogyakarta, berprofesi sebagai pedagang jamu. Pada tahun 2001 ibu-ibu penjual jamu di kawasan tersebut masih menjajakan jamu dengan berjalan kaki, menempuh perjalanan 5-8 kilometer. Saat ini hampir semuanya menggunakan sepeda onthel, sebagaimana ditemukan pada Sabtu (3/5).




Senin, 9 Juni 2008 | 03:00 WIB

Budi Suwarna

Subuh baru saja berlalu. Sekitar seratus perempuan siap mengayuh sepedanya keluar dari Dusun Kiringan, Canden, Bantul, Yogyakarta, untuk menjajakan jamu jauh di luar dusun.

Ketika roda-roda sepeda itu berputar, berputar pulalah perekonomian di dusun yang luluh lantak akibat gempa tahun 2006. Perempuan-perempuan penjual jamu itu kini menjadi tulang punggung keluarga.

Gempa tidak hanya menghancurkan rumah dan merenggut nyawa banyak orang, tetapi juga membuat banyak laki-laki di dusun itu menganggur cukup lama. Sebulan setelah gempa, sebagian kaum laki-laki di dusun itu baru mendapat pekerjaan serabutan sebagai buruh bangunan atau tani.

Sudiyatmi, perempuan Kepala Dusun Kiringan, mengatakan, penghasilan para suami sebagai buruh paling banyak Rp 30.000 per hari. Upah itu jauh dari cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga dan memperbaiki rumah yang rusak. Karena itu, kaum perempuan di dusun ini akhirnya turun tangan mencari nafkah. Sebagian besar dengan berjualan jamu.

Profesi penjual jamu sebenarnya telah dilakoni warga Kiringan sejak lama. Sudiyatmi tidak tahu persisnya kapan, mungkin sudah puluhan tahun. ”Kami memperoleh pengetahuan membuat jamu turun-temurun dari embahnya si embah,” kata dia.

Setelah gempa, lanjut Sudiyatmi, semakin banyak perempuan terjun menjual jamu. Sekarang tercatat 107 dari 253 ibu rumah tangga di Kiringan berjualan jamu. Mereka terkoordinasi di bawah Koperasi Seruni Putih pimpinan Umi Muslimah.

Umi, lulusan sekolah pendidikan guru yang juga berjualan jamu ini, mengatakan, penghasilannya sehari Rp 25.000-Rp 100.000. Penghasilan penjual jamu lainnya lebih kurang sama.

Umi mengatakan, dengan berjualan jamu, perempuan-perempuan di Kiringan bisa membantu keuangan keluarga. ”Kami bisa membayar uang sekolah anak, menabung, dan sedikit-sedikit memperbaiki rumah yang rusak akibat gempa,” ujar Umi yang suaminya hanya buruh pabrik dengan penghasilan kurang dari Rp 700.000 per bulan.

Lebih sejahtera
Sebelum gempa, penjual jamu dari Kiringan tidak sebanyak itu. Tetapi, kesulitan hidup yang menerpa pascagempa mendorong perempuan di dusun itu untuk mencari nafkah.

Sudiyatmi mengakui, rumah tangga yang perempuannya berjualan jamu umumnya lebih sejahtera secara ekonomi. Rumah mereka pun lebih bagus. ”Itulah yang mendorong banyak orang berjualan jamu,” kata dia.

Lepas pukul 06.00 hingga tengah hari, dusun itu sepi dari kaum perempuan. Umumnya mereka berada di daerah ”operasi” yang jaraknya berkilo-kilometer dari rumah. Koperasi antara lain mengatur harga jamu per cawan dan daerah operasi penjual jamu, sesuai kesepakatan bersama antaranggota Koperasi Seruni Putih. Mereka juga menetapkan harga jamu, yakni Rp 1.000 per cawan, agar tidak ada aksi banting harga yang merusak persaingan.

Umi setiap hari bangun pukul 03.00 untuk mengolah rempah-rempah menjadi jamu. Pukul 06.00, dia mengayuh sepedanya menuju dusun-dusun di Bantul yang menjadi daerah operasinya, menempuh lebih dari 10 kilometer tiap hari untuk menjajakan jamu.

Sepulang berjualan jamu, dia masih harus mengurus kedua anak dan suami. ”Capai sih, tetapi saya melakoni dengan senang hati demi keluarga,” ujar Umi pendek.

Tulang punggung
Seperti di Kiringan, kaum perempuan di kampung Pucung, Dusun Karangasem, Imogiri, Bantul, juga menjadi penyelamat ekonomi keluarga. Pascagempa 2006, kampung yang menjadi sentra kerajinan wayang itu rontok.

Riadi, perajin wayang, mengatakan, banyak barang yang siap diekspor ke luar negeri hancur. Dalam waktu bersamaan, pesanan dari luar negeri terhenti. ”Belum semua usaha pembuatan wayang di sini pulih,” kata dia.

Kaum perempuan di kampung itu lalu turun tangan dengan membuat cenderamata, seperti gantungan kunci, pensil hias, dan wayang mini. Tidak disangka, ternyata barang-barang kecil itu laku.

Supraptiningsih di Pucung mengatakan, dia bisa menjual puluhan ribu potong cenderamata ke sejumlah daerah, seperti Bali, Jakarta, dan Palembang. Omzetnya mencapai Rp 20 juta dalam setahun dengan keuntungan bersih 20 persen.

Prapti, begitu dia biasa dipanggil, mengatakan, penghasilan sebagian ibu dari penjualan suvenir bahkan lebih besar dari penghasilan suami mereka. ”Sekarang kaum laki-laki tidak bisa mengklaim sebagai tulang punggung keluarga sebab kami juga menjadi tulang punggung,” katanya.

Kaum perempuan yang memiliki penghasilan sendiri, lan- jut Prapti, sekarang mulai menjadi sandaran suami. ”Kalau mereka tidak punya uang untuk modal, kami meminjami uang. Tetapi, harus dikembalikan,” katanya.

Prapti yang kini aktif di Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Cabang Bantul mengatakan, ibu-ibu di kampungnya pun bisa memenuhi kebutuhan pribadi dengan uang sendiri. ”Kalau sekadar ingin beli baju di Ambarukmo Plaza kami tidak perlu lagi menunggu uang bulanan dari suami,” ujar Prapti, menyebut pusat perbelanjaan yang kini dianggap paling bergengsi di Yogyakarta.

Bersama ibu-ibu lain, Prapti tengah berpikir mengembangkan pasar dan mendirikan koperasi. Dia juga mendorong agar usaha kaum perempuan dipisahkan dari usaha suami. Dia telah mencoba dan berhasil. ”Kalau tidak dipisahkan, nanti tidak kelihatan untungnya. Bagaimanapun ini adalah usaha terpisah,” ujar Prapti.

1 komentar:

  1. "...emang kampungku keyen baged pokoke top dah..? Kiringan I miss you...so much!!!"

    BalasHapus