Senin, 09 Juni 2008

bbm

Pengalaman Kemiskinan yang Berbeda


KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA / Kompas Images
Pe re m p u a n buruh tengah merontokkan padi yang baru dipanen di Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, akhir Maret 2008.



Senin, 9 Juni 2008 | 03:00 WIB



Ninuk Mardiana Pambudy

Kenaikan harga BBM telah menaikkan harga-harga lebih dalam lagi dan menimbulkan dampak berbeda pada perempuan dan laki-laki.

Di Desa Koro Welang Anyar, Kecamatan Cepiring, Kendal, Jawa Tengah, misalnya, kenaikan harga BBM menyebabkan nelayan mengganti solar dengan minyak tanah dengan risiko mesin menjadi cepat rusak. Tetapi, penggantian hanya untuk mesin motor merek Dong Feng yang harga suku cadangnya lebih murah dari motor buatan Jepang.

”Keadaan kami benar-benar sangat susah,” kata Siti Yamroh menekankan kesulitan yang dialami keluarga nelayan di sana. Ketua Kelompok Tani-Nelayan Mina Sari yang beranggotakan 35 perempuan itu mencontohkan, saat ini sebetulnya bukan musim paceklik, tetapi hasil tangkapan nelayan seperti saat paceklik.

Yang lumayan bagus hasilnya adalah teri nasi, harganya mencapai Rp 50.000 per kg, tetapi hasil tangkapan hanya 10-15 kg. Alhasil, uang yang dibawa pulang sekitar Rp 15.000.

Maka, para istri pun harus kerja lebih keras lagi. Yang tidak punya lahan pertanian, cara mendapat uang memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah dengan memburuh tani atau memburuh mengolah ikan asin.

”Upahnya Rp 10.000 kalau kerja dari jam tujuh sampai jam 12. Kalau sampai jam empat sore Rp 17.000,” papar Yamroh.

Di tengah impitan hidup itu, perilaku para nelayan tak banyak berubah. ”Kalau punya uang, dihabiskan untuk minum atau pergi ke perempuan lain. Kalau lagi musim sulit seperti sekarang, tidak bawa uang sama sekali ke rumah,” tutur Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah itu lagi.

Dalam situasi ini, perempuan harus ”mengalah”. Dia yang dituntut memperbaiki diri untuk membuat suami betah di rumah dengan berdandan, memasak enak, membuat rumah rapi, sampai mencucikan baju suami, sementara juga harus bekerja di luar rumah membantu pendapatan keluarga.

Tidak berarti
Kesulitan yang dihadapi perempuan tidak khas Cepiring. Perkumpulan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di delapan provinsi yang berjumlah 10.000 orang dan kebanyakan janda langsung tertohok kenaikan harga BBM.

”Mereka bilang, kenaikan pendapatan yang sudah mereka peroleh seperti hilang tertelan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM,” kata Koordinator Pekka Nani Zulminarni.

Melalui Pekka mereka belajar memperbaiki ekonomi melalui kelompok dan dana bergulir. Penghasilan mereka berhasil naik dari Rp 10.000 menjadi Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. Tetapi, kenaikan penghasilan itu langsung tertelan kenaikan harga barang-barang.

”Sepertinya apa pun yang kami lakukan di tingkat mikro, di lapangan menjadi tidak ada artinya kalau kebijakan di tingkat makro sewenang-wenang. Bantuan langsung tunai (BLT), misalnya, maksudnya untuk jaring pengaman sosial, tetapi tidak ada sistem yang andal yang menjamin masyarakat miskin terlindungi. Hasilnya juga tidak terlalu terasa. Apa pemerintah akan sanggup terus memberi bantuan seperti itu,” ungkap Nani.

Untuk petani, keadaan juga tidak mudah. Kenaikan harga BBM terjadi saat memasuki musim kering. Di Desa Rancahan, Kecamatan Gabus Wetan, Indramayu, Jawa Barat, Sakilah, Ketua Kelompok Tani Srikandi yang beranggotakan 25 perempuan, mengatakan, saat ini banyak petani tak bisa berbuat apa-apa.

”Kira-kira 350 ha sawah yang sudah ditanami kini kering. Mudah-mudahan masih ada hujan supaya bisa menghasilkan. Di sana ada 70 patok pompa air, tetapi pompanya tidak ada. Mau sewa, harganya mahal. Sekarang Rp 35.000 sehari, ditambah Rp 50.000 ongkos untuk yang jaga malam hari. Belum termasuk harga solar yang sekarang mahal,” tutur Sakilah.

Meski begitu, Sakilah tidak mau menyerah. Informasi tentang bertanam padi di ember di halaman rumah memberi dia semangat bertanam padi organik di ember. ”Tidak tergantung pupuk pabrik, cukup pakai limbah dapur. Hasilnya bisa 0,5 kg sekali panen. Tetapi, ember harganya mahal, Rp 5.000 sebiji. Cari polybag enggak ketemu, sudah sampai ke Cirebon dan Subang,” kata Sakilah.

Berbeda
Berbagai penelitian memperlihatkan perempuan mengalami kemiskinan dengan cara berbeda dari laki-laki. Penelitian Marianti dan Fillaili dari SMERU di Timor Barat yang ringkasannya dimuat dalam Newsletter SMERU, Oktober 2007, memperlihatkan, jumlah perempuan kepala rumah tangga yang menurun kesejahteraannya dan cenderung tetap miskin lebih besar daripada laki-laki kepala rumah tangga. Perbedaan dalam kepemilikan aset (tanah dan ternak), tingkat pendidikan, dan tingkat melek huruf menyebabkan perbedaan itu.

Persepsi mereka tentang penyebab kemiskinan ternyata berbeda. Perempuan menganggap fisik yang menua dan hilangnya pencari nafkah dalam keluarga karena kematian suami, perceraian, ataupun perpisahan sebagai penyebab kemiskinan, sedangkan laki-laki menyebut persoalan ekonomi dan juga fisik yang menua.

Tentang faktor yang dapat meningkatkan kesejahteraan, keduanya menyebut peningkatan pendapatan melalui kerja keras dan usaha baru yang lebih baik, serta berkurangnya tanggungan dalam keluarga.

Karena itu, bila pemerintah bermaksud membangun jaring pengaman sosial untuk masyarakat miskin, caranya tidaklah sesederhana memberi BLT. Kebijakan dan program pembangunan harus mampu melihat perbedaan pengalaman perempuan dan laki-laki dalam menghadapi kemiskinan sehingga cara mengatasinya pun seharusnya tidak sama rata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar