Tata Ruang Hutan Lindung Mangrove Tak Jelas
KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images
Kawasan bakau yang telah gundul kembali karena ditebang dan menyisakan lahan terbuka terlihat di Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (8/6). Kawasan itu awalnya adalah daerah bakau yang telah rusak dan telah direhabilitasi, tetapi kini mulai dikonversi lagi menjadi lahan tambak.
Kawasan bakau yang telah gundul kembali karena ditebang dan menyisakan lahan terbuka terlihat di Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (8/6). Kawasan itu awalnya adalah daerah bakau yang telah rusak dan telah direhabilitasi, tetapi kini mulai dikonversi lagi menjadi lahan tambak.
Senin, 9 Juni 2008 | 03:00 WIB
Indramayu, Kompas - Lahan timbul atau daratan baru yang terbentuk setelah rehabilitasi mangrove selama lima tahun atau lebih telah menjadi sumber konflik baru. Sebagian warga berebut memanfaatkan lahan timbul yang dianggap lahan tak bertuan. Ini terjadi akibat ketidaktegasan pemerintah.
Selain tidak tegas, pemerintah juga tidak memiliki kebijakan tata ruang yang jelas, termasuk yang menyangkut hutan lindung mangrove sekarang.
Demikian dikemukakan Polisi Teritorial Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan PT Perhutani Indramayu, Jawa Barat, Warnita, saat ditemui Kompas di lokasi rehabilitasi mangrove di Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Minggu (8/6).
”Daratan timbul dianggap sebagai daratan bebas yang bisa dikelola siapa pun. Di situ tumbuh mangrove yang kemudian dipotong untuk dijadikan bahan bakar kayu dan dijual lebih mahal dibanding kayu tanaman daratan lainnya. Daratannya lalu dijadikan tambak baru,” kata Warnita.
Dari pemantauan di lokasi rehabilitasi mangrove Desa Lamaran Tarung, di lokasi yang dikerjakan oleh penerima penghargaan Kalpataru Kategori Perintis 2008, Cukup Rudiyanto, penebangan mangrove yang direhabilitasi sejak 2001 benar terjadi.
”Pada 2001 lahan ini saya membayar ganti rugi Rp 3,5 juta seluas 4 hektar kepada Mang Sudita. Mang Sudita memanfaatkannya sebagai tambak, lalu terkena abrasi. Tetapi, sekarang setelah tumbuh mangrove dengan baik dan muncul daratan, sebagian warga menebangi mangrove dan mau menjadikan tambak lagi,” kata Cukup. Lahan itu memang bukan miliknya.
Cukup bersama kelompok pemuda setempat didukung lembaga donor internasional dari Jepang (OISCA) sejak 1996 mengembangkan rehabilitasi hutan mangrove di sekitar tempat tinggalnya di Desa Pabean Ilir, Kecamatan Pasekan, Indramayu. Lokasi rehabilitasi dikembangkan di wilayah Desa Lamaran Tarung— menjadi muara Kali Rambatan Baru—yang semula sudah menderita abrasi parah.
Berdasarkan pemetaan OISCA pada 2004, rehabilitasi mangrove oleh Cukup mencakup wilayah seluas 115 hektar di Desa Pabean Ilir dan 324 hektar di Desa Lamaran Tarung. Pada 2008 ini diperkirakan menjadi sekitar 600 hektar dan dijadikan faktor penentu Dewan Pertimbangan Kalpataru 2008, yang akhirnya menunjuk Cukup sebagai peraih penghargaan Kalpataru.
Warnita mengatakan, saat ini berlangsung konflik dengan sebagian warga di Petak 28-52 seluas 40 hektar di hutan mangrove Perhutani. Warga menunjukkan izin pengelolaan menjadi tambak dari kepala desa setempat.
”Sebelumnya lahan itu dianggap tidak ada (terkena abrasi),” ujarnya. Menurut dia, secara otomatis daratan timbul itu menjadi kawasan hutan lindung milik negara. Pemerintah daerah harus bersikap jelas dan tegas. Pembukaan tambak harus dilarang.
”Kesamaan sikap pemerintah di semua lini untuk menyelamatkan hutan mangrove sangat diperlukan,” ujar Warnita.
Kepala Subdinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu Aep Surahman mengatakan, kelestarian mangrove dari 114 kilometer garis pantai di Kabupaten Indramayu saat ini tak sampai 50 persen. ”Kini terjadi abrasi atau pengikisan daratan seperti di Eretan Kulon,” katanya. (NAW)
Gan..... kami di kampung mencoba menjadi bagian dari senyum mangrove...... bagaimana mangrove di sana?
BalasHapus