Senin, 09 Juni 2008

Indahnya Air Danau Maninjau


KOMPAS/KENEDI NURHAN / Kompas Images
Keindahan Danau Maninjau di Sumatera Barat bisa menjadi daya tarik wisatawan.



Senin, 9 Juni 2008 | 03:00 WIB

Agnes Rita Sulistyawaty

Barangkali tidak banyak yang tahu bahwa perkedel rinuak dan ikan bada goreng adalah makanan favorit Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia. Setiap pulang ke kampung halaman, menu khas Danau Maninjau itulah yang dicari.

Roslinar (64), sepupu Natsir yang masih tinggal di kampung halaman, Nagari Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, turut memasak aneka makanan kesukaan Natsir.

”Sebelum datang, biasanya ada orang suruhan yang datang mengabarkan jadwal kedatangan Natsir sehingga kami juga bisa mempersiapkan segala sesuatu, termasuk makanan kesukaan beliau,” kenang Roslinar, yang neneknya bersaudara kandung dengan nenek Natsir.

Bagian tengah rumah Roslinar kerap digunakan Natsir berkumpul dengan kerabat. Rumah Natsir sendiri, yang bersisian dengan rumah Roslinar kini, jarang digunakan. Kondisi rumah Natsir kini juga tidak terlampau terawat, antara lain, karena tidak ada yang menempati rumah itu.

Natsir yang dikenal sebagai politikus dan tokoh Islam Indonesia rupanya juga kerap memompakan semangat bagi sanak saudara di kampung halaman. ”Kalau Natsir datang, dia selalu mengundang semua sanak saudara untuk berkumpul. Beliau sering mengingatkan kami untuk terus berjuang walaupun sekarang sudah merdeka,” tutur Roslinar, yang mengingat kedatangan terakhir Natsir sekitar 20 tahun silam.

Semangat berjuang dan bekerja keras memang sudah tertanam dalam diri Natsir sejak kecil. Dalam keluarga besar, didikan untuk hidup sebagai pekerja keras juga ditanamkan dalam diri setiap anak.

Sejarah yang tersimpan
Cerita sejarah tokoh dari Danau Maninjau tidak berhenti pada Natsir saja. Danau Maninjau dikenal pula melahirkan tokoh- tokoh nasional pada era akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, seperti Buya Hamka, Rasuna Said, dan Nur Sutan Iskandar.

Sebagian kisah tentang tokoh yang lahir dari Danau Maninjau masih bisa digali lewat sejumlah literatur yang tersimpan di nagari yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, itu. Ibu-ibu pengajian Maninjau, misalnya, menggagas berdirinya Rumah Baca Moh Natsir yang menyimpan sejumlah literatur tentang Natsir dan beberapa tokoh Danau Maninjau.

Sejumlah literatur yang pernah dibaca dan dimiliki Natsir seharusnya bisa menjadi peninggalan bagi masyarakat di kampung halaman. Sayangnya, dokumentasi itu—termasuk sejumlah foto Natsir—dimusnahkan ketika Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) meletus pertengahan abad ke-20.

Cerita tentang sejarah juga tidak banyak diketahui warga Maninjau. Umumnya, hanya satu- dua orang dekat yang mengetahui profil sang tokoh. Itu pun tidak semuanya mengetahui secara detail kehidupan tokoh.

Warga di sekitar Mushala An Nur, misalnya, tidak banyak yang mengetahui riwayat hidup Hj Rangkayo Rasuna Said, tokoh yang kerap mengecam ketidakadilan penjajah Belanda. Padahal, mushala itu dibangun oleh H Said, ayahanda Rasuna Said, pada tahun 1926.

Mungkin hanya Rosnidar (57), warga Maninjau, yang bisa menceritakan kisah Rasuna Said, tokoh yang lahir tahun 1910, dengan lebih rinci. Dokumentasi tertulis ataupun foto tentang Rasuna Said memang tidak banyak tersisa di kampungnya, antara lain, karena tokoh yang pernah duduk di DPR RIS dan DPA ini merantau sejak usia dini.

Hanya kisah dan dokumentasi tentang Buya Hamka yang relatif lebih banyak tersedia di Maninjau. Selain dikenal luas oleh masyarakat sebagai tokoh ulama pembaru Islam, catatan sejarah Hamka juga masih tersimpan rapi di rumah bergonjong yang dibangun sebagai Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.

Di rumah itulah tersimpan aneka foto, memorabilia, serta buku-buku buah karya Hamka, termasuk novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Hanif Rasyid, anak guru Hamka, yakni Buya Mansyur, sekaligus pengelola museum, juga mengetahui persis kehidupan Hamka berikut pemikiran tokoh ini.

Kalau Hamka menyimpan sederet catatan karya di tanah kelahiran, kisah tentang Laksamana Muda Mohammad Nazir, Panglima Tentara Republik Indonesia Angkatan Laut, sangat sedikit diketahui masyarakat setempat. Padahal, Nazir menyumbangkan banyak hal bagi kekuatan perang TNI Angkatan Laut.

Cerita tentang Nazir justru dikenang para veteran angkatan laut, seperti Sidi Ibrahim Yahya (79), mantan prajurit Pangkalan Besar AL Pariaman. Sidi mengenang Nazir sebagai mualim kapal besar pertama di Indonesia. Sayangnya, tidak ada peninggalan sejarah tokoh ini di kampung halamannya. Rumah milik beliau juga sudah dikontrakkan.

Nasib yang lebih tragis masih terasa pada DN Aidit, Ketua Committee Center PKI. Aidit bahkan sering kali disangkal oleh penduduk Maninjau sebagai putra daerah. Jangankan menunjukkan bekas rumah keluarga Aidit, sebagian warga malah mengaku tidak tahu bahwa kampung halaman DN Aidit adalah Maninjau.

Rantau dan Orde Baru
Sejarawan Mestika Zed mengakui bahwa Danau Maninjau, pada suatu masa, pernah melahirkan tokoh-tokoh nasional yang bergerak di bidang pembaruan agama, politik, sastra, hingga keamanan.

Budaya merantau yang banyak dilakukan masyarakat Minangkabau menjadi salah satu pendorong munculnya tokoh-tokoh besar. Ketika itu, masyarakat menggeluti pertanian sebagai satu-satunya alternatif penghidupan di Maninjau. Oleh karena itu, merantau menjadi salah satu alternatif untuk mendapatkan pekerjaan lain sekaligus memperluas pemikiran.

Merantau, di satu sisi, melahirkan tokoh dan, di sisi lain, membuat dokumentasi serta literatur di kampung asal menjadi sangat terbatas.

Sejarah memang tidak bergerak linier. Maninjau dulu melahirkan banyak tokoh penting bangsa ini dan mungkin tidak terulang lagi. Namun, bukan berarti Maninjau tidak bisa berbuat banyak.

Maninjau hari ini juga bisa membuat tonggak sejarah untuk meluruskan kembali warisan sejarah yang ditutup-tutupi sejak masa Orde Baru, seperti yang masih melekat pada sosok Aidit. Masyarakat di Kanagarian Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, adalah contoh yang bersedia mengakui Tan Malaka sebagai tokoh bangsa dari daerah itu setelah pada masa Orde Baru Tan Malaka dihapuskan dari sejarah.

”Setelah 10 tahun reformasi, buah reformasi terpenting dan seharusnya terjadi adalah revolusi akal sehat. Ini yang tidak jalan. Kita belum dewasa melihat sejarah bangsa kita,” kata Mestika.

Sebagai kampung halaman para tokoh besar yang menyumbangkan aneka perubahan di Indonesia, Maninjau potensial sebagai tempat wisata sejarah di Sumatera Barat, dengan birunya air Danau Maninjau.

Apabila dulu para tokoh merantau untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, kini Maninjau seharusnya menjadi rujukan orang yang ingin menimba semangat kepahlawanan dari sederet tokoh yang lahir di sepanjang tepian danau. Kesegaran pemandangan ini pun bisa melahirkan pandangan baru dalam melihat sejarah bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar