Oleh Totok Siswantara
Ada apa dengan intelijen kita? Demikian pertanyaan yang mencuat di benak publik akhir-akhir ini. Dari lakon sang "ratu suap" yang mengguncang Kejaksaan Agung hingga serial kasus terbunuhnya Munir yang telah sampai kepada episode pemeriksaan mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN). Semua itu merupakan fragmen "gonjang-ganjing" kegiatan atau aksi intelijen yang sangat penting dan menarik untuk disimak.
Suntikan dana untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak terlalu besar untuk pengadaan infrastruktur penyadap telefon ternyata membuahkan manfaat luar biasa. Kewenangan menyadap sarana komunikasi termasuk telefon genggam dan merekam pembicaraan bagi seseorang yang terindikasi korupsi sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dengan alat itu, intelijen KPK bisa beraksi lalu mempecundangi para koruptor dan kaki tangannya. Bahkan, aksi intelijen KPK yang sangat brilian mengalami "kontra" intelijen dari pihak lain. Rakyat geram dan hanya bisa mengurut dada menyaksikan sang "ratu suap" yang begitu berpengaruh dan memesona pejabat Kejaksaan Agung. Pesona "ratu suap" yang gemar menaburkan manisnya madu duniawi telah menyedot habis kredibilitas penegak hukum. Hal itu pada gilirannya akan menghancurkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Untuk itulah pentingnya modernisasi infrastruktur atau peralatan antikorupsi. Sudah sepantasnya KPK memiliki sistem surveillance and reconnaisance yang sangat canggih dengan unjuk kerja yang bersifat real time. Diperlukan pelatihan ke negara maju bagi personel intelijen KPK guna mendalami teknologi mutakhir di bidang surveillance, fraud analysis, engineering investigation, dan ICT forensic. Juga psikoteknologi interogasi seperti pendeteksi kebohongan (lie detector) hingga teknik ekstraksi wajah koruptor. Apalah arti anggaran ratusan miliar rupiah untuk infrastruktur teknologi antikorupsi jika dibandingkan dengan triliunan rupiah yang berhasil diselamatkan KPK.
Sebulan terakhir ini rakyat sempat dibuat prihatin oleh kinerja dan sepak terjang badan intelijen. Mulai dari kejanggalan dan kurangnya profesionalitas intelijen Kejaksaan Agung saat menangani Artalyta Suryani. Hal itu tercermin dari kekonyolan personel intelijen yang kesulitan beraksi karena (seolah-olah) tidak mengetahui wajah Artalyta. Rakyat juga dibuat prihatin oleh pernyataan Kepala BIN menanggapi aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM yang menurutnya telah ditunggangi. Pernyataan itu justru mencuatkan opini bahwa lembaga intelijen hanyalah alat kekuasaan. Padahal, lembaga intelijen adalah profesi yang mulia jika membawa kemaslahatan NKRI.
Sorotan rakyat juga ditujukan terhadap kinerja intelijen kepolisian yang dinilai "kedodoran" dalam memberantas penyelewengan dan penyelundupan BBM bersubsidi yang merugikan negara triliunan rupiah. Meskipun ada tesis yang menyatakan bahwa hakekat intelijen adalah permainan tanpa bentuk. Namun, semua itu harus dilakukan dengan mengedepankan aspek kecerdasan. Pada prinsipnya definisi intelijen (intelligence) mengandung pengertian suatu proses yang cerdas untuk mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi yang terbentuk oleh jaringan yang kohesif. Pelaku pengumpul informasi itu adalah lembaga atau dinas intelijen maupun seorang agen. Banyak pihak yang berpendapat perlunya upgrading profesionalitas badan intelijen.
Membenahi lembaga intelijen tidak mungkin dilakukan secara instan. Langkah pembenahan lembaga intelijen adalah menyiapkan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi intelijen. Langkah tadi akan lebih sistematik dan komprehensif dengan terbentuknya Institut Intelijen Indonesia. Adanya institut intelijen tersebut, selain mencetak ahli intelijen yang paripurna juga akan lebih "mengilmukan" lembaga intelijen agar memiliki unjuk kerja yang tinggi. Institut intelijen yang dibutuhkan di Indonesia adalah semacam sekolah latihan KGB (dinas rahasia eks Uni Soviet) yang sangat prestisius yakni Institut Andropov. Dengan adanya institusi pendidikan yang akan mencetak intel yang trengginas dan qualified, kinerja lembaga intelijen tidak lagi kedodoran. Apalagi spektrum operasional saat ini begitu luas dan kompleks. Dari masalah mengelaborasi seluk-beluk kejahatan ekonomi yang merongrong negara, mengindera para penyelundup BBM, hingga mendeteksi secara dini gerakan terorisme.
Postur BIN pada saat ini bila dibandingkan dengan spektrum operasional dan tantangan yang dihadapi masih jauh dari kondisi ideal. Karena jagat intelijen dapat dianalogikan sebagai permainan tanpa peraturan, doktrin yang diimplementasikan mesti diperbaharui. Selain itu, jagat tersebut juga membutuhkan software peraturan untuk mem-back-up sebuah operasi intelijen melawan pihak lain sehingga informasi yang disuguhkan mencapai titik validitas. Kapasitas terpasang BIN sangat jauh dari kebutuhan. Sebagai gambaran, ketika Gorbachev menjadi sekjen PKUS jumlah personel FCD yaitu intelijen luar negeri untuk militer yang merupakan sayap (direktorat) prestisius dari KGB mencapai12.000 orang. Jumlah personel sebanyak itu adalah hasil produksi Institut Andropov. Terbagi dalam segmen operasional yang meliputi intelijen politik, kontra intelijen dan keamanan, serta ilmu dan teknologi. Meneropong postur dan sistem kerja dinas intelijen luar negeri seperti CIA dan KGB tidak berarti harus berkiblat ke sana. Akan tetapi, signifikansi yang mengemuka adalah saat ini bangsa Indonesia perlu merekonstruksi postur intelijennya menjadi andal dan kinerjanya sesuai dengan kebutuhan zaman.
Hingga saat ini, kasus kematian Munir tetap menjadi enigma. Apakah enigma itu bisa terpecahkan atau justru semakin menjadi enigma kuadrat. Enigma kuadrat akan terwujud jika nantinya ada kebuntuan dalam serial kasus kematian Munir. Mengikuti serial kasus kematian Munir memang sangat menjemukan. Simak saja pernyataan Kapolri yang waktu itu pernah menyatakan bahwa kematian Munir wajar-wajar saja. Akan tetapi, setelah visum dari Belanda diumumkan, Polri sepertinya kebakaran jenggot lalu mengajukan permintaan visum ulang terhadap jenazah Munir. Yang perlu digarisbawahi pada episode kasus Munir adalah pentingnya mencegah tekanan dan manuver yang berlebihan dari LSM sehingga bernuansa "mendikte" langkah kepolisian. Gerakan LSM yang cenderung bersikap "superior" dan "manja" akan menghabiskan energi segenap bangsa ini. Memang pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusut secara tuntas kasus kematian Munir. Akan tetapi keselamatan negara, martabat TNI, dan keutuhan NKRI jauh lebih penting.
Dalam menuntaskan kasus Munir diperlukan proses hukum yang lebih profesional, bebas tekanan asing, tidak memojokkan lembaga intelijen dan TNI, serta lebih mengedepankan bobot investigasi. Tim penyidik dan pengadilan juga harus memiliki kompetensi sebagai seorang intelligence analyst. Kompetensi intelligence analyst untuk mengolah data dan informasi, baik dari badan intelijen maupun dari source lainnya sehingga menghasilkan keputusan hukum yang valid. Dengan kompetensi intelligence analyst akan memudahkan pengadilan menyerap berbagai informasi. Berbagai fakta dan data akan lebih mampu ditelisik serta dirangkai bentuk anatominya.
Jika nantinya kasus Munir benar-benar bermuara pada lembaga atau oknum aparat intelijen maka kompetensi untuk mengelaborasi open source intelligence (Osint), human intelligence (Humint), imagery intelligence (Imint), dan signal intelligence (Sigint) semakin dibutuhkan. Ibaratnya Osint adalah tepi dari sebuah puzzle, sedangkan classified source adalah bagian tengah dari puzzle tersebut, yang mengandung arti bahwa keduanya diperlukan untuk menyelesaikan keseluruhan anatomi kasus kematian Munir. Sebaliknya, jika lembaga atau oknum aparat intelijen dinyatakan "clear" dalam kasus kematian Munir maka semua pihak harus bisa menerima keputusan pengadilan dan tidak lagi memperkeruh suasana.***
Penulis, Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar