Kamis, 19 Juni 2008

Langkah Kejagung Tidak Lazim

Sejak Awal KPK Berencana Tangkap Artalyta Suryani

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman seusai menjalani pemeriksaan internal oleh Jaksa Agung Muda Pengawas di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (18/6). Pemeriksaan itu terkait dengan kasus Artalyta Suryani. Kamis, 19 Juni 2008 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Langkah Kejaksaan Agung untuk menangkap Artalyta Suryani di luar kelaziman. Selain mengetahui perkara yang melibatkan Artalyta sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, penangkapan tersebut juga sepantasnya tidak diberitahukan secara lisan.
Hal itu dikatakan guru besar hukum pidana dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji, di Jakarta, Rabu (18/6). ”Kejaksaan memang memiliki wewenang menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, langkah kejaksaan itu di luar kelaziman,” katanya.
Seperti diberitakan, Artalyta diduga menyuap jaksa penyelidik kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Urip Tri Gunawan, sebesar 660.000 dollar AS (senilai Rp 6,1 miliar). Sebelum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Artalyta menelepon Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso. Dalam percakapan yang disadap KPK, Untung memberitahukan, Artalyta akan ditangkap jaksa. Untung merasa perlu ada perlakuan setara karena Urip ditangkap KPK (Kompas 12-18/6).
Menurut Indriyanto, Kejaksaan Agung (Kejagung) semestinya bertanya dahulu, apakah KPK akan menangkap Artalyta atau tidak, bukannya memberitahukan akan menangkap Artalyta. Hal tersebut karena tidak ada undang-undang (UU) yang mengizinkan kejaksaan ”mengambil alih” kasus yang ditangani KPK. Justru KPK bisa mengambil alih kasus yang ditangani kejaksaan.
Boyamin Saiman dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia juga menilai aneh langkah kejaksaan akan menangkap Artalyta. Hal itu karena kejaksaan tak pernah menyidik, menyelidik, atau mengintai dugaan tindak pidana yang dilakukan Artalyta. Justru upaya penangkapan Artalyta oleh Kejagung bisa diartikan sebagai pelanggaran Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni sengaja merintangi, mencegah, atau menggagalkan langsung atau tak langsung penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan tersangka korupsi.
Boyamin melaporkan Untung, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto, dan M Salim ke Komisi Kejaksaan. Ketiganya diduga melanggar etika dan melakukan kesalahan karena berencana menangkap Artalyta.
KPK tak izinkan
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra Hamzah menegaskan, sejak awal KPK akan menangkap Urip dan Artalyta. KPK juga tidak pernah mengizinkan Kejagung menangkap Artalyta sebab kasus itu hanya ditangani KPK sejak awal.
”AS (Artalyta Suryani) ditangkap beberapa saat setelah UTG (Urip Tri Gunawan) karena tim KPK sempat kesulitan masuk ke rumah AS. Saat tim masuk, AS juga belum mau dibawa jika tidak ditemani penasihat hukumnya,” katanya.
Sebelumnya, jaksa Sidik Latuconsina mengaku diminta Jamintel untuk menangkap Artalyta. Sebelum melaksanakan tugasnya, Sidik menelepon Ketua KPK Antasari Azhar dan membeberkan rencana Kejagung itu. Antasari disebut mempersilakan.
Chandra menuturkan, saat tim KPK akan menangkap Artalyta, dia memang dihubungi Antasari, yang menginformasikan baru saja ditelepon Sidik. ”Sidik berkata ke Pak Antasari, kejaksaan mau menangkap AS. Namun, saat itu tak disebut alasannya. Pak Antasari menjawab, kasus ini ditangani KPK dan tidak ada institusi lain yang ikut sebelumnya. Pak Antasari memerintahkan tim untuk membawa semuanya,” kata dia.
Hingga tim KPK meninggalkan rumah Artalyta di Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta, lanjut Chandra, tidak ada tim dari kejaksaan yang datang. Sebelum menangkap Urip dan Artalyta, KPK juga melakukan penyelidikan setelah memperoleh informasi adanya kasus dugaan penyuapan tersebut.
Di Kejagung pemeriksaan terhadap sejumlah jaksa yang diduga terkait rencana penangkapan Artalyta terus berlanjut. Rabu, Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) MS Rahardjo memeriksa mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, yang juga terekam berbicara dengan Artalyta. Kemas tidak bersedia memberikan keterangan kepada wartawan. Ia telah menyerahkannya kepada Jamwas.
Rahardjo mengakui, meski sudah melakukan pemeriksaan, belum dapat menyimpulkan ada atau tidak pelanggaran kode etik dan disiplin pegawai yang dilakukan jaksa. Kesimpulan diberikan saat pemeriksaan sudah berakhir. Kamis ini ia akan memeriksa Jamintel. Sebelumnya, Untung juga sudah diperiksa.
Menurut Rahardjo, pemeriksaan dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi terberat atas pelanggaran PP itu adalah pemberhentian.
Dalam pemeriksaan, ujar Rahardjo, Kemas mengakui rekaman yang diputar di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi sebagai suaranya. Rekaman itu diambil 1 Maret 2008, sehari setelah penghentian penyelidikan kasus BLBI terkait Sjamsul Nursalim diumumkan. Kemas membantah memiliki hubungan dengan Artalyta.
Di Jakarta, Rabu, mantan Ketua MPR Amien Rais meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji mengundurkan diri sebagai pertanggungjawaban pimpinan Kejagung. Meskipun tak terlibat, Hendarman harus malu dengan citra kejaksaan yang kini kian terpuruk.

nwo/ana/mzw/tra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar