Rabu, 25 Juni 2008

Kualitas Hidup Nelayan Pantura Jatuh

Bisa Makan Saja Sudah Untung


RATUSAN perahu nelayan parkir di Sungai Ciberes di Kec. Gebang, Kab Cirebon. Nelayan tradisional Gebang dilanda kesulitan akibat berkurangnya populasi ikan. Di sisi lain biaya hidup akibat kenaikan harga sembako makin tinggi.* AGUNG NUGROHO/"PR"


SUDAH jatuh tertimpa tangga, masih terkilir pula. Itulah gambaran nasib yang kini dialami para nelayan, tidak terkecuali nelayan di sepanjang Pantura Jabar. Sistem ekonomi neoliberal yang terus menghapus peran negara dalam kebijakan perekonomian, menjadikan seluruh sektor ekonomi, termasuk sektor perikanan laut, mengalami kejatuhan kualitas hidup.

Pencabutan subsidi yang berarti kenaikan harga BBM sebagaimana dikehendaki sistim neoliberal, bagai tsunami dahsyat. Seketika bangunan ekonomi nelayan porak-poranda--yang mapan jatuh ke posisi menengah, yang menengah terperosot ke posisi lemah, dan yang tadinya lemah kini mati suri.

Belum cukup dengan itu, faktor alam bagai tangga besi yang menimpa kehidupan nelayan. Pemanasan global (global warming) menjadikan alam tak ramah lagi. Laut Jawa, yang dikenal tenang, kini keganasannya sama dengan perairan samudra.

Sepanjang tahun, selalu muncul hambatan. Tidak hanya angin barat yang menjadi momok alam bagi nelayan, angin timur juga sama ganasnya. Di luar dua musim itu, pada bulan-bulan yang seharusnya panen ikan, angin sering kali bertiup kencang dan gelombang tinggi bisa mencapai lebih dari 4 meter.

"Dulu, nelayan hafal tanda-tanda alam. Musim barat mulai Oktober sampai Desember atau Januari. Setelah itu, laut kembali tenang dan nelayan menikmati panen. Hasil tangkapan melimpah. Sekarang, musim tak bisa diramalkan," kata Toto S., tokoh nelayan Kec. Gebang, Kab. Cirebon.

Apa yang terjadi di Gebang adalah contohnya. Sepanjang semester pertama tahun ini, baru terjadi dua kali lelang, yakni pada pertengahan Juni 2008. Sejak November 2007 sampai Juni 2008, memang tidak ada ikan yang bisa dilelang. TPI pun lebih banyak menganggur. Kalaupun ada lelang, omzetnya sangat minim, hanya Rp 25 juta. Padahal, sebelumnya, rata-rata bisa mencapai Rp 150 juta- Rp 200 juta per bulan.

"Juni ini paling tinggi Rp 50 juta. Padahal, biasanya Juni adalah salah satu bulan saat nelayan menikmati banyak hasil. Yang kita amati, tahun-tahun terakhir ini, dari 12 bulan, nelayan paling hanya melaut 3-4 bulan. Itu pun hasilnya jauh dari harapan," tutur Toto.

Selain dua musim (barat dan timur) yang membuat nelayan sulit mencari ikan, di sekitar perairan Kepulauan Rakit, sebelah utara Kab. Indramayu dan Cirebon, kini sering muncul badai. Badai rakit atau "barak", datang tak kenal cuaca, tiap saat bisa muncul.

Kesulitan melaut itu terutama dialami nelayan tradisional berperahu jukung dan sope yang kemampuannya di bawah 10 grosston (gt). Di Pantura Jabar, seperti di Cirebon dan Indramayu, jumlah nelayan tradisional mencapai 80%.

Fenomena itu tentu berbeda dengan nelayan berperahu modern purseseine dan sejenisnya di atas 20 gt, yang daya jelajahnya bisa sampai ke Sulawesi atau Laut Cina Selatan. Faktor alam belum terlalu memengaruhi dan jumlah ikan hasil tangkapan relatif stabil. Meski hasil tangkapan relatif stabil, secara ekonomis, nilainya sudah berkurang sejak harga BBM naik.

**

Mimpi menjadi sejahtera telah lama redup di kalangan nelayan tradisional berperahu sope dan jukung. Laut Jawa tidak lagi jadi tumpuan harapan tempat merajut masa depan, melainkan sekedar tempat menyambung hidup sehari-hari.

Karena laut hanya penyambung hidup sehari-hari, nelayan seolah gelap mata. Maraknya penggunaan jaring arad atau garok (pukat harimau kecil) adalah contoh bagaimana nelayan tidak punya lagi harapan sehingga terpaksa memakai garok supaya kebutuhan makan sehari-hari terpenuhi.

"Dari 1.600 armada sope di Gebang, 70-80% menggunakan garok. Setelah BBM naik dan laut makin ganas, perilaku nelayan berubah. Padahal, garok merusak perairan pantai, menjadikan ikan sulit bertelur. Ujung-ujungnya nelayan tambah susah," kata H. Dade Mustofa Effendi, B.Sc, Ketua KUD Mina Bumi Bahari Gebang.

Meski pemakaian garok menyalahi aturan, KUD maupun HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) tak bisa berbuat apa-apa. Jika dilarang, apalagi kemudian ada razia, para nelayan pasti mengamuk dan menimbulkan anarki. "Ini masalah perut," kata Sekretaris HNSI Cirebon itu.

**

Situasi serbasulit, terutama sejak kenaikan harga BBM, membuat nelayan putus asa. KUD sebenarnya pernah menagih janji pemerintah yang akan menggulirkan KUR (kredit usaha rakyat). Sejumlah bank pun sudah dihubungi, tetapi KUR tak kunjung cair karena ternyata pihak perbankan mengaku tidak tahu-menahu.

Kini, KUD maupun HNSI tidak bisa berbuat banyak. Permodalan murah yang diharapkan tak juga digulirkan, sementara sebagian nelayan tradisionalnya kini mulai tidak melaut karena ketiadaan modal dan utang sudah membengkak di rentenir.

"Lihat aja sendiri, Sungai Ciberes di muara Gebang dipenuhi ratusan perahu nelayan. Mereka tidak punya modal untuk melaut dan lego jangkar. Artinya, nelayan menganggur," kata Dade.

Hal sama terjadi pada nelayan tradisional di Indramayu. Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT) setempat, Kajidin menuturkan, nelayan benar-benar sedang mengalami kehidupan teramat pahit.

Di Indramayu dan Cirebon, tak sedikit nelayan yang mulai alih profesi, ada yang menjadi kuli angkut di TPI, buruh tani, buruh tambak udang atau ikan bandeng, sampai ada yang menjadi pemulung. Semua dilakukan untuk bisa bertahan hidup.

"Bisa makan saja sudah untung...," kata Kajidin. (Agung Nugroho/PR)***

1 komentar:

  1. Garok merajalela, tinggal tunggu saja ikan di L. Jawa punah. Kalau sudah begitu nelayan juga yang susah. Susah diatur dari awal jadi keterusan. Dinas perikaan jangan tinggal diam!

    BalasHapus