Kamis, 12 Juni 2008

HUBUNGAN BILATERAL

Melihat Indonesia di Malaysia


KOMPAS/M HERNOWO / Kompas Images
Nama Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia, berasal dari kata Kuala yang berarti sebutan untuk pertemuan dua sungai, yaitu Sungai Kelang dan Sungai Lumpur. Sementara Lumpur berasal dari nama salah satu sungai yang mengalir di kota itu.



Kamis, 12 Juni 2008 | 03:00 WIB

M Hernowo

Pertengahan tahun 1990-an, dalam bukunya yang berjudul Megatrend Asia, John Naisbitt dan Patricia Aburdene menyebut Indonesia dan sejumlah negara lain, seperti Malaysia dan Thailand, sebagai anak macan Asia. Sementara itu, negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Hongkong disebutnya sebagai macan Asia.

Pernyataan itu merupakan bentuk kekaguman Naisbitt pada perkembangan ekonomi Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya. Kekaguman ini, terutama untuk Indonesia, dibangun antara lain oleh pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 7 persen per tahun, swasembada beras pada tahun 1985, hingga stabilnya kehidupan politik.

Prediksi Naisbitt itu makin menambah rasa percaya diri Indonesia yang saat itu bersiap memasuki era tinggal landas, sebuah kategori masyarakat versi Rostow, seorang pemikir aliran liberal. Tinggal landas terjadi setelah era masyarakat tradisional dan prasyarat untuk tinggal landas. Setelah tinggal landas adalah tahap kedewasaan dan zaman konsumsi massa tinggi.

Namun, krisis ekonomi dan kemudian politik yang dimulai tahun 1997 membuat prediksi Naisbitt untuk Indonesia di atas menjadi seperti berkeping-keping. Krisis seolah tidak hanya membuat Indonesia tertinggal, juga terjerembab di landasan. Sejumlah prestasi ekonomi pada era Orde Baru seolah hilang tidak berbekas.

Sejumlah aset penting, seperti Indosat, terpaksa dijual, Industri Pesawat Terbang Nusantara kesulitan melanjutkan proyek prestisiusnya, dan Indonesia mengimpor hampir semua bahan pangan. Sementara itu, kehidupan politik diwarnai oleh berbagai kegaduhan yang seolah tiada ujung.

Pada saat yang sama, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia juga makin menipis.

Survei Setara Institute pada 6-30 Mei 2008 terhadap 800 generasi muda di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menunjukkan, hanya 50,4 persen dari responden yang bangga menjadi bangsa Indonesia.

Bahkan, Direktur Eksekutif Lead Institute Bima Arya Sugiarto menuturkan, sejumlah anak muda mulai menggunakan istilah ”Ina” (Indonesia) untuk menunjukkan hal-hal yang buruk. ”Di Universitas Paramadina (Jakarta) tempat saya mengajar, mental Ina sering dipakai untuk menyebutkan kebiasaan buruk, seperti menyontek,” ujar dia.

Wisatawan Indonesia
Di negara lain, seperti Malaysia, citra orang Indonesia juga mengalami penurunan. Di negeri jiran itu, sebutan orang Indon (Indonesia) tidak lagi selalu membanggakan karena banyak dikaitkan dengan ulah imigran gelap dari Indonesia yang datang ke negara itu.

”Penduduk Kuala Lumpur 1,8 juta jiwa. Namun, pendatang dari berbagai negara mencapai 2,5 juta. Mereka ini (para pendatang) sering menimbulkan masalah bagi kami,” kata Muhamad Noer, warga Malaysia yang dengan halus mencoba menggambarkan masalah keberadaan imigran gelap yang umumnya dari Indonesia di negaranya.

Ironisnya, di tengah berbagai keluhan atas imigran gelap dari Indonesia, orang Malaysia amat menyukai wisatawan dari Indonesia. ”Mereka banyak uang. Suka belanja dan tidak rewel,” kata Noer. Ungkapan itu secara tidak langsung menunjukkan lebarnya jurang antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia.

Secara jumlah, wisatawan dari Indonesia juga memegang peranan penting bagi perkembangan pariwisata di Malaysia. Dari sekitar 23 juta wisatawan asing yang ditargetkan mengunjungi negara itu pada tahun 2008, 2 juta di antaranya diharapkan dari Indonesia.

Dari 52.000 pelajar asing yang belajar di Malaysia, sebanyak 13.000 di antaranya juga berasal dari Indonesia. Jumlah ini merupakan urutan kedua setelah dari Timur Tengah. Pada saat yang sama, hanya ada 4.600 penduduk Malaysia yang sekarang belajar di Indonesia.

Data tentang jumlah wisatawan dan pelajar itu menjadi ironi jika melihat tahun 1950-an hingga awal 1960. Jika saat itu kita mengekspor guru ke Malaysia, sekarang kita mengekspor pelajar, wisatawan, hingga pekerja kasar untuk bekerja di perkebunan atau proyek-proyek raksasa di Malaysia.

Namun, jika melihat Malaysia saat ini, hal yang wajar itu terjadi. Lapangan kerja, dengan upah yang layak jika dilihat dengan ukuran Indonesia, banyak tersedia di negeri jiran karena pertumbuhan ekonomi mereka telah lumayan jauh meninggalkan kita. Penegakan hukum, terutama terhadap penyalahgunaan narkoba, dijalankan secara tegas hingga orangtua dapat relatif yakin anaknya yang bersekolah di negara itu akan bebas dari dampak buruk narkoba.

Bangga dan percaya diri
Alam Malaysia mungkin memang tidak seindah Indonesia. Namun, terjaganya kebersihan dan keamanan serta mudahnya sarana transportasi membuat berada di Malaysia menjadi keasyikan tersendiri bagi sebagian orang Indonesia.

Berbagai prestasi itu membuat Malaysia bangga dan percaya diri sebagai sebuah bangsa. Warga Malaysia tidak malu-malu mengibarkan jalur gemilang, sebutan untuk bendera Malaysia di setiap sudut kota dan bangunan.

Pemerintah Malaysia juga berusaha memperbesar kebanggaan warganya dengan menciptakan sejumlah ”prestasi”. Misalnya membangun menara kembar Petronas yang merupakan menara kembar tertinggi di dunia, membawa balap mobil Formula I di Sirkuit Sepang, hingga membuat patung Buddha Tidur di negara bagian Kelantan yang merupakan patung kedua terbesar di dunia.

Akhirnya, kondisi Malaysia saat ini seperti perwujudan dari impian tentang Indonesia, tentang lepas landas. Sementara itu, Indonesia, seperti diramalkan Louis Kraar, pengamat negara-negara industri baru di Asia Timur pada tahun 1988, justru menjadi halaman belakang dari Asia Timur, ditinggal oleh negara tetangganya yang berkembang pesat.

”Kualitas orang Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan Malaysia. Bedanya, orang Malaysia dapat lebih bekerja sama dan disatukan oleh pemimpinnya. Itu yang membuat mereka cepat maju,” kata seorang staf lokal Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia tentang capaian negaranya saat ini.

Kesediaan untuk kerja sama dan bahu-membahu sebagai sebuah bangsa memang menjadi salah satu masalah bangsa Indonesia belakangan ini. Makin tipisnya kesediaan itu membuat sejumlah kemajuan di bidang demokrasi dan hak asasi manusia yang diraih dalam 10 tahun terakhir menjadi seperti tidak berarti.

Itu karena demokratisasi dan hak asasi manusia, yang sebenarnya dipakai sebagai dasar untuk membangun kehidupan yang beradab, seolah justru menimbulkan kegaduhan dan konflik yang tidak pernah selesai. Akibatnya, hanya sedikit energi yang tersisa untuk membangun ekonomi bangsa.

Kondisi makin diperparah oleh maraknya praktik busuk, seperti korupsi. Dugaan Kraar pada 20 tahun lalu bahwa korupsi akan menjadi faktor penting yang membuat Indonesia menjadi halaman belakang Asia Timur telah terbukti.

Untuk mengejar berbagai ketertinggalan ini agaknya kita tidak perlu malu untuk belajar dari Malaysia, khususnya di dalam hal kesediaan untuk bekerja sama, keengganan untuk menghancurkan diri sendiri, dan kesungguhan untuk membersihkan diri dari kebiasaan buruk, seperti korupsi.

”Sebagian dari kami memang ingin perubahan. Namun, kami menolak kekacauan karena hanya akan merugikan kami sendiri,” kata Muhamad Noer tentang merosotnya perolehan suara Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dalam Pemilu Malaysia, 8 April lalu. Sikap seperti itu agaknya perlu dicontoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar