Tugas Cendekiawan Mencari Kebenaran
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama bersama para penerima penghargaan cendekiawan berdedikasi di Jakarta, Jumat (27/6). Penghargaaan diberikan kepada Sajogyo, Satjipto Rahardjo, MT Zen, Soetandyo Wignyosoebroto, dan Thee Kian Wie (kiri ke kanan).
Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama bersama para penerima penghargaan cendekiawan berdedikasi di Jakarta, Jumat (27/6). Penghargaaan diberikan kepada Sajogyo, Satjipto Rahardjo, MT Zen, Soetandyo Wignyosoebroto, dan Thee Kian Wie (kiri ke kanan).
Sabtu, 28 Juni 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Dalam perkembangan reformasi menuju negara demokrasi, di Indonesia muncul kecenderungan adanya kesimpangsiuran tujuan dari kalangan ilmuwan, politisi, dan pengusaha.
Tugas utama cendekiawan yang seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth) telah bercampur aduk dengan tujuan politisi, yaitu mencari kekuasaan (search for power).
Kecenderungan tersebut diungkapkan cendekiawan Thee Kian Wie saat memberikan kesan dan pesan di tengah acara penyampaian Penghargaan Kompas untuk Cendekiawan Berdedikasi yang berlangsung di Yan Palace Hotel Santika, Jakarta, Jumat (27/6).
Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-43, Kompas memberikan apresiasi melalui penghargaan tersebut untuk pertama kalinya kepada lima cendekiawan yang dinilai memiliki komitmen tinggi dan memiliki asketisisme intelektual. Para penerima penghargaan tersebut adalah Prof Dr MT Zen, Prof Dr Sayogyo, Prof Dr Soetandyo Wignyosoebroto, Prof Dr Satjipto Rahardjo, dan Dr Thee Kian Wie.
Penghargaan diserahkan langsung oleh Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama. Dari jajaran redaksi Kompas hadir Pemimpin Redaksi Bambang Sukartiono dan Redaktur Pelaksana Budiman Tanuredjo bersama unsur pimpinan redaksi lainnya.
Thee Kian Wie dalam pesannya mengingatkan, ”Sekarang ini ada kesimpangsiuran. Ilmuwan yang merupakan cendekiawan tujuan utamanya adalah mencari kebenaran. Politisi tujuan utamanya adalah mencari kekuasaan dan pengusaha adalah mencari keuntungan. Kalau peranannya ini dikaburkan dan diputarbalikkan, bisa berbahaya sekali (bagi bangsa).” Ia menunjukkan indikasi banyaknya penguasa yang masih menggunakan gelar profesor.
Ia mencontohkan keputusan Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1960-an untuk melibatkan diri pada Perang Vietnam tanpa mendengarkan suara ilmuwan. Kebijakan Perang Vietnam tersebut kemudian memakan korban jiwa hingga 50.000-an pemuda Amerika dan tiga jutaan orang Vietnam tanpa ada perlunya. ”Search for truth dan search for power itu adalah dua tujuan yang pada dasarnya tidak compatible (cocok),” katanya.
Sementara itu, Sayogyo menegaskan bahwa masa depan bangsa ini sekarang berada di tangan generasi muda. Sejalan dengan itu, ia telah menyiapkan Sayogyo Center yang dimaksudkan sebagai tempat generasi muda menggodok pemikiran untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Kelima cendekiawan yang selama ini aktif menuangkan pemikiran intelektualnya untuk membangun demokrasi tersebut mengharapkan tugas kecendekiawanan mereka dapat diteruskan oleh generasi muda dan mereka pun berharap tetap bisa mengawal ide tersebut bersama Kompas.
Bagi Satjipto Rahardjo, ”Cendekiawan adalah orang yang berpikir dengan tangannya sehingga menulis adalah pekerjaan cendekiawan.” Satjipto yang aktif menulis di bidang hukum dan kemasyarakatan mengharapkan Kompas tetap bisa menjalankan tugasnya mencerahkan bangsa.
Sementara MT Zen dengan singkat menyebutkan, kompas adalah alat penunjuk arah utara, dan di sana ada pepatah, ”The King goes north....”
Asketisisme kekuasaan
Dalam sambutannya, Jakob Oetama menekankan pentingnya asketisisme dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk menggarisbawahi hal itulah, Kompas memberikan penghargaan kepada lima cendekiawan yang memiliki komitmen tinggi tersebut.
Selanjutnya, Jakob menyatakan, ”Tak ada yang meragukan komitmen kaum cendekiawan. Istilah almarhum Sartono Kartodirdjo. Komitmen yang menjadi kebajikan dan sikap hidup yang beliau rumuskan sebagai asketisisme intelektual. Ini luar biasa karena bapak-bapaklah yang turut membangun dan mengembangkan tradisi ini.”
Asketisisme, tambah Jakob, adalah kunci untuk kemajuan bangsa ini. ”Intelektual asketik mengembangkan dan mengontribusikan keahliannya dan (sekarang) terlebih lagi semakin diperlukan asketisisme kekuasaan,” ujarnya.
”Ini masih langka dan harus ada yang merintis,” katanya. Ia menyebut tokoh Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru (PM India), dan Manmohan Singh (PM India) sebagai tokoh yang asketis.
Indonesia, lanjut Jakob, sebenarnya telah memiliki Bung Hatta, tokoh Masyumi Moh Natsir, serta sosok IJ Kasimo. ”Ada beberapa, tetapi tidak menjadi warisan,” kata Jakob.
Jika kondisi seperti ini berlanjut, maka dalam perjalanan menuju demokrasi ini, akan berlanjut situasi saat ini yang memberi kesan tak pasti, tak menentu, serta tak menggerakkan kebersamaan dan kemauan untuk bangkit bersama.
Karena itu, lanjutnya, komitmen, pencerahan, dan kontribusi para cendekiawan itu melalui berbagai bidang tetap diperlukan. Jakob menyatakan syukur, harian ini dapat turut memperkenalkan kontribusi sosok panutan tersebut kepada masyarakat, yang memang sangat membutuhkan teladan dari para pemimpin di segala bidang. (isw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar