Selasa, 10 Juni 2008

Pemerintah di Atas Semua Pihak

Yang Tak Setuju SKB Bisa Ajukan Gugatan ke MK


KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images
Menteri Agama Maftuh Basyuni (tengah) bersama Jaksa Agung Hendarman Supandji (kiri) dan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengumumkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat di Departemen Agama, Jakarta, Senin (9/6).




Selasa, 10 Juni 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah ingin berdiri di atas semua kelompok. Itu sebabnya, pemerintah tidak membuat keputusan tentang pelarangan atau pembubaran. Pemerintah membuat keputusan untuk memberikan peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan warga masyarakat.

Peringatan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. ”SKB ini memang begitu lamban karena pemerintah memikirkan sedalam-dalamnya, semasak-masaknya, mana yang terbaik. Inilah yang terbaik sesuai undang-undang yang berlaku,” ujar Menteri Agama Maftuh Basyuni di Jakarta, Senin (9/6).

Maftuh didampingi Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto. ”Mudah-mudahan kita sudah cukup dewasa untuk menerima pilihan terbaik, sanksi sudah jelas,” ujar Maftuh.

Menurut Hendarman, SKB ini bukan larangan atau pembubaran, tetapi peringatan dan perintah kepada warga masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar mematuhi keputusan. ”Jika tidak patuh, dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.

Misalnya, peringatan dan perintah kepada Ahmadiyah sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama Islam. ”Jika tidak mengindahkan, dikenakan sanksi sebagai penodaan agama,” ujarnya.

Namun, menurut Hendarman, warga masyarakat juga diperingatkan agar turut menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama, ketenteraman, dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap penganut Ahmadiyah.

”Warga yang tidak mengindahkan dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan, seperti penyebaran rasa kebencian pada masyarakat tertentu atau melakukan kekerasan di depan umum,” ujarnya.

Mardiyanto menambahkan, SKB diharapkan tidak menimbulkan ekses yang luas. SKB disusun dengan menjaga keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat dan berbangsa. ”SKB ini bukan intervensi dari mana pun, tetapi kita pikirkan bersama secara hati-hati karena cukup rumit persoalannya,” katanya.

Peringatan dulu
Menurut Hendarman, pemerintah tidak dapat langsung membubarkan JAI karena, berdasarkan aturan yang ada, mereka harus diperingatkan terlebih dulu. Pemerintah juga tidak dapat membubarkan Ahmadiyah sebagai keyakinan yang dianut JAI karena Indonesia tidak memiliki pengadilan untuk mengadili suatu keyakinan.

Hal yang dapat diadili adalah kegiatan penyalahgunaan maupun penodaan terhadap agama sesuai Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta penyebaran permusuhan, kebencian, dan penghinaan di depan umum terhadap golongan tertentu sesuai Pasal 156 KUHP.

Mereka yang melakukan kekerasan di depan umum juga diancam hukuman pidana sesuai Pasal 170 KUHP, sementara sanksi bagi organisasi massa yang melanggar keamanan dan ketertiban umum diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No 8/1985.

”Jika JAI atau kelompok masyarakat lain tidak setuju dengan SKB ini, silakan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.

Sedih
Juru bicara JAI, Syamsir Ali, menyatakan kesedihannya atas keluarnya SKB itu. JAI juga bingung dengan implementasi aturan ini. ”Jika kami tidak boleh melaksanakan kegiatan JAI, apakah kami berarti harus menjadi orang jahat?” katanya.

Menurut Syamsir, JAI hanya menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi, sebagai penyelamat di akhir zaman. Sementara Tadzkirah bukan pula menjadi kitab suci Ahmadiyah, tetapi hanya sebagai catatan dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad.

JAI belum menentukan langkah apa yang akan ditempuh menyikapi SKB ini. Hal itu baru akan ditentukan menunggu konsolidasi dengan pengurus JAI dan kuasa hukumnya.

Di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Senin siang, mantan Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan dukungannya kepada Ahmadiyah. Ia bahkan siap menjadi saksi ahli jika Ahmadiyah mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. ”Ahmadiyah berhak hidup karena UUD 1945 sudah menjamin keberadaannya,” kata Abdurrahman Wahid.

Tuntut pembubaran
Sejumlah ormas Islam kemarin melakukan demonstrasi di sekitar Monas dan di depan Istana Negara menuntut pembubaran Ahmadiyah.

Menjelang siang, ribuan pengunjuk rasa bergerak dari Monas menuju Polda Metro Jaya. Habib Umar Shihab, salah seorang pengunjuk rasa, mengatakan, pihaknya menuntut pemerintah membebaskan Habib Rizieq.

Sepanjang siang, ratusan pengunjuk rasa berkunjung ke ruang tahanan untuk bersalaman dengan Habib Rizieq.

Sekitar pukul 15.00, polisi membawa Habib Rizieq untuk berbicara kepada massa di gerbang Polda Metro Jaya. ”Harap tenang dan kita akan mengikuti proses hukum secara tertib,” kata Rizieq.

Sekitar pukul 16.00, massa mulai membubarkan diri. Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath mengatakan, FUI tetap menuntut pembubaran Ahmadiyah karena sudah terbukti adanya penodaan agama.

Tetap tenang
Turunnya SKB tidak membuat warga Ahmadiyah yang tinggal di Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, panik. Sebelum dan setelah SKB diturunkan, kondisi desa yang di dalamnya terdapat pengikut Ahmadiyah yang mencapai 3.000 jiwa itu tetap tenang.

Kepolisian Resor Kuningan terus melakukan penjagaan. Setidaknya ada tiga kompi pasukan yang terlihat disiagakan di depan jalan masuk ke desa tersebut. (MAM/MZW/INU/NIT/ NEL/ONG/PIN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar