Kamis, 12 Juni 2008

Raja Gyanendra "Angkat Koper"

Istana Nagarjun Menjadi Tujuan Sementara


AP PHOTO/MUSTAFA QURAISHI / Kompas Images
Mantan Raja Gyanendra keluar dari Istana Narayanhiti, Rabu (11/6) di Kathmandu, menuju Istana Nagarjun yang terletak di sebelah barat Kathmandu.




Kamis, 12 Juni 2008 | 03:00 WIB

Kathmandu, Rabu - Dua pekan setelah pemerintah membubarkan kerajaan Hindu paling tua di dunia (239 tahun), mantan Raja Nepal, Gyanendra, meninggalkan Istana Narayanhiti di Kathmandu, Rabu (11/6). Dengan alasan tak punya rumah, pemerintah mengizinkan Gyanendra untuk sementara tinggal di Istana Nagarjun.

Sebenarnya pemerintah memberi batas waktu bagi Gyanendra untuk meninggalkan istana hingga Kamis. Namun, Gyanendra memutuskan keluar sehari lebih cepat. Sebelum keluar dari istana, Gyanendra harus menyerahkan mahkota bertatahkan berlian dan batu delima kepada Pemerintah Republik Nepal.

Hingga kini mahkota dan tongkat kerajaan dilaporkan telah hilang. Pengurus kerajaan mengaku tak tahu keberadaan kedua lambang kerajaan itu.

Mahkota dan tongkat kerajaan itu terakhir kali digunakan Gyanendra pada Juni 2001 saat dia diangkat sebagai Raja Nepal menggantikan kakaknya, Raja Birendra, yang tewas dibunuh anak laki-lakinya. Sejak itu hanya Gyanendra saja yang dikabarkan tahu keberadaan simbol kerajaan itu.

Selain harus menyerahkan kedua benda berharga itu, Gyanendra untuk sementara akan pindah ke Istana Nagarjun yang biasanya digunakan sebagai rumah musim panas dan musim untuk berburu di hutan. Karena Gyanendra mengaku tidak punya rumah lain yang bisa ditinggali, pemerintah mengizinkannya untuk tinggal di kompleks rumah peristirahatan yang ada di pinggiran barat Kathmandu itu.

Kompleks Nagarjun ini tak terlihat seperti istana karena hanya kompleks dengan puluhan rumah kayu dan bata yang beratapkan seng. Meski tak tampak seperti istana, ratusan orang memprotes keputusan pemerintah yang mengizinkan Gyanendra pindah ke Nagarjun. ”Jangan berikan istana itu kepada si pengemis (Gyanendra),” tulis poster yang ditempel di dinding parlemen.

Banyak warga Nepal yang tidak senang dengan kepindahan Gyanendra ke Nagarjun yang diambil alih pemerintah tahun lalu. ”Kok dia boleh pindah dari satu istana ke istana lain. Ini tidak boleh seharusnya. Dia kan kaya dan bisa mencari rumah sendiri,” kata seorang petani, Shambhu Kandel.

Namun, pemerintah menegaskan kembali, Gyanendra hanya tinggal sementara di Istana Nagarjun atau paling tidak sampai ia berhasil mendapatkan rumah baru. Putra Gyanendra, Paras, yang dikenal kerap menjalani gaya hidup playboy juga sudah pindah ke rumah pribadinya di perumahan diplomat di Kathmandu.

Hilangnya monarki berarti juga tidak ada lagi ”jatah uang saku” untuk 16 anggota keluarga kerajaan. Meski demikian banyak pihak yakin Gyanendra tak akan langsung jatuh miskin karena selama ini Gyanendra diyakini memiliki kekayaan sampai 200 juta dollar AS yang diinvestasikan ke berbagai perusahaan milik Nepal. Gyanendra juga selama ini diduga menyimpan uang di luar negeri.

Selama satu tahun Gyanendra mendapat ”uang saku” sebesar 3,1 juta dollar AS. Akan tetapi, jumlah kekayaan Gyanendra sebenarnya jauh lebih banyak. Apalagi mengingat sebelum diangkat menjadi raja, ia dikenal sebagai pengusaha teh, tembakau, dan pariwisata. Ia juga mewarisi kekayaan luar biasa besar dari keluarganya setelah insiden pembunuhan keji yang menimpa keluarga kerajaan.

Terima kasih
BBC News melaporkan, Maois menyambut baik keputusan Gyanendra yang memilih turun takhta dengan diam-diam. ”Itu adalah langkah positif yang diambil raja. Untung saja ia menerima keputusan pemerintah yang meminta ia dan keluarganya keluar istana. Kami ucapkan terima kasih. Hal itu telah memulai era baru untuk transisi politik damai. Kami bisa menghargai keputusannya untuk hidup sebagai warga sipil biasa,” kata juru bicara dari Maois, Krishna Bahadur Mahara.

Takhta kerajaan Gyanendra terlepas pada bulan lalu setelah parlemen secara konstitusional memilih mengakhiri monarki Hindu yang terakhir di dunia. Gyanendra mengaku berniat tetap tinggal di Nepal dan hidup sebagai warga sipil biasa. Berakhirnya monarki di Nepal ini menjadi bagian terpenting dari kesepakatan damai yang tercapai tahun 2006 di antara mantan gerilyawan Maois dan partai politik Nepal.

Sejak diangkat sebagai raja, banyak pihak mengakui Gyanendra menjadi otoriter. Namun, Gyanendra menganggap ia perlu otoriter untuk menumpas kelompok perlawanan. Akan tetapi, upaya Gyanendra itu tidak kunjung menunjukkan hasil. Perlawanan dari gerilyawan makin sengit dan satu tahun kemudian mulai muncul serangkaian aksi protes yang menuntut Gyanendra segera memulihkan demokrasi.

Desakan itu makin terasa setelah pemerintah dan gerilyawan mulai berunding. Setelah Maois menang pemilu April dan meraih mayoritas jumlah kursi parlemen kemudian disepakati kebijakan menghapuskan monarki. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar