Rabu, 25 Juni 2008

Sekolah Gratis Swadaya Masyarakat

"Keajaiban" dari Desa Sarimukti

MELEWATI jalanan berkelok dan menanjak, sekitar 30 km arah timur dari Kota Garut. "Keajaiban" kecil tersembunyi, di balik hijaunya hamparan perkebunan dan udara dingin yang menghujam kulit. Keajaiban itu dirajut dari secercah harapan, segenggam kepedulian, komitmen, dan semangat kebersamaan sekelompok manusia di salah satu desa bernama Sarimukti.

"Sururon adalah cita-cita sekaligus kebanggaan. Kami akan mempertahankan dan mengembangkan sekolah ini, dengan atau tanpa bantuan pemerintah," ujar Yayan Supriatna, sang kepala desa.

Madrasah Tsanawiyah (MTs.) Sururon merupakan sekolah berbasis komunitas yang beroperasi mulai 14 Juli 2003 dan lahir dari keinginan kuat masyarakat setempat, yang mayoritas komunitas petani serta orang-orang yang peduli akan pendidikan anak-anak di desa itu. Tujuannya satu, generasi muda desa dapat memutus rantai kemiskinan dan kebodohan yang puluhan tahun menjadi sahabat setia mereka.

Dengan 1.750 kepala keluarga yang 90% bermata pencaharian sebagai buruh tani, Sarimukti adalah desa sederhana yang dibelenggu kemiskinan. Upah buruh tani wanita Rp 7.000,00 dan pria Rp. 10.000,00. Pendidikan anak-anak mereka putus di tingkat dasar, sehingga terpaksa mengikuti jejak orang tuanya, menikah di usia belia, menjadi buruh tani, atau hidup sebagai kaum urban di kota.

Sadar bahwa menunggu belas kasih pemerintah adalah kesia-siaan, secara swadaya dan swadana, mereka mencurahkan tenaga dan mengumpulkan bahan bangunan untuk mendirikan salah satu bangunan sekolah. Begitu pula para pengajarnya. Siapa pun yang memiliki komitmen, kepedulian dan bersedia tanpa pamrih, berbagi ilmu dapat mengajar di Sururon.

Dengan segala keterbatasan, MTs. Sururon mampu meraih prestasi yang membanggakan. Selama lima tahun berdiri, sekolah komunitas ini selalu meraih tingkat kelulusan UN 100% bagi siswa kelas tiganya dan berhasil meluluskan 152 generasi muda Sarimukti. Selain penambahan mata pelajaran praktik pertanian sesuai latar belakang sosial mereka, Sururon menganut kurikulum dari Departemen Agama. Seperti siswa sekolah lain, mereka juga mengikuti UN dan mendapatkan ijazah nasional.

Perbedaan terletak pada sistem pengajaran yang membebaskan dan memanusiakan. Dalam pembelajaran, guru dan murid secara terbuka berdialog untuk memperoleh penguasaan ilmu bersama. "Posisi kami adalah teman berbagi dan belajar, bukan sosok yang mahatahu," kata Ridwan Saefudin, guru dan dewan pendiri.

Cinta, kesederhanaan, semangat, dan kebersamaan itu tetap terjaga. MTs. Sururon kini memiliki enam ruang kelas dan melayani 173 siswa kelas I - III. Biaya operasional ditutupi dari hasil usaha bersama, seperti percetakan dan peternakan yang dikelola bersama oleh guru, murid, maupun bantuan orang tua.

"Pintu Sururon selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin mengecap pendidikan tingkat SMP tanpa dipungut biaya sepeser pun. Hanya satu syarat yang diminta, keinginan kuat untuk belajar dan kesediaan untuk maju bersama," kata Kepala Sekolah Aang Muchzan Fauzi. (Arif Budi Kristanto)***

1 komentar:

  1. Saya yakin, beberapa tahun setelah ini, INDONESIA akan memiliki semakin banyak sekolah yang GRATIS untuk para generasi muda penerus pembangunan di negara Indonesia. Asalkan satu syarat yang kita harus pertahankan. Konsisten dan mensinergiskan potensi2 yang ada di aset bangsa...
    Semoga yang Anda lakukan mampu membawa manfaat bagi Anda dan para pembaca sekalian...amin

    BalasHapus