Jumat, 27 Juni 2008

Perlu Tegas Atasi Krisis Listrik

Dampak Pemutusan Arus Listrik terhadap Masyarakat Semakin Berat


KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Turoso (kiri) dan Hari, dua tukang kayu, hanya bisa bercengkerama di tempat penggergajian karena pemutusan arus listrik di Buaran, Jakarta Timur, pada pukul 08.00-16.00, Kamis (26/6). Pemutusan arus listrik bergilir selama tahun 2008 di DKI Jakarta merugikan pelanggan yang mengandalkan pasokan daya dari listrik, seperti usaha penggergajian kayu tersebut.



Jumat, 27 Juni 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah perlu segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasi krisis kelistrikan yang membuat pemutusan arus listrik bergilir di sebagian besar wilayah Jawa dan Bali terus-menerus terjadi.

Pengamat kelistrikan, Nengah Sudja, Kamis (26/6), mengatakan, krisis kelistrikan yang terjadi saat ini sudah di luar kemampuan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengatasinya.

Selain terbatasnya kapasitas pembangkit, perseroan juga menghadapi keterbatasan kemampuan membeli energi. Dengan keterbatasan itu, PLN tidak mampu mengimbangi pertumbuhan penggunaan tenaga listrik. ”Kita lihat harga bahan bakar, baik BBM maupun batu bara, terus melejit. Akibatnya, rentang harga jual listrik dengan biaya produksi makin jauh, sementara anggaran untuk membeli bahan bakar dibatasi,” ujar Nengah.

Pemutusan arus listrik secara bergilir di sistem kelistrikan Jawa-Bali kembali terjadi sejak 17 Juni 2008. Defisit terjadi karena sejumlah gangguan beruntun, antara lain adanya kerusakan di PLTU Suralaya dan PLTU Paiton. Defisit tambah parah dengan berhenti beroperasinya PLTU Cilacap pada 21 Juni lalu karena tidak sanggup membeli batu bara.

Jakarta makin parah
Dalam dua pekan ke depan, pemutusan arus listrik untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya diperkirakan akan semakin luas karena pasokan gas untuk PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok dihentikan sementara untuk pemeliharaan jaringan pipa dari produsen. Pemeliharaan jaringan itu akan berlangsung dua minggu mulai tanggal 11 Juli.

Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar mengatakan, dengan kondisi cadangan sistem Jawa-Bali hanya 18 persen, defisit akan langsung terjadi begitu ada pembangkit yang keluar dari sistem atau ada pemeliharaan.

Pada saat gangguan terjadi di pembangkit besar seperti Suralaya dan Paiton, terjadi defisit yang sangat besar yang mencapai 1.200 MW. Akibatnya, pemutusan arus harus dilakukan di semua wilayah Jawa dan Bali.

Pemutusan arus listrik yang berlangsung dari pagi hingga sore hari itu semakin mengganggu aktivitas perekonomian. Di Semarang, misalnya, sejak akhir Mei lalu, sejumlah hotel mendapat giliran pemutusan arus listrik sebanyak satu sampai tiga kali dalam seminggu. Lama waktu pemutusan mulai dari 2 jam hingga 9 jam per hari. Para pengusaha mengeluh karena pemutusan arus itu mengganggu kinerja dalam melayani tamu hotel. Selain itu, biaya operasional hotel ikut membengkak karena penggunaan genset lebih banyak.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Semarang Imam Kamal mengatakan, ongkos untuk membeli solar untuk menghidupkan genset semakin besar.

”Dulu kapasitas gensetnya kecil, sekitar 150 kilovolt ampere (KVA). Sekarang, karena gensetnya sering dipakai, saya beli yang kapasitasnya 4.000-an KVA,” ujarnya.

Sementara itu, akibat makin kerapnya pemutusan arus listrik oleh PLN, semua komisariat daerah Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Cabang Jawa Tengah akan menggugat kesepakatan yang mereka buat dengan PLN dalam soal pengurangan listrik. Ketua API Jawa Tengah Dewanto Kusumo mengatakan, banyak perusahaan tekstil di Jawa Tengah telah mengirimkan persetujuan untuk mengurangi pemakaian listrik dengan harapan mendapatkan pemberitahuan saat pemutusan arus oleh PLN.

Namun, ternyata masih ada pemutusan tiba-tiba tanpa pemberitahuan. ”Kami akan meminta pembicaraan ulang dengan PLN Jawa Tengah. Apakah kesepakatan dilanjutkan atau jalan sendiri-sendiri,” kata Dewanto.

Keterbatasan pasokan listrik juga dikeluhkan kalangan industri dan pelaku usaha di Jawa Timur. Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia (APCI) Jawa Timur Johan Suryadarma mengemukakan, listrik yang byarpet menurunkan kualitas produk hasil laut untuk ekspor.

Meskipun ketika arus listrik terhenti kontainer-kontainer bisa tetap beroperasi karena menggunakan genset, energi tidak langsung berganti ke genset. Jeda saat pergantian berpengaruh terhadap kualitas produk.

Untuk meminimalkan kerugian, Johan mengusulkan agar masa closing time bagi eksportir dipersingkat. Selama ini barang sudah harus masuk mulai enam sampai delapan shift sebelum keberangkatan kapal. Tiap shift itu merupakan delapan jam kerja. ”Berarti rata-rata sudah harus siap tiga hari sebelumnya,” kata Johan.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto mengatakan, keterbatasan pasokan energi semakin menggerogoti daya saing industri. ”Begitu listrik dibatasi, otomatis kapasitas terpakai turun, pabrik tidak bisa lebih cepat menyelesaikan pesanan. Padahal, kami sebenarnya masih prospektif untuk penambahan industri,” ujarnya.

Djimanto mengatakan, pemerintah harus mengambil kebijakan untuk mengompensasi beban yang ditanggung industri selama defisit kelistrikan terjadi. ”Apakah sewa jaringannya diturunkan atau upaya lain yang bisa diambil sampai proyek 10.000 megawatt (MW) masuk di 2009,” papar Djimanto.

Tunggu pemerintah
Fahmi Mochtar mengatakan, PT PLN baru menyampaikan secara nonformal kepada pemerintah terkait kondisi yang dihadapi PLN. ”Kami sampaikan semua, termasuk harga minyak yang sudah 130 dollar AS, harga batu bara yang hampir Rp 800.000 per ton. Masalahnya yang terkait dengan kelistrikan ini kan banyak, selain departemen teknis sebagai regulator, juga Departemen Keuangan dan Kementerian Negara BUMN,” ujar Fahmi.

Ia mengatakan, dari sisi pertumbuhan konsumsi listrik, asumsi 1,9 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah terlampaui. Bahkan, beban puncak sudah mencapai 17.000 MW. PLN harus bisa mengatasi pertumbuhan yang tinggi itu di tengah keterbatasan kapasitas pembangkit dan biaya bahan bakar yang semakin membengkak. Menurut Fahmi, PLN terus memperhitungkan kebutuhan riil subsidi dengan kondisi-kondisi tersebut. Alokasi subsidi listrik di APBN 2008 dipatok Rp 60,1 triliun.(A09/EKI/GAL/BEE/DOT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar