Selasa, 24 Juni 2008

Penataan Kawasan Wisata Kuliner Kota Bandung

Tidak Melulu Soal Cita Rasa


SALAH satu sudut Jln. Burangrang yang menambah lokasi pusat jajanan di Kota Bandung. Sebagai kota tujuan wisata yang selalu dipadati wisatawan setiap akhir pekan, sejumlah tempat di Bandung menjadi lokasi wisata kuliner yang menawarkan jajanan khas.* KRISHNA AHADIYAT

BANDUNG "surga" kuliner. Julukan itu mulai diakui sei-ring maraknya aktivitas pariwisata di Kota Bandung , khususnya pada saat akhir pekan atau libur panjang dalam beberapa tahun terakhir ini.

Sebagai kota jasa, Kota Bandung menawarkan variasi makanan dengan harga yang tentunya juga variatif. Persaingannya pun tidak sekadar pada upaya menawarkan rasa dan jenis makanan yang enak, tetapi juga harus diimbangi dengan pelayanan, kenyamanan, serta suasana tempat jajanan tersebut.

Kini, dengan adanya tol Cipularang, jarak tempuh Jakarta-Bandung semakin singkat. Dengan waktu kurang dari dua jam, warga Jakarta bisa sampai ke Bandung. Bahkan, sangat mungkin pelancong datang ke Bandung hanya untuk menyempatkan makan siang. Aneka jajanan kuliner Bandung memang memiliki daya tarik tersendiri.

Menurut Plt. Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan (Koperindag) Kota Bandung, Drs. H. Meivy Adha Krisnan, M.Si., potensi wisata kuliner di Bandung terbilang cukup besar. "Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya orang-orang Jakarta yang datang ke Bandung terutama saat akhir pekan, sehingga jalanan sering macet, hotel dan restoran fully-booked. Bahkan, jajanan kuliner kaki lima pun menjadi pilihan para pelancong," katanya.

Kondisi tersebut menjadi satu peluang lebih yang dapat dimanfaatkan warga Kota Bandung. Bukan saja rumah makan rumahan yang menawarkan karaktersitik makanan tertentu, dalam waktu beberapa tahun ini pun telah bermunculan beberapa kawasan jajanan kuliner kaki lima di Bandung, berdasarkan prakarsa elemen masyarakat. Sebut saja kawasan jajanan Burangrang, Pasar Baru, Cisangkuy, atau Cibadak Andeprok.

Hal ini berarti terdapat satu tempat yang dipersiapkan sebagai satu penataan kawasan. Ini dipandang lebih baik karena penataan para pedagang kaki lima akan lebih terpusat di satu tempat. "Peran pemerintah kota hanya memfasilitasi dengan memberi rekomendasi sepanjang faktor higienis, kenyamanan, dan keamanan terjamin, dan tidak melanggar peraturan ketertiban, kebersihan, dan keindahan (K3)," kata Meivy.

**

Salah satu kawasan jajanan adalah Jln. Burangrang. Kawasan yang diresmikan Wali Kota Bandung H. Dada Rosada pada 7 Juni 2008 ini menelan alokasi biaya tidak kurang Rp 1,4 miliar.

Menurut Camat Lengkong Lusi Susilayani, penataan kawasan tersebut murni dilakukan dengan tidak membebani APBD sepeser pun. Sumber pembiayaan diperoleh lewat kredit Bank Mandiri sebesar Rp 560 juta bagi 70 pedagang kali lima yang rata-rata mendapat pinjaman Rp 8 juta. Selain itu, ada dana Rp 224 juta dari pengusaha yang akan mengelola parkir dan toilet VIP dan dari pengusaha reklame sebesar Rp 700 juta untuk 40 titik neon box.

"Dengan konsep memberdayakan antara kapasitas lingkungan yang ada dan keberadaan PKL, tim hanya mengakomodasi PKL yang telah ada. Namun, izin kami tidak sembarangan agar tidak terjadi penambahan jumlah PKL," ujar Lusi.

Potensi wisata kuliner Bandung juga tersebar di beberapa titik lain. Di sepanjang Jln. Oto Iskandardinata (Otista) misalnya. Sejak awal Mei lalu, di jalan tersebut berdiri sekitar 40 tenda makan yang menjajakan beragam makanan. Tempat ini bernama Wisata Kuliner Pasar Baru (Pasbar)-Pemuda Abdi Bangsa (PAB).

Sebelum tenda-tenda makan ini berdiri, Jln. Otista bisa dibilang daerah "gelap". Trotoar di sepanjang jalan ini kerap digunakan para tunawisma untuk menghabiskan malam.

"Ya, tahu sendiri kan, di sini dulunya sering juga dijadikan ajang prostitusi. Nah, makanya kami membuka kawasan itu yang dulunya gelap menjadi terang," kata Penanggung Jawab Wisata Kuliner Pasbar-PAB, Ferry Novizar.

Nuansa lesehan ala Malioboro pun dijadikan konsep utama yang diterapkan pengelola kawasan wisata ini. Bedanya, jika di Malioboro diiringi hiruk pikuk pengamen jalanan, di sini tidak. "Di sini memang bersih dari pengamen dan pengemis agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung," tutur Ferry.

Keberadaan kawasan wisata kuliner seperti itu memiliki nilai positif lain. Selain tentunya sebagai aset wisata kota, keberadaannya juga dikaitkan dengan daya serap tenaga kerja. Menurut Ketua Program Wisata Kuliner Pasbar-PAB, Erick Hermansyah, PAB merekrut sedikitnya 35 orang tenaga kerja untuk bekerja sebagai juru parkir, keamanan, serta petugas logistik.

Kendati prospektif, pengelola mengakui, pendirian kawasan wisata kuliner ini masih menghadapi tantangan. Persoalan mental pedagang adalah salah satunya, mengingat kawasan wisata kuliner ini masih terbilang baru dan belum "punya nama".

Salah satu kawasan wisata kuliner lainnya adalah "Cibadak Andeprok". Berbeda dengan kawasan lainnya yang menawarkan aneka jenis makanan, kawasan jajanan Cibadak Andeprok dikonsepkan sebagai pusat jajanan jenis makanan tradisional Sunda.

Setiap Sabtu dan Minggu malam, para pedagang yang merupakan warga kelurahan Cibadak ini menjajakan makanan di sepanjang jalan RW 2 Kel. Cibadak, mulai dari Gg. Sereh hingga Citepus. Dominasi jenis makanan asli Sunda memang terlihat, mulai dari tutut, ubi bakar, awug, ketan bakar, jagung bakar, urab jagong, urab sampeu, bubuy hui, beuleum ketan, bandrek, bajigur, hingga makanan berat seperti nasi tutug oncom, nasi tumpeng, dan sebagainya.

**

Adalah Ceppy Setiawan penggagas ide yang saat itu menjabat sebagai ketua RW 2 yang juga menjadi Ketua Badan Kesaudaraan Masyarakat (BKM) Kel. Cibadak. Menurut dia, krisis multidimensi menjadi latarbelakang dibukanya kawasan tersebut untuk memberdayakan potensi masyarakat. Berangkat dari kondisi tersebut, Ceppy pun ingin mengembangkan konsep dengan menjadikan Cibadak sebagai kawasan jajanan khas bernuansa budaya lokal untuk menunjang Bandung sebagai kota tujuan wisata.

Cibadak Andeprok yang penerapannya sejak 2004 dilakukan dengan tujuan Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Kel. Cibadak. "Dana yang kami gunakan saat itu adalah dana P2KP kelurahan Rp 20 juta," ujar Ceppy yang saat ini menjabat sebagai ketua BKM Kel. Cibadak dan Ketua BKM Kota Bandung.

Oleh karena jumlah pedagang kuliner di Cibadak Andeprok meningkat hingga mencapai 50 pedagang, pada 2005 kawasan Cibadak pun diresmikan menjadi kawasan "Cibadak Andeprok". (Birny Birdieni/Joko Pambudi)***

2 komentar:

  1. ijin copy hasil ketikannya om, untuk tambahan business plan saya.

    BalasHapus
  2. Terima Kasih atas infonya silahkan kunjung kami balik http://bit.ly/2nOkv5i

    BalasHapus