Selasa, 24 Juni 2008

HARI BIDAN NASIONAL

Biaya Persalinan Rp200.000 Pun Dicicil


KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images
Bidan Ria Anugrah di luar jam kerjanya tetap siap memenuhi panggilan untuk memeriksa pasien yang hamil, melahirkan, atau sakit ringan di Desa Cikondang, Kecamatan Cisompet, Garut, Jawa Barat, Jumat (20/6). Untuk mengirit ongkos, ia kerap berjalan kaki.



Selasa, 24 Juni 2008 | 03:00 WIB

Oleh Evy Rachmati

Hawa dingin menyelimuti kawasan Desa Cikondang, Kecamatan Cisompet, sekitar 75 kilometer arah selatan pusat kota Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (21/6) pagi. Kesibukan telah tampak di pondok bersalin desa atau polindes yang dihuni Ria Anugerah (25).

Seusai berberes rumah, ia sibuk mengemasi peralatan medis di tempat praktiknya yang mendompleng bangunan puskesmas pembantu. Stetoskop, dopler—alat pendeteksi detak jantung janin—dan obat-obatan dimasukkan ke dalam tas kerjanya. Sementara vaksin untuk imunisasi disimpan dalam termos es.

Pagi itu, ibu dari satu anak tersebut hendak mengunjungi pos pelayanan terpadu di desa yang berbatasan dengan wilayah tugasnya, menggantikan temannya yang tengah cuti melahirkan.

Yusep Undang (28), suaminya yang berprofesi sebagai mantri di desa yang sama, telah menanti di atas sepeda motor di depan pintu rumah.

Pasangan muda itu pun berboncengan menuju tempat pelaksanaan posyandu di Kampung Leuwi Se’eng, Desa Jatisari, Kecamatan Cisompet, Garut.

Di lokasi posyandu, dengan telaten, Ria memeriksa kesehatan para ibu hamil dan anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Ia juga melayani sejumlah perempuan yang ingin menggunakan KB suntik. Sang suami pun ikut membantu mengimunisasi dan memeriksa kesehatan anak balita.

Medan sulit
Bertugas di daerah terpencil sering kali menuntut para bidan harus menempuh medan sulit dan berbahaya dalam memberi layanan persalinan. Saat berbadan dua hingga menjelang melahirkan pun, banyak bidan masih menunaikan tugasnya. Bahkan, ada bidan yang keguguran saat bertugas membantu persalinan.

Koordinator Bidan Kecamatan Cisompet Sundini menuturkan, pada tahun 1990-an ia sering berjalan kaki beberapa jam naik-turun bukit dan melintasi sungai menuju rumah pasien, termasuk ketika sedang hamil. Sebab, warga setempat cenderung memilih melahirkan di rumah sendiri dengan alasan lebih nyaman karena ditunggui keluarga.

Karena wilayah geografis luas dan sulit dijangkau, biaya operasional bidan di daerah terpencil, terutama terkait transportasi pun membengkak. Untuk menuju Kampung Hegar, Desa Cikondang, misalnya, ongkos ojek mencapai Rp 50.000 sekali jalan. Jadi, sering kali uang pengobatan dari pasien tidak bisa menutup biaya operasional.

Saat ini, standar biaya persalinan normal yang ditangani bidan desa berkisar Rp 200.000 hingga Rp 250.000. Karena mayoritas warga setempat memiliki kemampuan ekonomi menengah ke bawah, biaya persalinan itu kebanyakan diangsur beberapa kali sesuai kemampuan keluarga bersangkutan. ”Kadang, warga tidak bayar. Kalaupun membayar, semampunya,” tutur Ria.

Sebagai bidan desa, ia memperoleh gaji sekitar Rp 1 juta, sebagian habis untuk biaya operasional. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia dan suaminya berjualan pulsa telepon dan membuka usaha rental komputer di tempat tinggal mereka yang berada di belakang puskesmas pembantu. ”Kalau tak ada penghasilan sampingan, gaji tak akan cukup,” kata Yusep.

Mengubah perilaku
Bidan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak balita bagi masyarakat pedesaan. ”Banyak perempuan yang malu berobat ke mantri pria waktu sakit. Mereka lebih suka diperiksa bidan,” ujar Ria.

Meski keberadaannya sangat dibutuhkan, perhatian pemerintah terhadap nasib para bidan masih minim. Hal ini bisa dilihat dari buruknya kondisi sejumlah polindes hingga tak bisa ditempati bidan yang bertugas.

Bangunan polindes Cipucung, Kecamatan Banyuresmi, Garut, yang dihuni bidan Nurzah Akmalia bersama keluarganya, misalnya, tampak reyot. Ruang praktik bersalin berukuran 4 meter persegi dipakai bergantian dengan suaminya yang jadi mantri desa.

Selain fasilitas fisik terbatas, para bidan desa juga memikul tanggung jawab terhadap masalah angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Bidan Leni Martini yang bertugas di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Garut, mengaku sangat sedih tatkala ada seorang ibu di desa itu meninggal dunia dalam proses persalinan yang ditangani paraji (dukun beranak).

Sulitnya mengubah perilaku kesehatan masyarakat dirasakan para bidan desa terutama yang bertugas di daerah terpencil. Meski demikian, di tengah medan yang sulit, para perempuan perkasa itu tetap mengabdikan diri demi meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak balita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar