Kamis, 19 Juni 2008

Pulau Terluar

Menggantungkan Hidup ke Negeri Jiran

Kompas/BM Lukita Grahadyarini / Kompas Images Ramli (49), nelayan Desa Tanjung Karang, Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, mengeringkan teri yang diasinkan. Teri itu dijual seharga 7 ringgit ke Tawau, wilayah perbatasan di Malaysia. Belum tersentuhnya pembangunan di Sebatik menyebabkan perekonomian penduduk di wilayah itu selama puluhan tahun bergantung pada negeri jiran.


Kamis, 19 Juni 2008 03:00 WIB
BM Lukita Grahadyarini

Siang itu, Ramli (49), nelayan dari Desa Tanjung Karang, Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, menjemur ikan teri yang sudah diasinkan di pekarangan rumahnya. Ikan teri itu akan dijual ke pedagang di Tawau, Sabah, Malaysia, seharga 7 ringgit per kilogram atau setara dengan Rp 19.600 per kilogram.

Kami sudah terbiasa menjual semua hasil tangkapan ke Malaysia. Di sini tak ada usaha yang mampu mengelola hasil tangkapan kami,” kata Ramli.
Perekonomian masyarakat di Pulau Sebatik, pulau terluar Indonesia yang terletak di belahan utara Kalimantan Timur, sangat bergantung pada Malaysia.

Hampir semua komoditas yang dihasilkan Sebatik dijual ke negeri jiran itu. Masyarakat Sebatik pun membeli aneka kebutuhan sehari-hari dari Tawau. Mata uang Malaysia, ringgit, pun menjadi mata uang untuk transaksi sehari-hari masyarakat Sebatik selain rupiah.
Perjalanan dari Sebatik ke Tawau dengan perahu motor hanya butuh waktu 15 menit. Sementara untuk menuju wilayah Indonesia terdekat, yaitu Pulau Nunukan di Kaltim harus ditempuh 1,5 jam dengan perahu cepat bermesin.

Sebagai gerbang terluar wilayah Indonesia, Pulau Sebatik tak hanya ”terisolasi”, tetapi juga tak tersentuh ”tangan” program pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah Negara Kesatuan RI. Jangankan bandar udara atau pusat perbelanjaan, rumah sakit saja tak ada.

Penduduk Sebatik pun harus rela mendapat pemadaman listrik secara bergilir. Listrik hanya bisa dinikmati hanya tiap dua hari sekali. Setiap senja menjelang, lampu di daratan Sebatik hanya berpendar remang-remang. Padahal, di seberang pulau itu, yakni di Tawau, suasananya bermandikan cahaya dengan deretan gedung menjulang. Semua itu dengan jelas dapat dilihat oleh rakyat Sebatik.

Bukan hanya listrik yang terbatas, jaringan air bersih pun tak ada. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat mengandalkan hujan. Jalan pun rusak parah. Jalan tanah yang ada di pulau itu pada musim hujan hampir mustahil dilalui.

Camat Sebatik Asmar menuturkan, jalan utama yang menghubungkan Sungai Nyamuk- Mentikas sepanjang 10 kilometer rusak. Padahal, jika kondisi jalan itu baik, transportasi dari Sungai Nyamuk ke Nunukan hanya butuh 45 menit. Itu akan mendorong orientasi aktivitas ekonomi masyarakat Sebatik beralih dari Tawau ke Nunukan.

Harga tergantung cukong
Pulau Sebatik yang luasnya 24.000 hektar terdiri atas dua kecamatan, yaitu Sebatik dan Sebatik Barat. Kecamatan Sebatik meliputi empat desa, yaitu Desa Sungai Nyamuk, Tanjung Aru, Tanjung Karang, dan Pancang. Kecamatan Sebatik Barat juga terdiri atas empat desa, yakni Desa Aji Kuning, Setabu, Binalawan, dan Liang Bunyu.
Penduduk Sebatik berjumlah 31.000 jiwa. Sekitar 40 persen kepala keluarga di pulau itu nelayan dan sisanya petani.

Bagi masyarakat Sebatik, Malaysia bukan hanya tempat menjual dan membeli kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk mendapatkan modal. Sebagian modal melaut para nelayan Sebatik berasal dari cukong-cukong asal Tawau. Itu membuat harga jual hasil tangkapan nelayan Sebatik mudah dikendalikan oleh cukong dari Malaysia.

Menurut Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad, selama Sebatik masih menjadi ”anak tiri” NKRI, hal itu tetap akan terjadi.
Pulau terluar ini seharusnya menjadi ”gerbang terdepan” dan strategis negara. Namun, kenyataannya, daerah ini justru menjadi daerah terbelakang yang nyaris tidak tersentuh pembangunan.

Minimnya infrastruktur membuat investor enggan datang. Sejumlah investor asing yang menawarkan modal ke Sebatik urung masuk karena persoalan listrik dan jalan. Akibatnya, industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan pun hingga kini belum terbangun.
Di sisi lain, Pemerintah Malaysia terus menggenjot pembangunan di wilayah-wilayah perbatasannya. Malaysia membangun berbagai sarana dan prasarana mulai dari pusat niaga, industri pengolahan cokelat dan sawit, pabrik es, industri pengolahan ikan, rumah sakit, hingga tempat hiburan.

Pengaruh perekonomian Malaysia tak hanya dijumpai di Sebatik, tetapi juga di Nunukan, bahkan hingga ke Kota Tarakan. Sejumlah produk asal Malaysia marak diperdagangkan dan ringgit menjadi alat tukar kedua di daerah-daerah itu.
Penduduk Nunukan dan Tarakan kerap kali menghabiskan uang untuk pelesir ke negeri tetangga. Waktu tempuh Tarakan- Tawau hanya 2,5 jam dan Nunukan-Tawau sekitar 1 jam dengan perahu cepat.

Aturan melintasi perbatasan pun relatif longgar. Warga negara Indonesia yang tak memiliki paspor cukup mengurus buku pass lintas batas (PSB) untuk kunjungan sementara ke Tawau. Arus kunjungan dari Nunukan ke Tawau 2.000 per hari. Bahkan, banyak orang dari Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi memanfaatkan kemudahan jalur ini untuk mencari peruntungan sebagai pekerja harian di negeri seberang.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Maarif, dalam kunjungan ke Sebatik, mengakui, ketergantungan ekonomi terhadap negara lain adalah persoalan utama di wilayah perbatasan. Saat ini terdapat 92 pulau terluar yang menjadi prioritas perhatian pemerintah.
Ketergantungan itu, kata Syamsul, sangat merugikan karena Indonesia kehilangan peluang ekonomi yang sangat besar. Posisi Indonesia pun menjadi semakin lemah dalam perdagangan di tingkat regional.

Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir DKP Sudirman Saad menambahkan, Indonesia tidak memetik pemasukan pajak yang signifikan dari ekspor komoditas ke Malaysia. Retribusi yang ditetapkan hanya Rp 200 per kg untuk setiap komoditas.

Selain itu, bisnis ilegal terkait kejahatan kejahatan transnasional pun rawan terjadi di pulau- pulau terluar itu, antara lain perdagangan perempuan, prostitusi, pencurian ikan, penyelundupan kayu, dan pengerahan buruh migran tak berdokumen.
Semua persoalan itu tidak hanya cukup diwacanakan, tetapi harus ditindaklanjuti dengan kerja nyata, yakni dengan membangun sejumlah sarana untuk mengimbangi pembangunan yang dilakukan negara tetangga.

Masyarakat Sebatik kini butuh ketersediaan listrik yang memadai dan kontinu. Mereka butuh jalan, air bersih, rumah sakit, pelabuhan, pabrik es, dan industri pengolahan. Jika semua dipenuhi, mustahil mereka ”menengok” negeri jiran.

”Untuk itu diperlukan komitmen bersama dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah,” kata Syamsul.

Ramli pun sadar, ia dan masyarakat Sebatik sepatutnya tak menyandarkan penghidupan mereka di tangan bangsa lain. Namun, apa daya kenyataannya ia hanya bisa berangan-angan, kapan pemerintah lebih memikirkan keberadaan rakyatnya yang nun jauh di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar