TULISAN Hermawan Aksan dalam rubrik Wisata Bahasa mempertanyakan bentuk beberapa kata yang selama ini simpang siur. Di luar masalah baku atau tidak baku, bentuk-bentuk tersebut sebenarnya masing-masing dapat ditelusuri asal-usulnya. Terutama menyangkut alih-eja, harus diakui ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih dalam sebelum ditetapkan sebagai pedoman pembakuan.
"Artefak vs artifak"
Kamus-kamus bahasa Inggris pada umumnya menganggap bentuk artifact sebagai bentuk baku sehingga apabila kata ini dialihejaankan menjadi kata Indonesia, bentuk yang tepat adalah artifak.
"Debetor vs debitor vs debitur"
Ini juga soal alih-eja saja. Mereka yang mengatakan bentuk debetor atau debitor baku mungkin berpatokan pada bahasa Inggris, sedangkan orang yang menyatakan bentuk debitur baku barangkali berpedomankan bahasa Belanda. Kata-kata yang beralih-eja dari bahasa Belanda dan berakhiran "-ur" serta telah cukup lama dikenal sebaiknya dibiarkan dan diterima saja (direktur, inspektur, kondektur), sedangkan alih-eja terhadap kata-kata serapan baru ada baiknya berpedomankan bahasa Inggris. Bahasa Inggris memang mengenal kata debit sebagai istilah akuntansi dan sudah diindonesiakan menjadi debit, tetapi tidak mengenal kata debitor sebagai turunannya. Selain itu, dalam bahasa Inggris juga ada kata debt yang telah diindonesiakan menjadi debet. Kata Inggris debt, jika dipersonifikasikan akan menjadi debtor.
Kita tidak dapat menggunakan "-or" seolah-olah sebagai akhiran bahasa Indonesia untuk mengimbuhi kata debet atau debit guna membentuk kata debetor atau debitor. Sebenarnya bentuk yang harus dipilih adalah bentuk yang merupakan alih-eja langsung. Namun khusus dalam kasus ini, kebetulan kata debet atau debit memiliki pasangan yang sudah diindonesiakan pula yaitu kredit (dari credit, Inggris). Dari kata credit diturunkan kata creditor dan dialihejaankan menjadi kreditor. Maka, pasangan yang kira-kira paling tepat bagi kreditor adalah debitor.
"Lohor vs zuhur"
Karena berasal dari bahasa Arab, alih-eja yang tepat sebaiknya berpedomankan pada bahasa asalnya juga. Masalahnya huruf Arab bukan huruf Latin sehingga ada kalanya tidak dapat dihasilkan alih-eja yang disepakati semua pihak. Maka, bentuk baik lohor maupun zuhur, keduanya dapat diterima sebagai kata-kata bersinonim.
"Frasa vs frase"
Karena kebutuhan, bentuk frasa sebagai padanan phrase (bahasa Inggris) sudah lama dipakai. Mengapa bentuk frasa yang dipilih alih-alih frase? Sebab dalam bahasa Melayu, induk bahasa Indonesia, tidak dikenal kata yang berakhir dengan huruf, vokal, atau fonem "-e". Pada waktu itu kata metoda dianggap baku, bukan metode. Zaman berganti, akhirnya kita menerima keberadaan "-e" pada akhir sebuah kata Indonesia dan menyambut pula kehadiran gugus konsonan (pr-, str-, tr-) pada awal kata. Kiranya baik frasa maupun frase dapat diterima. Kalau mesti hanya satu yang diacu sebagai bentuk baku, terpaksa kita memilih sesuai kemutakhiran zaman, frase.
"Paro vs paruh"
Sejak lama bentuk (tulis) yang baku adalah paruh. Mengapa bentuk "paro" muncul? Karena dalam bahasa lisan kata paruh sering terdengar diucapkan "paro".
"Intermeso vs intermezo"
Bahasa Indonesia mengenal fonem, konsonan, dan huruf "z" sehingga intermezzo seyogianya dialihejaankan menjadi intermezo.
"Kapling vs kaveling vs kavling"
Kata ini berasal dari bahasa Belanda, artinya tanah yang sudah disiapkan dan dibersihkan, lalu dibagi-bagi menjadi luas tertentu untuk dibangun rumah di atasnya. Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia susunan J. S. Badudu menyajikan bentuk kapling. Kiranya bentuk ini dapat diacu sebagai bentuk baku. ***
Lie Charlie
Sarjana tata bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar