Prof. DR. Ir. Ginandjar Kartasasmita
GLOBAL competitiveness menuntut penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Kemajuan suatu negara dapat diukur dari tingkat pendidikan masyarakatnya. Peran guru sangat strategis dalam proses pendidikan yang berorientasi pada mutu. Adagium yang menyatakan "tidak ada kurikulum yang baik atau buruk, yang ada hanya guru yang kompeten dan tidak", masih tetap relevan.
Gerakan reformasi di Indonesia, secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan (Pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Demokratisasi pendidikan hampir muskil terbentuk, bila perlakuan terhadap guru belum sepadan. Kehadiran Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, merupakan harapan memperoleh keadilan berprofesi. Tujuan sertifikasi pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, kebijakan tersebut diharapkan dapat direalisasikan sebagaimana tertuang dalam dokumen tertulis. Tidak perlu ada keraguan atau kepura-puraan dalam menjalankan kebijakan ini.
Ada baiknya kita belajar dari pengalaman negara lain. Amerika Serikat melakukan reformasi pendidikan, didasari oleh laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards (Dewan Nasional Standar Pengajaran Profesional) pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001. Mereka membuat dokumen perundang-undangan dan melaksanakan secara konsisten.
Peran daerah
Sentralisasi yang terjadi di masa lalu berakibat pada berbagai segi kehidupan, tak terkecuali pada bidang pendidikan. Perubahan UUD 1945 khususnya pasal 18, 18A, dan 18B yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; merupakan pijakan kuat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memerhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
UU Sistem Pendidikan Nasional memberikan dukungan yang tegas dan jelas, dalam penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pendidikan. Otonomi daerah membawa konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah, bersama-sama wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya wajib belajar 9 tahun. Kontitusi mengatur secara tegas anggaran pendidikan, di negara lain hampir tidak ada, ditetapkan minimal 20% dari APBN maupun APBD di luar gaji. Di mana dalam pengelolaannya harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini, pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Lantas, bagaimana posisi guru dalam kerangka otonomi pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan, dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan, dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2).
Undang-undang Guru dan Dosen, serta peraturan pemerintah khususnya tentang guru, mengatur bagaimana profesi guru ini menjadi profesi yang bermartabat. Namun, pengklasifikasian guru dan dosen, yang mendikotomikan guru PNS dan non-PNS memberi ruang yang kurang sehat. Masyarakat sebagai stakeholder perlu dilibatkan dalam mengeliminasi dampak buruk dari hal itu, sekaligus terlibat dalam peningkatan kualitas pendidikan secara umum.
Sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hakikat desentralisasi berupa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah merupakan keniscayaan. Sisi moralnya ialah "orang daerah"-lah yang lebih tahu permasalahan mereka sendiri.
Sayangnya, harapan dan kenyataan tidak selalu berjalan beriringan. Penafsiran yang sempit akan makna otonomi telah melahirkan jalan panjang dan berliku untuk mewujudkan desentralisasi yang hakiki. Rentang kendali birokrasi bukannya makin sederhana, tetapi malah tambah rumit.
Pembayaran gaji dan honor kelebihan jam mengajar, sering terlambat dari jadwal karena anggarannya tersangkut pada meja-meja birokrasi di daerah. Maka, kerap menjadi masalah bagi sebagian besar guru terutama yang ditugaskan di daerah terpencil.
Makna pelimpahan kewenangan mencakup kesatuan hukum, terdiri dari pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat setempat. Dilihat dari jenisnya, kewenangan yang dilimpahkan mencakup kewenangan pengaturan, pengurusan, pembinaan, serta pengawasan.
Disparitas kebijakan serta minimnya alokasi anggaran pendidikan di daerah kerap menjadi konflik sosial di masyarakat. Sangat wajar bila reformasi pendidikan melalui otonomi daerah belum memperlihatkan hasil sepadan kepada daya saing bangsa. Berdasarkan laporan UNESCO, yang dirilis akhir tahun 2007, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari peringkat 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia hanya 0,935 di bawah negeri jiran Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965). Human development index (HDI) menyebutkan bahwa Indonesia saat ini berada masih pada posisi 110 dari 175 negara.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sudah sejak lama, dalam kaitannya dengan nasib guru, menegaskan, antara lain, pertama, mendukung upaya pemerintah dalam program peningkatan kualifikasi pendidik dan program sertifikasi profesi pendidik dengan memberikan kemudahan pelaksanaan bagi para pendidik dengan mempertimbangkan berbagai aspek kondisi guru tanpa mengurangi mutu akademis dan melibatkan LPTK, yang memenuhi persyaratan baik negeri maupun swasta.
Kedua, mendukung dan mengimbau perwujudan hak-hak guru sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen. DPD RI sangat mendukung perjuangan para guru selama ini. Terutama terkait kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan dalam mengajar serta mendesak pemerintah untuk memerhatikan dan mempertimbangkan usia, masa kerja, kepangkatan bagi guru yang belum memiliki pendidikan akademik S-1/D-4.
Ketiga, mendukung kebijakan Depdiknas dalam sharing dana antarpemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dengan melakukan pengawasan sebaik-baiknya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus menjamin penyelenggaraan wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar yang bermutu dan tanpa memungut biaya.
Keempat, percepatan pengangkatan guru bantu dan guru honorer lainnya menjadi pegawai negeri sipil.
Untuk itulah melalui amendemen Pasal 22D UUD 1945, dengan dukungan para guru dan masyarakat, diharapkan DPD RI dapat mengantarkan perjuangan itu secara optimal. Oleh karena kewenangan yang dimiliki sekarang terbatas, maka perjuangan DPD RI hanya terbatas sampai pada awal pembicaraan tingkat pertama di DPR. Selanjutnya, apakah oleh DPR ditindaklanjuti atau dibiarkan, DPD tidak dapat mengawalnya.
Pendidikan merupakan salah satu solusi yang mempunyai kedudukan signifikan dalam ikut serta memecahkan persoalan bangsa, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitan ini, pendidikan dapat menjadi solusi yang signifikan, apabila dalam pelaksanaannya mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang berkompeten dan ditunjang pula dengan pengelolaan serta manajemen yang profesional, serta ditunjang dengan kemauan dan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkompeten dalam upaya peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan.***
Penulis, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Terima kasih atas infonya,,salam kenal aja
BalasHapus