Kekeringan
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO / Kompas Images
Beberapa telaga yang menjadi tumpuan masyarakat Gunung Kidul, DI Yogyakarta, untuk memenuhi kebutuhan air mulai surut, seperti tampak di Telaga Pampon, Desa Giriasih, Kamis (5/6). Air di telaga digunakan untuk mandi, cuci, kakus, dan minum ternak. Untuk air minum, warga membeli air bersih dari truk tangki.
Beberapa telaga yang menjadi tumpuan masyarakat Gunung Kidul, DI Yogyakarta, untuk memenuhi kebutuhan air mulai surut, seperti tampak di Telaga Pampon, Desa Giriasih, Kamis (5/6). Air di telaga digunakan untuk mandi, cuci, kakus, dan minum ternak. Untuk air minum, warga membeli air bersih dari truk tangki.
Jumat, 6 Juni 2008 | 03:00 WIB
Wonosari, Kompas - Sebanyak 48.000 keluarga di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, hingga kini masih kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka tetap harus membeli air bersih dari tangki-tangki air.
Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul saat ini telah mempersiapkan pengiriman air gratis yang mulai dilaksanakan pada pertengahan Juni. ”Kami berharap pada 2010 bencana kekeringan di Gunung Kidul bisa diatasi di tingkat regional dan tak lagi menjadi perhatian secara nasional,” ujar Bupati Gunung Kidul Suharto, Kamis (5/6) di sela peresmian instalasi air dari PT Angkasa Pura I di Patuk.
Tahun ini distribusi air bertambah dari tujuh kecamatan menjadi sembilan kecamatan. Apalagi banyak mata air di dua kecamatan di Gunung Kidul, yaitu Kecamatan Gedangsari dan Patuk, tak lagi mengalir sepanjang tahun akibat bencana gempa dua tahun lalu. ”Ketersediaan air pada musim kemarau masih menjadi masalah utama di Gunung Kidul,” tutur Suharto.
Melalui program bina lingkungan, PT Angkasa Pura I membantu warga Desa Ngalang, Gedangsari, dan Desa Nglegi dengan membangun instalasi air bersih. Instalasi itu mampu memenuhi kebutuhan air bagi 121 keluarga. ”Kami akan terus mencoba membantu masyarakat mengatasi kekeringan,” kata Direktur Utama PT Angkasa Pura I Bambang Darwoto.
Wito Taruno (70), warga Desa Ngalang, mengaku mulai sulit memperoleh air pascagempa. Terletak di ketinggian lebih dari 400 meter, tidak ada mobil tangki yang berjualan air ke daerah itu. Warga harus berjalan kaki satu kilometer untuk mengambil air di sungai, setelah tiga mata air di desa tersebut tak lagi mengalir.
Kekeringan juga mendorong petani di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, menanam palawija. Endang, petani di Cihampelas, Bandung Barat, misalnya, terpaksa menanam kacang. Hal itu dilakukan karena sawahnya adalah sawah tadah hujan yang airnya tidak terjamin. (wkm/che)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar