Rabu, 04 Juni 2008

Tayangan Televisi Bermasalah Bisa Dipidanakan

JAKARTA, RABU- Program-program tayangan televisi nasional Indonesia jika tidak diawasi secara seksama, bisa merusak perilaku dan daya juang anak-anak. Sebab, banyak tayangan yang tidak mendidik, memberikan contoh yang tidak baik dan tidak benar, serta merusak nilai-nilai dan tatanan budaya yang berlaku di masyarakat. Dengan alasan kondisi pasar dan rating, produser atau pengelola stasiun televisi tersebut, hati nuraninya bisa dipertanyakan.

Demikian dikemukakan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ilza Mahyuni dan Pemerhati Masalah Sosial Rozalina, Rabu (4/6) yang dihubungi secara terpisah di Jakarta. Ia dimintai tanggapannya sehubungan hasil kajian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) khusus tayangan anak. Di mana hampir seluruh tayangan anak di televisi nasional Indonesia bermasalah (Kompas, Rabu, 4/6).

Ilza mengatakan, pada tayangan sinetron, umumnya jam tayang tidak tepat, karena tayang pada saat anak-anak seharusnya belajar. Kalau saat itu ada orangtua, mungkin anak-anak bisa diberi pengertian. Namun, kebanyakan anak-anak yang seharusnya belajar di rumah, menghabiskan waktu menonton sinetron. "Kalau pun sinetron itu diuntukkan buat anak-anak, unsur pendidikannya juga kurang bahkan tidak ada. Tak ada nilai-nilai yang membuat anak kritis, harus bekerja keras, dan menghargai sesama. Yang sering dimunculkan masalah perkelahian, percintaan sampai ciuman segala, padahal pemerannya masih anak-anak di bawah umur. Tak jarang mengeluarkan kata-kata kasar dan merendahkan martabat orang lain," ungkap Ilza, yang 9 Juni mendatang akan dikukuhkan menjadi guru besar di UNJ.

Hampir senada dengan Ilza, Rozalina mengatakan, agar tidak terjadi salah tonton, mestinya pihak stasiun televisi memberi penjelasan atau klasifikasi tayangan, apakah anak-anak, dewasa, atau segala umur. "Terlepas ada-tidaknya klasifikasi acara itu, kenyataan hampir umumnya tayangan yang katanya untuk anak, menampilkan adegan kekerasan, mengerikan, bahkan membahayakan. Penggunaan kata-kata tidak sopan, tidak menghormati yang tua. Intinya, tayangan tersebut tidak mendidik," kata Rozalina, sarjana pendidikan alumni Universitas Jambi ini.

Baik Ilza Mahyuni maupun Rozalina sangat mencemaskan kondisi ini, karena bisa membentuk generasi muda yang tidak kreatif, bermoral jelek, berprilaku menyimpang, dan tidak punya etika. Karena itu, mereka berharap agar Lembaga Sensor Film melakukan pengakajian suatu program sebelum ditarayangkan. Mana bagian yang harus disensor dan lain sebagainya. Begitu juga Komisi Penyiaran Indonesia agar terus meningkatkan pemantauannya terhadap tayangan dan berani meberikan sanksi keras atau mempidanakan stasiun dengan tayangan bermasalah.

Penjara 5 Tahun, Denda Rp10 Miliar

Koordinator Bidang Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, Yazirwan Uyun, mengatakan, KPI memang sedang mempertimbangkan untuk mempidanakan pengelola stasiun televisi nasional, bila teguran yang sudah diberikan tidak diindahkan. " Sebenarnya tidak hanya KPI, masyarakat luas yang merasa dirugikan atas suatu tayangan bisa mempidanakan, dengan melaporkan ke polisi," tandasnya.

Dalam Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, ada sanksi jika ada pelanggaran terhadap isi siaran/tayangan. KPI selain melakukan teguran tertulis, juga bisa menghentikan mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran. Denda administratif, pembekuan kegiatan siaran lembaga penyiaran untuk waktu tertentu, penolakan untuk perpanjangan izin, dan pencabutan izin penyelenggaraan siaran.

"Stasiun televisi dapat diancam dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar. KPI Pusat sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian RI untuk menefektifkan penegakan hukum pidana di bidang penyiaran. Di samping itu juga menandatangani nota kesepahaman dengan MUI, PBNU, dan Lembaga Sensor Film untuk koordinasi guna memaksimalkan pengawasan terhadap isi siaran televisi," jelas Yazirwan Uyun.

Didampingi Asisten Ahli Hydrian Prillaza, Yazirwan mengatakan, dari penelitian KPI, banyak lembaga penyiaran yang masih mengabaikan UU No.32/2002 dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) Tahun 2007, antara lain mengeksploitasi kekerasan, mistik dan porno, eksploitasi anak, remaja dan wanita. Menyiarkan program-program yang harusnya untuk dewasa, tetapi ditonton anak-anak.

Bahkan, ada stasiun televisi yang tidak mencantumkan klasifikasi acara. Koordinator Bidang Isi Siaran KPI itu menegaskan, walaupun pihaknya sudah memberikan teguran dan teguran itu sudah ditanggapi, bukan berarti KPI tidak memantaunya lagi. KPI akan terus melakukan pemantauan, tidak hanya untuk 13 tayangan yang sebelumnya ditemukan bermasalah, tetapi juga program lain. "Bila tahun 2007 hanya 15 persen tayangan yang dipantau langsung, maka tahun 2008 yang dipantau langsung naik menjadi 20 persen. Idealnya 60 persen dari seluruh tayangan harus dipantau, tapi karena keterbatasan tenaga dan dana KPI hanya mampu memantau 20 persen, " tandasnya.

Karena itu, lanjutnya, peran masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, serta unsur ormas lainnya, sangat diharapkan kepeduliannya untuk memberikan masukan, apresiasi, atau aduan kepada KPI, bisa melalui telepon, pesan pendek (sms), faksimili ke 0216240667 atau melalui surat elektronik (e-mail)/website ke www.kpi.go.id. Pengaduan ke pihak kepolisian untuk mempidanakan stasiun televisi, juga bisa dilakukan langsung oleh kelompok masyarakat.(NAL)

Yurnaldi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar