Kamis, 05 Juni 2008

Bah Omo, Empu Ensambel Gamelan Sunda

Oleh Her Suganda

Berada di tengah perumahan penduduk yang padat selama lebih dari setengah abad, Bah Omo tak beranjak dari kegiatannya di gosali. Selama itu pula tak sedikit sumbangannya pada keberadaan kesenian tradisional, terutama kesenian Sunda. Dari balik bangunan sederhana yang dinamakan gosali, penduduk kota Cimahi itu mencurahkan kepiawaiannya sebagai pembuat ensambel gamelan yang andal.

Gosali dalam bahasa Sunda artinya tempat pandai besi bekerja. Berbeda dari gosali lain, gosali Bah Omo khusus mengerjakan pembuatan perangkat gamelan seperti gong, bonang, saron, dan jenglong. Ia menamakan usahanya Industri Musik Gamelan Bah Omo.

Gosali sebagai tempat pembuatan ensambel gamelan itu umurnya diperkirakan lebih dari 100 tahun. Tetapi, baru beberapa tahun kemudian ditambah dengan nama pemiliknya.

Panggilan Bah Omo untuknya tak hanya karena usia yang sudah lanjut. Panggilan itu merupakan singkatan dari ”abah” yang menandakan ia ”dituakan”. Dalam masyarakat Sunda, istilah itu berarti ayah.

Ayah tujuh anak dari perkawinannya dengan Nyi Sarah (76) itu tergolong langka. Ia menjadi generasi ketiga perajin ensambel gamelan yang dirintis sejak zaman penjajahan Belanda oleh Aki Opong, kakeknya. Namun, seperti para perajin umumnya, setelah Aki Opong meninggal, pekerjaan itu dilanjutkan pamannya, Mang Sastra. Saat itu, Omo muda sudah membantu pekerjaan sang paman. ”Mula-mula hanya jadi kenek,” ujarnya.

Polisi onderneming

Walau tak sempat menyelesaikan pendidikannya di sekolah rakyat (sekolah dasar), Omo muda sebenarnya tak tertarik bekerja di gosali. ”Pekerjaannya berat,” katanya. Apalagi, kerap dia dimarahi Mang Sastra karena dianggap kurang bersungguh-sungguh. Maka, ketika menginjak usia remaja, ia mencoba mencari pengalaman baru.

Omo melamar menjadi polisi onderneming yang ditempatkan di Perkebunan Gunung Kasur, Ujungberung, sebelah timur Kota Bandung. ”Waktu itu zaman riweuh,” kenangnya.

Sebagian Jawa Barat kacau karena gangguan keamanan DI/TII. Tetapi, setelah hampir lima tahun bekerja, tanpa alasan jelas dia memutuskan berhenti. ”Aing jadi pulisi ge teu puguh (Saya jadi polisi juga enggak jelas),” katanya tentang tugasnya sebagai polisi.

Hampir dua tahun sesudah ia tak menjadi polisi onderneming, bayangan kehidupan di gosali muncul. Kisahnya diawali dengan kedatangan seorang kenalan yang membutuhkan lima buah gong. Setelah berbicara dengan kakaknya, Omo menyanggupi. Ia lalu memesan gong kepada seseorang di Ciwaruga, daerah yang saat itu dikenal sebagai pusat penjualan ensambel gamelan.

”Ternyata untungnya lumayan, hampir dua kali lipat,” kenangnya.

Aktivitas gosali yang sempat terhenti setelah pamannya meninggal, sejak 1952 berusaha dia hidupkan dengan bantuan dua pekerja, Aki Omon dan Aki Aid.

Seiring berjalannya waktu, di kalangan penabuh gamelan, selain Abah Sukarna dari Bogor, maka Bah Omo dari Cimahi-lah yang masuk hitungan. Keduanya tak hanya perajin, tetapi empu ensambel gamelan Sunda di Jabar yang semakin langka.

Bah Omo mengerjakan gamelan secara manual. Ia menjadi terbiasa berhadapan dengan bara api yang berasal dari arang kayu. Mula-mula logam yang sudah mencair dituangkannya ke dalam cetakan. Untuk membuat gong dan sejenisnya, bentuk cetakan menyerupai piring sehingga hasilnya berupa logam berbentuk cakram dengan garis tengah 15-20 sentimeter.

Logam itu lalu dibakar di atas bara api dan ditempa beberapa pekerja dengan palu besar. Jika panasnya sudah berkurang, logam kembali dibakar hingga membara, lalu ditempa lagi. Begitu dilakukan berulang kali sampai tercapai bentuk yang diinginkan.

Akan tetapi, membuat instrumen gamelan urusannya tak hanya bentuk dan ukuran, yang lebih penting adalah suara atau bunyinya. ”Orang bilang gampang (membuat gamelan), tapi silakan coba,” kata Bah Omo yang mengandalkan intuisi dalam tugasnya.

Jatuh bangun

Bah Omo menikmati masa keemasan pada 1960-an sampai 1970-an. Ketika itu kesenian Sunda seperti degung dan kliningan berkembang sampai ke pelosok daerah. Bah Omo ikut menikmati kemajuan itu dengan banyaknya pemesan. Ia bahkan kewalahan memenuhi permintaan.

Tetapi, sejalan dengan nasib kesenian tradisional yang terampas kesenian modern, pesanan gamelan yang diterima Bah Omo pun semakin menipis. Keadaan itu diperparah dengan krisis moneter 1998.

”Apalagi sekarang, makin susah,” katanya pendek. Industri kecil ensambel gamelan membutuhkan tembaga dan timah bangka sebagai bahan baku utama. ”Timahnya harus asli bangka, kalau tidak, tak mungkin menyatu,” katanya.

Perbandingan kedua bahan baku itu sebesar 80 persen tembaga dan 20 persen timah bangka. Belakangan, harga bahan baku itu melejit naik.

Untuk mempertahankan usaha, Bah Omo, yang selama empat tahun terakhir memberi kesempatan kepada tiga anak lelakinya, Jaja, Emay, dan Aji, untuk berusaha, lalu memilih barang rongsokan sebagai bahan baku. Harga tembaga Rp 75.000-Rp 80.000 per kilogram terpaksa ia ganti dengan rongsokan perunggu yang dibeli di pasar loak Jatayu atau pedagang rongsokan dari berbagai daerah seharga Rp 40.000 per kg. Bahan yang tak tergantikan adalah timah meski harganya mencapai Rp 280.000 per kg.

Dalam keadaan sulit, tak jarang ia mendaur ulang ensambel gamelan yang sudah jadi. Sebuah gong besar membutuhkan 20 kg bahan baku dan gong kecil 11 kg. Untuk membuat sebuah gong, ia menghabiskan sekitar 2 kuintal arang. ”Yang bagus itu arang kayu jengkol atau arang pohon jambe,” katanya.

Telah lama Bah Omo berharap pemerintah daerah atau dinas terkait yang membina kesenian dan kebudayaan serta industri kecil mau membantu kelangsungan hidup usahanya, terutama dalam hal penyediaan timah dari Bangka. Tetapi, tampaknya harapan itu hanya tinggal harapan sampai di usianya yang sudah lebih dari tiga perempat abad itu.

Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

1 komentar:

  1. mas boleh tau alamat lengkap mbah omo ini, kebetulan saya sedang hunting gamelan sunda. Nuhun

    BalasHapus