Kamis, 05 Juni 2008

BKM (bukan) Jatah Mahasiswa?



"Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan." Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran.
 

DI tengah-tengah aksi mahasiswa yang menuntut pembatalan harga bahan bakar minyak, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengumumkan kebijakan khusus untuk mahasiswa Indonesia. Keputusan ini lahir dari rapat kabinet terbatas yang dipimpinnya pada 27 Mei 2008, tiga hari setelah aparat kepolisian bentrok dengan mahasiswa Universitas Nasional. Bentrokan aparat dengan polisi ini pun terjadi di beberapa kampus lainnya di Jakarta dan Makassar.

Dari rapat itu, pemerintah berniat membagi-bagi uang untuk 400 ribu mahasiswa Indonesia. Bantuan itu hanya untuk mahasiswa miskin yang terdapat di 83 perguruan tinggi negeri dan 2.700 perguruan tinggi swasta di Indonesia. Besarannya adalah Rp 500 ribu per semester. Program ini bernama Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM). Pos dananya diambil dari dana subsidi bahan bakar minyak senilai Rp 200 miliar.

Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, sebagaimana yang ditulis Kantor Berita Antara, berkata,"Untuk yang wajib belajar (sembilan tahun) telah ada BOS, sekolah menengah ada bantuan khusus murid, sedangkan mahasiswa belum ada."

Sontak saja, ragam pendapat pun bermunculan. Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad), Trio Satria menuturkan, meski tidak menampik adanya dugaan upaya pemerintah untuk meredam protes mahasiswa, namun dia mencoba untuk melihat sisi positifnya (Pikiran Rakyat, 31 Mei 2008). Lain lagi dengan Dewi, aktivis dari Front Kebangkitan Rakyat, masih menganggap bahwa hal itu perlu ditolak. Alasannya, pemerintah seperti memberi suap pada mahasiswa. Terlebih hal itu diumumkan pada saat mahasiswa sedang gencar memprotes pemerintah.

Suara menolak juga datang dari organisasi mahasiswa di kampus-kampus seperti Unpad dan UPI. Para aktivis di kampus tersebut menilai pemerintah tidak bijaksana mengeluarkan kebijakan seperti itu. "Pemerintah seperti pedagang. Barang rusak bisa dikembalikan atau diganti kompensasi jika terlalu parah," ujar Presiden Keluarga Mahasiswa Unpad, Gena Bijaksana.

Sebaliknya dengan suara mahasiswa, pengelola perguruan tinggi mengatakan hal itu bukan keputusan luar biasa. Alasan pengelola perguruan tinggi, selama ini perguruan tinggi juga sudah terlibat banyak dalam pengentasan putus kuliah. Program bantuan biaya pendidikan sudah terjadi sepanjang tahun.

Unpad memberi plafon sebanyak 500 pengajuan surat pembebasan biaya SPP tiap semesternya. Pada semester ganjil tahun ajaran 2007/2008 telah diberikan 85 surat pembebasan SPP dan pada semester genap di tahun ajaran yang sama telah dikeluarkan 76 surat. Di ITB, ada 5911 penerima beasiswa. Lebih dari separonya diberikan untuk mahasiswa dengan kriteria indeks prestasi di atas 2,5 dan orang tua memiliki pendapatan di bawah upah minimum. Standar upah minimum yang dipakai bergantung pada asal propinsi mahasiswa.

Sedangkan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), pada periode 2007/2008, terdapat 1036 mahasiswa tingkat sarjana yang mengajukan perpanjangan beasiswa. Seribu mahasiswa mengajukan untuk beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) dan 8 orang mengajukan untuk beasiswa Peningkatan Prestasi Ekstrakurikuler (PPE). Sisanya dari lembaga swasta.

Di perguruan tinggi swasta sudah 8.050 mahasiswa tingkat sarjana yang diberi beasiswa dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti). Menurut data Koperti wilayah IV Jawa Barat-Banten, mahasiswa yang menerima berada dalam kategori berprestasi dan dari keluarga kurang mampu. "Pemerintah sudah berkewajiban memerhatikan pendidikan. Seharusnya disebut saja beasiswa untuk mahasiswa. Tentukan kategorinya dan bagaimana caranya," ujar Wakil Rektor Bagian Kemahasiswaan dan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Widyo Nugroho Sulasdi. Pendapat bernada mirip dilontarkan pula pejabat dari Unpad dan UPI.

Menurut Widyo, jika pemerintah memang berniat memberi bantuan pada pendidikan seharusnya sudah ada tata kelola yang jelas. Dan, pemerintah memprioritaskan pada perguruan tinggi yang sulit mengakases dana-dana masyarakat. Ia memberi contoh, perguruan-perguruan tinggi yang ada di daerah. "Di daerah pelosok, masyarakat paling terkena imbasnya," tambahnya.

Muncul di tengah riak demonstrasi mahasiswa pembatalan kenaikan bahan bakar minyak, pemerintah dinilai terburu-buru dan buruk menjalankan komunikasi politiknya. Dengan alasan itu, kalangan aktivis menilai keputusan itu hanya untuk meredam aksi-aksi mahasiswa. "Pemerintah bahkan belum mengerti tata kelolanya. Jumlah mereka yang tidak mampu pun tidak diketahui. Ini keputusan terburu-buru," ujar Ketua Pedoman Indonesia, Fadjroel Rahman.

Selain itu, situasi saat ini, Fadjroel yang merupakan aktivis mahasiswa 1980-an menilai mereka yang berkuliah adalah anak-anak dari kelas menengah. Kalangan yang rela merogoh kantong untuk konsumsi pendidikan. Sebagaimana diketahui harga pendidikan terus naik akibat lepasnya tanggung jawab pemerintah. Karena analisa itu pula, ia mengatakan, seharusnya pemerintah mengalihkan dana bantuan itu pada pos lain yang lebih jelas.

Tanggung jawab pemerintah

Galih, mahasiswa Fakultas Sastra angkatan 2002, bisa jadi menjadi salah satu penerima bantuan atau beasiswa. Namun, ia keburu keluar dari kampus karena sudah tidak ada biaya kuliah lantaran ekonomi keluarga. Ia pun gagal mendapatkan beasiswa yang ada di kampusnya.

Contoh seperti ini bukan hanya satu tapi terus bertambah karena persoalan biaya. Namun, persoalan tidak selesai hanya dengan penyelesaian jangka pendek. Sudah 8 tahun pemerintah tidak peduli pada pendidikan tinggi di Indonesia. Pendidikan tinggi dinyatakan sebagai lembaga otonom sejak tahun 2000. Hal itu terjadi sejak keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/1999 yang mengharuskan PTN menjalankan praktik otonomi, lepas dari berbagai ketergantungan dari pemerintah.

Indonesia telanjur sudah ikut-ikutan di World Trade Organization (WTO). Indonesia sepakat bahwa pendidikan adalah salah satu sektor industri tersier. Sesuai kesepakatan dalam General Agreement on Trade in Services (GATS), sektor pendidikan harus diliberalisasi. Intervensi pemerintah harus dihilangkan.

Lepas dari ketergantungan berarti pemerintah secara bertahap akan mengurangi biaya pendidikan bagi perguruan tinggi. Dengan begitu, perguruan tinggi lantas mencari dana sendiri untuk pendidikan. Nilai lembaga pendidikan pun seperti harga kebutuhan pokok. Makin melonjak saat banyak yang membutuhkannya. Imbasnya lagi, mereka yang sanggup menyentuh insititusi ini makin terseleksi hanya pada kelompok menengah ke atas. "Bukan mahasiswanya yang miskin, tetapi banyak keluarga yang miskin. Mahasiswa belum bisa disebut miskin karena mereka belum berpenghasilan," ujar pengamat pendidikan, Darmaningtyas.

Pengelola Perguruan Taman Siswa ini mengatakan di negeri yang sangat kapitalis seperti Amerika Serikat, orang tua diberi kesempatan menyekolahkan gratis anaknya dari dasar sampai menengah. Ditambah buku-buku dan alat-alat pelajaran secara Cuma-Cuma dari negara. Hal yang tidak berbeda diterapkan pula di negara-negara Eropa Barat.

Mengutip tulisan Fadjroel, kapitalisme sudah mengenal santunan untuk orang miskin lewat program jaminan sosial. Di negara-negara penganut sistem negara kesejahteraan, seperti di Eropa Barat dan di Skandinavia seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia, semua barang publik menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, apa pun tingkat sosialnya.

Oleh karena itu, pemerintah tidak perlu repot-repot beragurmentasi tentang bantuan khusus. Sebab, pendidikan memang tanggung jawabnya dan bukan karena masalah kenaikan harga minyak. "BKM haram karena diambil dari uang rakyat. Jadi mahasiswa seharusnya tidak mengambil jatah itu," ucap Fadjroel menegaskan. ***

agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar