Rabu, 04 Juni 2008

Kekerasan Agama di Indonesia akan Terus Terjadi Jika Pemerintah Lemah

Brisbane-RoL-- Kekerasan agama seperti dalam insiden 1 Juni 2008 di Jakarta akan kembali terjadi di Indonesia kalau pemerintah tidak menindak tegas para pelaku dan cenderung menganggap isu ini sebagai masalah internal agama Islam, kata Direktur Eksekutif Pusat Muslim Moderat (CMM), Muhammad Hilali Basya.

"Selama pemerintah tidak tegas terhadap para pelaku kekerasan agama dan menganggapnya sebagai masalah internal agama yang membuat pemerintah bimbang, kondisi ini akan berpengaruh pada meningkatnya kekerasan di masyarakat," katanya kepada Antara yang menghubunginya dari Brisbane, Selasa malam.

Saat dihubungi Hilali sedang berada di Canberra untuk mengikuti Program Pertukaran Pemimpim Muda Muslim Australia-Indonesia (AIME) Gelombang III bersama Kepala SMA Pondok Pesantren Modern Assalaam Solo, Bambang Arif Rahman, dan Dosen Universitas Jambi/IAIN Sultan Thaha, Mohamad Rapik.

Menurut Hilali, aksi kekerasan yang terjadi pada 1 Juni lalu itu telah menimbulkan kekerasan-kekerasan baru di masyarakat.
Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya melihat insiden ini sebagai kriminalitas, sedangkan para pemimpin agama melihatnya sebagai kesenjangan paham antara dua kelompok yang harus dijembatani oleh ormas-ormas (organisasi kemasyarakatan) agama, seperti NU dan Muhammadiyah, dengan dialog-dialog konstruktif, katanya.

Seharusnya pemerintah sudah sejak awal bisa memprediksi potensi terjadinya aksi-aksi kekerasan menyusul keluarnya rekomendasi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Kejaksaan Agung (Bakor Pakem Kejagung) bahwa aliran Ahmadiyah sebagai aliran sesat 16 April lalu.

Aksi kekerasan sekelompok orang yang beratribut Front Pembela Islam (FPI) terhadap sejumlah anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di kawasan Monas Jakarta 1 Juni lalu menunjukkan adanya kesenjangan paham keIslaman dalam kelompok Muslim garis keras.

"Sebetulnya hal inilah yang menjadi persoalan utama. Bahwa 'civil society' (masyarakat madani) di Indonesia pun kurang berkontribusi dalam melakukan dialog-dialog antarkelompok yang punya potensi terlibat dalam konflik," kata dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.

Beda Penafsiran
Dari sejak awal, beberapa tokoh Islam sudah menyatakan bahwa mereka tidak setuju dengan Ahmadiyah. Kekerasan agama yang terjadi dalam kasus Ahmadiyah ini pun lebih dipengaruhi oleh perbedaan penafsiran keagamaan FPI, katanya.

Insiden kekerasan 1 Juni lalu itu juga menunjukkan disfungsi negara dalam memberikan keamanan bagi para warga negaranya padahal pemerintah adalah pihak yang paling memiliki otoritas untuk meredam aksi kekerasan.

"Persoalan Ahmadiyah ini adalah tantangan bagi ulama dan 'civil society' karena ternyata kita gagal dalam membangun sikap saling memahami antara kelompok-kelompok yang berbeda," kata anggota Jaringan Intelektual Muhammadiyah ini.

Aksi kekerasan FPI dan ancaman mereka untuk memerangi para pengikut Ahmadiyah mendapat sorotan media Australia.
Insiden yang menyebabkan sedikitnya 12 orang peserta AKKBB terluka, termasuk Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) Syafii Anwar, Direktur Eksekutif The Wahid Institute Achmad Suaedi, dan pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan KH Maman Imanul Haq Faqih itu juga mengundang kecaman Pemerintah Amerika Serikat (AS).

Dalam pernyataan persnya (2/6), Kedubes AS di Jakarta menyebutkan, tindak kekerasan seperti yang dilakukan FPI ini akan berdampak serius terhadap kebebasan beragama dan berkumpul di Indonesia dan akan menimbulkan masalah keamanan. Aparat Polri sudah memeriksa 58 orang anggota FPI terkait dengan insiden 1 Juni tersebut. antara/mim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar