Rabu, 04 Juni 2008

Merenda Kasih untuk Anak Autis

Oleh ARNI WAHYUNI

Mengapa anak saya tidak tumbuh seperti anak-anak kebanyakan lainnya. Saya lelah, kadang-kadang putus asa." Keluhan ini dilontarkan seorang ibu yang memiliki anak autis.

BEBERAPA orang tua justru merasa bersalah dengan kondisi anaknya yang autis, karena mereka merasa tidak mampu berinteraksi dengan anaknya. Dokter H. Purboyo S, Sp.A.K. dari Our Dream mengakui, penyebab autis hingga saat ini belum diketahui. Tetapi besar kemungkinan karena kelainan genetis yang melibatkan banyak gen dan sangat kompleks.

Penderita autis memiliki kesulitan mengatur diri sendiri. Seorang pelajar autis mungkin bisa menjelaskan karakteristik setiap planet yang diamatinya melalui tayangan layar televisi, namun selalu lupa membawa alat-alat tulis keperluannya ke sekolah. Murid-murid seperti ini bisa jadi seorang yang bersih dan rapi, atau justru sebaliknya bisa jadi paling jorok dan kotor. Orang tua hendaknya tidak memaksakan kehendak pada mereka. Mereka tidak mampu mengatur diri sendiri tanpa pelatihan yang spesifik. Penderita autis memerlukan pelatihan kemampuan mengatur dengan menggunakan langkah-langkah kecil yang spesifik agar dapat berinteraksi sosial.

Penderita autis akhirnya memperoleh kemampuan abstrak, namun ada juga yang tidak. Pertanyaan "Mengapa kamu tidak mau makan?" tampaknya tidak sesuai ditanyakan ketika menghadapi anak yang tidak mau makan. Dengan anak autis hendaknya dihindari pertanyaan yang mengundang perdebatan. Sebaiknya kita mengatakan, "saya tidak suka, jika kamu tidak makan. Ayo makan sekarang. Jika kamu butuh bantuan, saya akan menolongmu, tapi saya tidak akan menyuapimu." Hindari pertanyaan yang panjang lebar. Kita harus sekonkret mungkin dalam berinteraksi dengan mereka.

Perilaku mereka yang berbeda tidak perlu diambil hati. Justru harus dijadikan tantangan untuk meraih sebuah nilai juang. Penderita autis sebaiknya tidak dianggap sebagai seorang yang selalu berperilaku menyimpang. Sekalipun anak-anak autis kadang-kadang memperlihatkan perilaku menyimpang atau membangkang, sikap tersebut diperlihatkan ketika kehilangan kendali. Ini menandakan sesuatu atau seseorang di sekitarnya membuatnya merasa terganggu.

Autisme sebagaimana dituliskan di atas, tidak begitu dipahami atau diketahui dengan baik. Ini masih merupakan masalah yang membingungkan bagi orang tua, guru, dan mereka yang berkerja mengobservasi anak-anak seperti ini.

Model interaksi ibu dan anak yang diperkenalkan Bromwich (1981) menekankan betapa pentingnya keterampilan ibu untuk memunculkan interaksi positif antara ibu dan anak. Penanganan akan optimal apabila di antara ibu dan anak terjalin kelekatan (attachment) yang disertai dengan rasa aman. Dalam kondisi tersebut, anak akan lebih berani menjelajahi lingkungannya sekaligus memperoleh pengalaman yang lebih kaya. Sebagai orang tua, ibu dituntut memiliki keterampilan melakukan stimulus yang bersifat intelektual.

Memiliki anak yang manis dan sehat merupakan dambaan setiap orang tua. Sebaliknya jika anak kita ditakdirkan memiliki ketidaksempurnaan, janganlah disia-siakan karena hal itu belum tentu musibah. Masih ada sisi manis nan indah yang merupakan kelebihan dari anak-anak yang lain. Kita tetap harus ikhlas menerimanya, tetap menjaga, merawat, mendidik, dan memuliakannya sama dengan anak yang lain.

Berdoa demi kebaikan anak-anak kita, karena doa yang mustajab dan langsung diijabah oleh Allah SWT, salah satu di antaranya adalah doa orang tua kepada anaknya. Ini tidak main-main karena Allah SWT akan memberikan kita kekuatan yang luar biasa. Maka rugi jika kita tidak menggunakan kekuatan ini untuk mencintai anak. Siapa tahu anak kita inilah yang akan mengangkat derajat orang tuanya di mata Allah SWT. Amien.

PENULIS, guru SDN Rancaloa Bandung.

1 komentar:

  1. anak kami dulunya juga autis..

    www.autisfamily.blogspot.com

    semoga dapat menjadi wacana bagi kita yang peduli autis.
    riswanto 081578054182

    BalasHapus