"Aik Beak", Paradoks Kehidupan di Senggigi
KOMPAS/KHAERUL ANWAR / Kompas Images
Beberapa penduduk Dusun Duduk Bawak, Desa Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menyambung pipa instalasi air yang bocor karena tidak mampu menahan derasnya aliran air. Pasalnya, pipa bantuan pemerintah itu umumnya digunakan untuk instalasi listrik.
Beberapa penduduk Dusun Duduk Bawak, Desa Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menyambung pipa instalasi air yang bocor karena tidak mampu menahan derasnya aliran air. Pasalnya, pipa bantuan pemerintah itu umumnya digunakan untuk instalasi listrik.
Sabtu, 7 Juni 2008 | 03:00 WIB
Oleh KHAERUL ANWAR
”Silak, pelungguh kayun aik putek, napi aik beak? (Silakan Anda ingin minum air putih atau air merah?),” kata Sri Wahyuni (25), warga Dusun Pelolat, Desa Lembahsari, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Aik putek doang, cukuuup (Air putih saja, cukup),” jawab seorang anggota staf Kantor Camat Batu Layar yang datang ke Dusun itu menghadiri acara Maulid. Staf itu pun bertanya dalam bahasa Sasak, Lombok, ”Aik beak nike si berembe ibu? (Tapi air merah itu, yang bagaimana sih Bu ?).” Sri Wahyuni, istri Kepala Dusun Pelolat, H Anwar, pun menjelaskan singkat sambil terkekeh-kekeh.
Aik beak bukanlah tuak (air pohon era yang memabukkan), atau sirup berwarna merah beraneka rasa, melainkan air hujan yang ditampung pada wadah sangat sederhana yang dibuat penduduk.
Wadah itu bisa berupa lubang tanah yang digali pada kedalaman tertentu, bisa juga deretan bambu atau kayu yang ditancapkan pada tanah berbentuk persegi, lalu digelar terpal plastik di dalam persegi, sebagai bak penampung.
Karena wadah dibiarkan terbuka, air tampungan itu menjadi coklat kemerahan akibat beragam daun dan ranting kering yang mengapung berhari-hari di atas air dalam bak. Air inilah yang dipakai untuk mandi, mencuci, bahkan diminum setelah dimasak.
Dusun Pelolat yang berada di perbukitan adalah contoh dari paradoks kehidupan, bila dibandingkan dengan dusun tetangganya di hilir bukit itu, seperti Dusun Senggigi yang jadi obyek wisata. Dusun Senggigi dengan bangunan hotel berbintang, vila, dan tempat hiburan merupakan gambaran kemewahan dan kemakmuran.
Kemiskinan, warga yang tidak mengenyam pendidikan yang wajar, minimnya prasarana, sarana, dan fasilitas umum bagi penduduk seketika tampak di Dusun Pelolat dan 11 dusun terpencil lainnya di Kecamatan Batu Layar itu.
Menurut Camat Batu Layar Galuh Marhaeni, melihat Kecamatan Batu Layar dari jalan raya Meninting dan Senggigi tidak ubahnya lipstick. ”Bila Anda ke puncak bukit itu, atau masuk kampung, maka disitulah tampak realitas kehidupan sosial.”
Kecamatan Batu Layar meliputi 54 dusun, enam desa, berpenduduk 40.753 jiwa (11.410 kepala keluarga/KK). Dari enam desa di Kecamatan Batu Layar, berdasarkan verifikasi data tahun 2007, ada 5.460 RTM dengan anggota RTM/ARTM 18.709 orang. RTM dan ARTM umumnya terdapat di Desa Batu Layar dan Senggigi, tempat hotel dan vila mewah terkonsentrasi.
Dua desa
Karena dusun-dusun di dua desa itu letaknya terpencar-pencar dan berada di perbukitan, menjadikan akses terhadap transportasi dan komunikasi sangat terbatas. Akibatnya, harga barang di hulu lebih mahal dibandingkan dengan di hilir. Beras umpamanya, dijual pedagang keliling Rp 5.000-Rp 5.500 per kilogram, dari harga Rp 4.100 di pasar. Untuk menyiasatinya, warga belanja kebutuhan harian saat menjual sayuran dan buah-buahan seperti nangka, pisang, dan pakis ke pasar kota kecamatan.
Hanya perlu diingat, kawasan obyek wisata Senggigi memberi kontribusi 60 persen bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lombok Barat. Besarnya sumbangsih obyek wisata Senggigi terhadap pemasukan bagi kabupaten itu berbanding terbalik dengan kenyataan, seperti terlihat di Dusun Pelolat dan lainnya, yang dengan susah payah mendapatkan air dan merenda kehidupan ekonominya.
Tengoklah Jumrah (12), misalnya. Siswi kelas VI Sekolah Dasar Duduk Atas Filial SDN 5 Batu Layar, bangun pukul 05.00, kemudian mendatangi lokasi sumber air yang berjarak 2 kilometer dari kampungnya.
Untuk itu, anak ke delapan dari sembilan bersaudara pasangan H Anhar-Rumisah itu, harus naik-turun bukit, sembari menjunjung bakul berisi nangka, pakis, daun pisang, daun sirih, kelapa, dan gula aren. Sampai di lokasi menunggu angkutan umum, hasil bumi itu dibawa ibunya untuk dijual ke pasar.
Seusai mengantar dagangan, Jumrah mampir di tempat mengambil air untuk mandi, kemudian pulang menjunjung seember air. Tiba di rumah pukul 08.00, ia berangkat sekolah berjarak 100 meter dari rumahnya. Walhasil, ”ruang kelas baru dihuni siswa pukul 09.00. Jadi, kami nunggu anak-anak pulang ambil air dulu, baru proses belajar-mengajar dimulai,” tutur Sajidin, guru bantu honorer SD Duduk Atas.
Krisis air amat terasa saat kemarau sebab sebagian warga yang bermukim di perbukitan itu menuju hilir mencari air. Warga Dusun Apitaik, Desa Batu Layar, misalnya, memburu sisa-sisa air sumur gali ke Dusun Kekeran yang berjarak 1,5 kilometer dari dusun itu.
”Kalau mengharap air dari hasil menampung air hujan, paling-paling cukup untuk kebutuhan seminggu. Itu pun di musim hujan sehingga memburu air ke luar kampung menjadi pilihan utama penduduk,” tutur Muhammad Maulud, Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Kantor Camat Batu Layar.
Demi penghematan, gentong tanah penampung air, pancuran dibuat seukuran pipa sedotan air mineral kemasan. Anak-anak pun acapkali ”bolos” sekolah beberapa hari guna membantu orangtua memburu air. Bukan rahasia pula bila penduduk mandi sekali sehari.
”Bahkan kalau sudah bergaul dengan istri, kami harus mandi di kali, tidak cukup mandi besar pakai air di gentong. Kami seharian di kali, sekaligus mencuci pakaian,” ujar Musanip, warga Dusun Duduk Bawak, Desa Batu Layar, berkelakar.
Pergi-pulang sungai-rumah memerlukan tenaga ekstra untuk menyusuri jalan setapak dan curam. Warga pulang dari sungai yang airnya terkadang bercampur kotoran hewan dan manusia itu, setelah jemuran kering.
Memang selagi warga mengalami paceklik air, jajaran Pemerintah Lombok Barat, khususnya Perusahaan Daerah Air Minum Lombok Barat, menyuplai air bersih ke beberapa bak penampungan yang letaknya dianggap strategis untuk dijangkau masyarakat. Umpamanya warga Duduk Atas dan beberapa dusun terdekat mendapat giliran kiriman air tiap hari Senin, Rabu, dan Sabtu.
Pernah pula warga Dusun ini mendapat bantuan pipa dari Bappeda Lombok Barat. Pipa itu digunakan mengalirkan air dari sumber ke bak penampungan. Tetapi pipa sumbangan itu tidak berumur panjang alias jebol hampir di semua lokasi. Pasalnya, pipa bantuan itu biasa dipakai untuk instalasi listrik bagi rumah tangga.
”Sebetulnya sumber air masih ada di tiap dusun terpencil itu. Saking warga tidak punya dana untuk membangun instalasi, air itu belum dimanfaatkan secara efektif,” ujar Muhammad Maulud.
Komentar itu agaknya menunjuk kepada komitmen yang kuat atas hajat hidup orang banyak, apalagi persoalan yang dikemukakan adalah kebutuhan air bersih. Membangun infrastruktur air bersih agar masyarakat Dusun Pelolat dan lainnya tidak lagi mengonsumsi aik beak yang mengancam kesehatan itu mestinya menjadi perhatian serius Pemerintah Lombok Barat, mengingat kawasan itu sebagai corong pembangunan pariwisata Lombok umumnya.
Perhatian yang kemudian diwujudkan itu agaknya terasa lebih arif, selain menjadi kunci bagi aparat pemerintah untuk memperbaiki citra-wibawa pelayanannya yang kian bermakna kepada rakyatnya….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar