McGyver dari Makassar
KOMPAS/AGUNG SETYAHADI / Kompas Images
Prototipe robot pemadam kebakaran menyemprotkan air saat sensor panas mendeteksi api dari korek yang dipegang mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan. Unhas sejak 2005 mengembangkan penelitian robot cerdas yang akan diaplikasikan untuk dunia kesehatan, pertahanan, dan pertanian pangan.
Prototipe robot pemadam kebakaran menyemprotkan air saat sensor panas mendeteksi api dari korek yang dipegang mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan. Unhas sejak 2005 mengembangkan penelitian robot cerdas yang akan diaplikasikan untuk dunia kesehatan, pertahanan, dan pertanian pangan.
Sabtu, 7 Juni 2008 | 03:00 WIB
Oleh Agung Setyahadi dan Nasrullah Nara
Lupakan sejenak unjuk rasa kenaikan harga bahan bakar minyak ala mahasiswa Makassar yang lekat dengan bentrokan. Di balik tayangan televisi yang ”riuh rendah” tentang demonstrasi mahasiswa di jalanan, ternyata muncul oase penyejuk, yaitu pergulatan kegiatan akademik di bilik ”McGyver dari Makassar”.
Siang itu, akhir Mei 2008, Syamsuar dan enam teman sesama mahasiswa sedang menyempurnakan rancangan robot penjinak bom. Masing-masing menghadap layar komputer mengerjakan desain fisik, mekanika, animasi tiga dimensi, dan pemrograman. Di lemari dekat meja kerja ditata robot-robot hasil kreativitas mereka.
Tim Mekatronik dan Robotika Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), telah menghasilkan sejumlah robot, seperti pemadam kebakaran, pengecat, biped (robot berjalan), pengangkut sampah, dan kursi roda otomatis. Kini, mereka sedang menyelesaikan robot penjinak bom bekerja sama dengan Departemen Pertahanan.
Robot line follower buatan mereka juga memenangi juara II Kontes Robot Indonesia. Tim robotika juga memasang remote control pada alat pemanen padi untuk memudahkan panen. Sensor line follower yang dipasang di kursi roda akan diaplikasikan untuk rumah sakit guna memudahkan pasien penyandang kelumpuhan.
Kerja kreatif itu dilakukan di laboratorium robotika yang lebih mirip gudang. Di tengah ruangan teronggok mesin pembangkit listrik tenaga gas. Mesin bantuan Jerman itu tidak difungsikan lagi dan menjadi gantungan jaket dan kaus. Kardus-kardus menumpuk di atas lemari penyimpan robot.
Peralatan kerja juga sangat sederhana. Di ruangan itu hanya ada enam komputer rakitan, empat di antaranya milik mahasiswa dan dua sisanya milik kampus. Laboratorium itu jauh dari ruang kerja robotika modern yang sebutlah bebas debu dan ber-AC. Tambahannya cuma jaringan internet 24 jam.
Namun, keterbatasan bukan penghalang. Mereka seperti telah dirasuki spirit McGyver—tokoh serial televisi populer yang dibintangi Richard Dean Anderson—yang kreatif menciptakan peralatan teknik dalam situasi serba terbatas.
Hambatan utama membuat robot bukan kreativitas, tetapi biaya membeli bahan. Harga enam motor penggerak robot masing-masing Rp 250.000 dan rangkaian elektronik serta kerangka seharga Rp 4 juta-Rp 6 juta.
Mulailah mereka ”menjual” ide-ide kreatif kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang memberikan hibah dana melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Hasilnya, empat proposal pembuatan robot dibantu Rp 2 juta-Rp 6 juta.
Agar lolos seleksi, Ridwan, pemrogram robotika, mengaku, ide penelitian harus segar dan orisinal. Tim robot mereka pun ikut dalam evaluasi PKM seluruh Sulsel di Unhas.
Bagi Syamsuar, keasyikan menggeluti robot itulah yang mengakhiri petualangannya pada berbagai aksi unjuk rasa sebelumnya.
Mahasiswa lain, Zulkifli (pemrogram robotika) mengaku sering risi jika sedang mengikuti lomba robot di luar kota dan ditanya tentang Makassar. ”Stigma negatif telanjur melekat,” ujar Zulkifli seraya mengisahkan seringnya mahasiswa Unhas melakukan aksi unjuk rasa.
Rafiuddin Syam, dosen mata kuliah Robotika, Teknik Mesin Unhas, melihat unjuk rasa itu indikasi sikap kritis. Namun, unjuk rasa bukan satu-satunya, dan tidak sepenuhnya mewakili sikap kritis. Gelora mahasiswa, di mata Syam, perlu dialihkan ke penelitian dan pergulatan ilmiah.
Para orangtua umumnya mendukung penuh kegiatan Syamsuar, Ridwan, Ricky, Muhammad Rahman, Zulkifli, dan Zulfatri yang sering menginap di kampus untuk menggeluti robotika.
Pasangan Lagariting (49) dan Inoncing (40), petani di Sidrap, bangga sekali terhadap prestasi Ridwan, anaknya yang bisa membuat robot. Prestasi Ridwan pun tersebar ke petani Sidrap. ”Saya berharap suatu saat nanti Ridwan bisa membuat robot untuk meringankan petani,” ujar Inoncing, ibunda Ridwan.
Soalnya, kini, terpulang pada mahasiswa Makassar sendiri, memilih jadi McGyver atau puas hanya dengan berdemonstrasi dan bentrokan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar