Jumat, 06 Juni 2008

Promosi Wisata

Optimisme Vs Pesimisme

Kompas/Agung Setyahadi / Kompas Images
Penggemar aktivitas menyelam dan snorkeling bersiap menikmati keindahan alam bawah air di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku.



Jumat, 6 Juni 2008 | 03:00 WIB

Ketika bom meledak, ketika kerusuhan massa terjadi, salah satu bidang usaha yang paling terkena imbas adalah sektor pariwisata. Sebagian negara pun langsung mengeluarkan edaran larangan berkunjung atau travel warning ke Indonesia. Itulah nasib pariwisata kita sejak awal 2000-an.

Seiring berjalannya waktu, satu demi satu negara mulai mencabut larangan berkunjung itu. Dunia pariwisata pun makin bergairah. Pelaku pariwisata berharap pemerintah atau Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) akan terus-menerus berpromosi. Mereka berharap Depbudpar tak hanya berpromosi demi Visit Indonesia 2008 yang didukung anggaran sekitar Rp 150 miliar itu.

Sayangnya, dalam kemasan promosi yang dilakukan Depbudpar itu, sebagian pelaku pariwisata justru merasa tak diajak untuk bersama-sama menyukseskan dunia pariwisata Indonesia. Nico B Pasaka, Koordinator Wilayah Pengurus Pusat Asita, menuturkan bahwa sampai sekarang tak ada upaya pemerintah melibatkan asosiasi agen perjalanan dan wisata di Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai salah satu daerah tujuan wisata.

”Ini jauh berbeda dengan Visit Indonesia tahun 1991. Persiapan dilakukan dua tahun sebelumnya. Kerja sama dengan semua pelaku pariwisata begitu kuat. Paket-paket wisata yang dijual juga jelas, bahkan ada insentif untuk operator wisata asing yang aktif mempromosikan Indonesia,” kata Pasaka.

Andi Wirawan, Marketing Communication Shilla Tour di Jakarta, menambahkan, bisa dikatakan paket yang dijual tetap pilihan tujuan wisata ”klasik” seperti Bali dan Candi Borobudur. Kalaupun ada tujuan wisata yang lain, biasanya merupakan inisiatif setiap pelaku pariwisata.

”Pilihan tujuan wisata yang sudah dikenal tetap ada, tetapi akan lebih baik kalau kita pun mempunyai pilihan tujuan wisata atau acara wisata yang memang berbeda. Kan, Visit Indonesia 2008,” kata Andi yang atas inisiatif sendiri memasarkan Sulawesi sebagai pilihan wisata seperti Tana Toraja, Pantai Losari, dan Manado.

Ketua Asita Surakarta Djunanto Hutomo memperkirakan salah satu penyebab ”belum” suksesnya Visit Indonesia 2008 adalah otonomi daerah. ”Sekarang ini kerja sama itu hanya bersifat koordinasi, tidak bisa instruksi,” ucapnya.

Meskipun, kata dia, ada atau tidak Visit Indonesia 2008, sesungguhnya para pelaku pariwisata selalu berusaha maksimal mendatangkan turis asing. ”Kami orang swasta harus selalu bekerja keras, lho kami kan dapat makan dari sini,” kata Djunanto.

Malah ditunda
Bukannya mengambil hati turis asing berkaitan dengan Visit Indonesia 2008, acara wisata yang sudah dijadwalkan di Jambi, misalnya, malah ditunda. Tiga agenda wisata itu adalah Festival Candi Muaro Jambi yang jadwalnya 28 Mei-2 Juni ditunda pemerintah kabupaten ke Juli, Festival Danau Kerinci yang semula berlangsung Juli menjadi November, dan Festival Arung Jeram di Kabupaten Merangin dari 30 Mei menjadi 25-28 Juni.

Maka, sejumlah turis asing yang telah memesan paket perjalanan ke tempat wisata itu pun kecewa. Mereka lalu membatalkan kunjungan. ”Kami juga kecewa, tetapi tak dapat berbuat banyak. Penundaan itu diputuskan kabupaten sebagai penyelenggara,” kata Mualimah, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jambi.

Padahal ketiga agenda wisata itu sejak awal tahun 2008 telah dipromosikan ke berbagai pihak. Ja’far Rasuh, Kepala Subdinas Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, menambahkan, penundaan itu setidaknya mengakibatkan turis asal Taiwan yang telah memesan paket wisata ke Jambi membatalkan perjalanan mereka. Bahkan turis asal Jepang yang memesan paket perjalanan Sumatera Utara-Jambi dan telah berada di Medan (lalu menuju Jambi) harus menelan kekecewaan.

”Festival Candi Muaro Jambi itu sudah berlangsung tujuh tahun dan terbukti menarik wisatawan. Tahun lalu puluhan wisatawan asal Taiwan, Jepang, Belanda, dan Amerika datang,” kata Ja’far Rasuh. Di luar waktu festival, situs bersejarah Candi Muaro Jambi itu pada 2007 dikunjungi 600.000 wisatawan.

”Mestinya jadwal tidak boleh diubah karena bisa menurunkan citra Jambi,” keluh Mualimah.

Inisiatif sendiri
Walaupun kedodoran di sana-sini, Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Utara Edwin Silangen optimistis, dengan Visit Indonesia 2008 jumlah turis ke daerah ini bakal meningkat. Alasannya, Sulut setidaknya punya dua agenda wisata besar, yakni Festival Bunaken dan Festival Bunga Tomohon.

Rencananya pada Festival Bunga Tomohon, Juli 2008, berlangsung pawai 10 juta kuntum bunga sepanjang 10 kilometer. Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar memastikan 40 kota di Indonesia mengikuti festival yang disebut-sebut bakal mengalahkan festival bunga di Pasadena, Amerika Serikat itu.

”Kami sudah dapat kepastian keikutsertaan 40 kota itu. Banda Aceh, misalnya, akan mengikuti pawai dengan konfigurasi bunga berbentuk masjid Baiturrahman,” katanya.

Seakan tak mau ketinggalan dari Sulut, Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Solo Handartono menargetkan tahun 2008 bisa mendatangkan 1,5 juta wisatawan asing dan domestik. Maka, berbagai kegiatan bernuansa wisata pun dilangsungkan, seperti Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music Festival, dan menjadi tuan rumah Konferensi World Heritage Cities.

Sayang, tak semua kegiatan itu bisa dijual. Bukan karena tak laku, sebab seperti kata Djunanto, berjualan obyek wisata itu tak bisa mendadak, harus dipromosikan minimal enam bulan sebelumnya. Ketua PHRI Solo Soebandono menambahkan, dengan segala keterbatasan itu, pihaknya tetap berusaha meningkatkan pelayanan demi menarik turis asing.

”Kami membentuk kelompok kerja (pokja) dengan PHRI Yogyakarta. Dengan pokja ini kami membuat program bersama untuk menarik turis datang. Meski konsentrasi kami belakangan agak pecah dengan adanya kebijakan tarif nonsubsidi PLN yang mengakibatkan tagihan listrik naik dua kali lipat dan kenaikan harga BBM,” kata Soebandono yang menyebut faktor jaminan keamanan jauh lebih penting bagi turis asing.

Koordinator Wilayah Pengurus Pusat Asita Sulsel Nico B Pasaka juga optimistis Visit Indonesia 2008 yang mengharapkan kunjungan tujuh juta turis asing masih bisa ”terselamatkan” asal pemerintah menggencarkan promosi ke luar negeri dan menjual program sesuai karakteristik setiap kelompok turis.

Andi Wirawan menambahkan, dari sisi biaya, Indonesia mampu bersaing dengan negara tetangga. Ia mencontohkan, biaya berlibur tiga hari dua malam di Pattaya, Thailand, sekitar 325 dollar AS. Sedangkan untuk waktu yang sama di Bali atau Lombok, turis cukup merogoh kocek sekitar 200 dollar AS.

Maka, kata Pasaka, dengan promosi yang lebih baik, seperti mengundang wartawan asing berkunjung ke sejumlah tujuan wisata unggulan dan menuliskan pengalaman mereka, membangun kerja sama dengan operator pariwisata luar negeri, dan memperpanjang masa berlaku visa wisata, kita masih bisa berharap target Visit Indonesia 2008 akan tercapai. (ANG/CP/EKI/ITA/NAR/ROW/ZAL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar