Jumat, 06 Juni 2008

Pemanfaatan Lahan Kering

Dilema Petani Kaki Gunung Manglayang

Jumat, 6 Juni 2008 | 15:09 WIB

Inilah keseharian Atang (65), petani cabai di Kampung Cicayur, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Setiap kali panen cabai, ia harus berjalan menanjak sekitar 250 meter di kaki Gunung Manglayang untuk mengantarkan hasil panennya ke bandar sayur sebelum dibawa ke Pasar Induk Caringin, Bandung.

"Tujuh belas kilogram!" si bandar meminta asistennya untuk mencatat. Atang pun menerima uang Rp 170.000. Meskipun tidak terlalu banyak, harga beli ini merupakan harga tertinggi cabai merah keriting selama satu tahun terakhir.

"Harga cabai kan tidak tentu, kadang jatuh sampai Rp 6.000 per kilogram," kata Atang yang sudah 20 tahun bertani cabai di kaki Gunung Manglayang, sebelah utara Kota Bandung. Meskipun petak lahan yang dimilikinya begitu kecil, yaitu 80 tombak (1 tombak sama dengan 14 meter persegi), hasilnya bisa menambal kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Penuturan serupa meluncur pula dari petani kol dan kentang, Endang (55). Melihat permintaan pasar yang tinggi, dan hasil jual yang cukup "berbunyi", Endang kerap memanfaatkan lahan perbukitan untuk bertanam sayuran.

"Setiap 100 tombak itu bisa menghasilkan sekitar 2 ton kol atau 2 ton kentang. Dijual di pasar induk Rp 3.000 per kilogram," ujar Endang. Modalnya Rp 470.000 untuk pembelian bibit tanaman dan pupuk.

Penanaman tanaman hortikultura memang berprospek dan berpangsa pasar cukup besar. Hasil panen sayur Desa Cimenyan, misalnya, didistribusikan hingga ke Cibitung, Pasar Induk Kramat Jati (Jakarta), dan Bekasi. Tak mengherankan, sekitar 200 penduduk Kampung Cicayur, Desa Cimenyan, berprofesi sebagai petani sayur.

Harus terukur
Satu hal yang tidak mereka ketahui, kawasan utara Kota Bandung merupakan kawasan konservasi yang berfungsi sebagai daerah resapan air. "Kawasan itu tidak seharusnya ditanami tanaman hortikultura," kata anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin.

Menurut dia, daerah resapan air seharusnya ditanami pepohonan yang menambah daya dukung tanah dalam penyerapan air. Dengan pembukaan lahan yang begitu besar untuk tanaman hortikultura, fungsi lahan tidak lagi optimal menampung air. Akibatnya, air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan bercampur lumpur dan terbuang ke dataran yang lebih rendah. "Pada musim hujan, dataran rendah akan kebanjiran, sementara pada musim kering akan kekeringan," kata Sobirin.

Bio-environmental Conservationist Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Erri N Megantara mengatakan, pemanfaatan lahan kering seperti di kaki Gunung Manglayang bukanlah hal yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi, pembukaan lahan untuk tanaman hortikultura harus terukur dan terencana.

Pembukaan lahan tanaman sayur di lereng gunung seharusnya diselingi dengan pembukaan sabuk hijau (green belt) yang menyelingi setiap lahan tanaman sayur. "Setiap sabuk hijau ditanami tanaman keras yang menyerap air, seperti kopi, pinus, kayu-kayuan, kayu manis, dan mangga," ujar Erri.

Dengan begitu, setiap air yang mengalir dari tanaman sayur dapat ditampung dan diserap pepohonan yang berada di sabuk hijau. Sayangnya, hingga kini belum ada studi atau tindakan dinas kehutanan atau dinas pertanian untuk memberikan solusi seperti itu. (A15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar