Sabtu, 12 Juli 2008

Kartun

Ketika Penguin Kegerahan 


KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images 
Pameran kartun juara bertema "Eko-munikasi" di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (11/7) malam berlangsung hingga 17 Juli mendatang. 


Sabtu, 12 Juli 2008 | 03:00 WIB 

Salju yang menyelimuti Kutub Utara itu meleleh. Udara panas. Burung- burung penguin, yang biasanya bersembunyi di balik kulitnya yang tebal, kini kegerahan.

ilham khoiri dan maria hartiningsih

Untuk ngadem, binatang yang imut itu terpaksa mencopoti kulitnya sehingga terbukalah tubuh bugilnya yang keringatan.

Pemandangan ganjil ini menggelitik. Soalnya, kita terbiasa membayangkan alam kutub yang tertutup salju dan penguin yang nyaman dengan kulitnya yang tebal. Mungkinkah ancaman anomali alam itu jadi kenyataan?

Monolog semacam itu terbetik saat kita memandangi kartun berjudul ”Climate Exchange” karya Didie SW, kartunis yang jadi ilustrator harian Kompas. Gambar pemandangan sederhana, anatomi tubuh penguin yang naif, dan adegan yang satir itu merangsang kita untuk merenung, seberapa parah kerusakan alam telah menggerogoti kehidupan bumi ini. Tanpa mengusung jargon-jargon kampanye lingkungan, karya ini mengulik ancaman pemanasan global.

”Penguin kegerahan itu hanya sindiran atas ironi alam yang berubah,” ujar Didie.

Kartun ini adalah salah satu dari puluhan kartun yang ditampilkan pada Pameran Kartun Juara bertema ”Eko-munikasi” di Bentara Budaya (BBJ) Jakarta, 11-17 Juli. Pameran dibuka oleh Duta Lingkungan Hidup Indonesia, Valerina Daniel, Jum'at (11/07) malam.

Selain Didie SW, pameran diikuti lima kartunis lain, yaitu GM Sudarta, Hanung Kuncoro, Jitet Koestana, Muhammad Nasir, dan Tommy Thomdean. Didie, GM Sudarta, Jitet, Thomdean bekerja di Kompas, sedangkan Hanung dan Nasir di tabloid Bola.

Sesuai dengan tema, semua kartun itu mengomunikasikan wujud kebangkrutan ekologis yang semakin mengancam kehidupan: pemanasan global, pembalakan liar, kerusakan lingkungan, polusi udara, kekeringan, dan segenap dampaknya. Semuanya akibat ulah manusia!

Kartun berjudul ”Urban Legend” karya Thomdean sangat tepat menggambarkan egoisme manusia. Karya ini melukiskan jutaan bangunan padat yang membentuk gurita raksasa. Tentakel-tentakel binatang ini—yang juga dibentuk dari bangunan—membelit pepohonan hingga akar-akarnya tercerabut.

”Urban Legend” merekam kerakusan pengembangan kota yang diibaratkan gurita raksasa yang tak pernah puas melahap ruang terbuka hijau. ”Ini protes saya terhadap kebijakan tata ruang di kota besar yang dikendalikan modal,” kata Thomdean, pengagum kartunis Gary Larson itu

Karya Jitet berjudul ”Revolusi Hijau” juga menggoda. Kartunis kalem ini menampilkan ledakan besar membentuk cendawan raksasa berisi jutaan pepohonan yang meledak ke angkasa. ”Saya ingin memutarbalikkan logika. Kenapa kita tidak meledakkan bom lingkungan yang memperpanjang usia bumi dan menyelamatkan manusia daripada meledakkan bom atom yang membunuh kehidupan?” kata Jitet.

GM Sudarta mengaitkan masalah lingkungan dengan persoalan sosial-politik-ekonomi. Dalam ”Inikah Bumiku?”, dia menghadirkan bocah kurus berkulit hitam jongkok di tanah yang retak. Perut buncit bocah ini berupa bola dunia merah. Tangan kanannya menggenggam granat yang hendak dikunyah oleh mulutnya yang menganga, sedangkan tangan kiri memegang mangkuk berisi peluru.

Nestapa ini segera mengingatkan kita pada nasib anak-anak di sebagian Afrika yang dicekoki masa depan yang gelap akibat perang, perebutan kekuasaan, dan kehancuran lingkungan.

Refleksi
Kartun-kartun itu menyadarkan bahwa kehancuran lingkungan di Bumi bisa berarti kehancuran kehidupan dan masa depan. Pilihannya ada di tangan manusia, makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran.

”Dengan kartun, pesan lebih mudah disampaikan,” kata Tomdean, yang sering membantu kampanye lingkungan hidup sejak masih kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kerusakan lingkungan dan ancaman bencana alam dihadirkan dalam gambar-gambar imajinatif yang dramatis dan menggelitik.

Keprihatinan para kartunis pada ancaman bencana lingkungan tidak menebarkan suasana murung karena diungkapkan dalam gambar yang penuh metafor, satiris, nakal, segar, konyol, atau lucu.

Pameran ini menarik karena sebagian karya yang ditampilkan pernah memenangi penghargaan kompetisi kartun di tingkat internasional. ”Urban Legend” karya Thomdean, misalnya, menyabet penghargaan Best Cartoon Urbanization and Life di India tahun 2002. ”Revolusi Hijau” karya Jitet adalah reproduksi dari karyanya yang menggondol Gold Prize Seoul International Cartoon Festival di Korea tahun 1997. Karya Jitet lain, ”Future Children”, juga menjadi Juara III Greekartoon di Yunani tahun 2007.

Kemunculan karya-karya juara dalam satu kesempatan bakal memuaskan hasrat penggemar yang ingin menikmati kartun yang punya gagasan dan penggarapan visual yang baik. Memang, sebagian karya masih mengandalkan ikon-ikon klise yang mencerminkan keterbatasan diksi rupa, seperti gambar bonggol-bonggol pepohonan yang ditebang batangnya—yang sering kita jumpai dalam kampanye antipembalakan liar.

Meski begitu, semua kartun itu pada akhirnya mengingatkan pada ujaran para bijak, ”the frogs does not drink up (and destroy) the pond in which he lives.” Suatu peringatan untuk segera meninggalkan perilaku serakah, kecuali kalau kita mau lebih bodoh dari kodok!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar