Hidup di Jakarta dengan Honor Rp150.000 Per Bulan
KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images
Sengaja membuka pintu kelas agar mendapat cahaya, Karyana, guru honorer kelas pagi maupun sore di Madrasah Ibtidayah Nurul Iklas, Kampung Tanah Merah, Muara Baru, Jakarta, mengajar dalam kesederhanaan, Kamis (24/7). Selain menjadi guru, dua kali seminggu ia juga bekerja di pelelangan ikan untuk menambah penghasilan.
Sengaja membuka pintu kelas agar mendapat cahaya, Karyana, guru honorer kelas pagi maupun sore di Madrasah Ibtidayah Nurul Iklas, Kampung Tanah Merah, Muara Baru, Jakarta, mengajar dalam kesederhanaan, Kamis (24/7). Selain menjadi guru, dua kali seminggu ia juga bekerja di pelelangan ikan untuk menambah penghasilan.
Sabtu, 26 Juli 2008 | 03:00 WIB
Indira Permanasari
Indira Permanasari
Ruangan remang-remang berpencahayaan dari sebuah lubang angin di bagian belakang itu penuh dengan sekitar 20 murid kelas IV. Pandangan anak- anak itu tertuju sepenuhnya kepada Karyana, guru mereka.
Sudah lima tahun Karyana menjadi guru honorer di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Ikhlas di Muara Baru, Jakarta Utara. Sesuai dengan nama sekolah, Karyana pun dibayar seikhlasnya. Sebulan sekali ia mendapat honor Rp 150.000 dengan tanggung jawab mengajar di kelas IV pada pagi hari dan di madrasah tsanawiyah yang sama pada siang hari. Karyana juga mengerjakan urusan administrasi sekolah.
Honor itu tentu tidak cukup untuk hidup di Jakarta. Kalau sedang beruntung, dia dapat ikut saudaranya menjual ikan di tempat pelelangan. Bekerja mulai pukul delapan malam hingga tengah malam dengan penghasilan Rp 30.000 hingga Rp 50.000. Daerah Muara Baru memang terletak di pesisir Jakarta. ”Saya masih terkantuk- kantuk pada pagi hari, tetapi tetap mengajar,” ujarnya.
Istri dan anaknya sengaja ditinggal di Sumedang, Jawa Barat, untuk berhemat. Dia sendiri hidup menumpang pada kerabat yang tinggal dekat madrasah.
Bagi Karyana, menjadi guru merupakan pengabdian. Apalagi murid-murid di madrasah itu kebanyakan anak yang miskin secara ekonomi. Mereka pun sepenuhnya mengandalkan madrasah tersebut untuk menimba ilmu. Murid hanya dimintai infak Rp 10.000 per bulan, itu pun sukarela. Tidak ada jual beli buku dan seragam.
Karyana tidak sendiri. Di SMA Cordova, Penjaringan, Jakarta Utara, Ahmad Fauzie (49) saat ditemui sedang menulis surat lamaran kerja untuk dikirimkan ke sebuah sekolah, calon sekolah kedua tempatnya mengajar. Sudah 10 tahun ia menjadi guru honorer di sekolah itu.
Upah mengajar sebesar Rp 300.000 per bulan di satu sekolah tentu tidak cukup. Selain mencari tambahan dengan mengajar di sekolah lain, Fauzie yang jago bermain gitar itu kerap ikut ”manggung” di beberapa hotel bersama grup musik.
Guru honorer lainnya, Humayaroh, bahkan mengajar di tiga sekolah sekaligus, yakni di SMP Cordova, SMP Fatahillah, dan SMP Negeri 32. Ketiga sekolah itu masing-masing membayarnya sekitar Rp 300.000. Honor dihitung dengan rumus ”jam mati” begitu istilah para guru. Kerja mereka sebulan dibayar seminggu. Ambil contoh, dalam seminggu guru mengajar 10 jam pelajaran. Dengan upah per jam pelajaran sebesar Rp 10.000, maka honor sebulan Rp 100.000. Para guru tak ada yang tahu asal-usul penghitungan itu. Sedangkan uang transportasi setiap kali datang sekitar Rp 10.000.
Mengajar di tiga sekolah sekaligus tentu melelahkan. Namun, Humayaroh yang lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jurusan Tarbiyah, itu bercita-cita menjadi guru sejak kecil. ”Ini sudah risiko dari cita-cita saya,” ujarnya.
Dia juga menyadari kemampuan yayasan membayar guru masih terbatas. Sebagian besar murid datang dari keluarga miskin.
Nasib di tangan sekolah
Gaji di bawah upah minimum regional yang di DKI Jakarta sekitar Rp 900.000 itu baru satu masalah. Lebih dalam lagi, ”nasib” guru honorer berada di tangan sekolah dan tanpa perjanjian hitam di atas putih. Mereka bekerja di sekolah, umumnya swasta, tanpa sehelai pun surat kontrak atau perjanjian kerja. Ketika sekolah enggan memakai guru tersebut, dengan mudah mereka mengeluarkannya.
Hal itu dialami Ade (45), guru di sebuah sekolah menengah kejuruan swasta di Jakarta Timur. Ade mulai mengajar di sekolah itu tahun 1995 berbekal selembar surat tugas berisi kewajiban dirinya sebagai guru honorer. Surat tugas itu diperbarui setiap tahun ajaran baru. Namun, tidak demikian tahun ajaran baru ini.
Pekan lalu, seorang teman Ade membawakan sepucuk surat bersegel. ”Saat dibuka, ternyata isinya pemberitahuan kinerja. Saya disebut tidak memuaskan dan tidak layak mengajar kembali. Tidak ada pemberitahuan atau surat peringatan sebelumnya. Selama 30 tahun menjadi guru, baru kali ini diperlakukan seperti itu,” ujarnya.
Bersama Ade, ada tujuh guru honorer lainnya yang dikeluarkan. Mereka tidak tahu harus mengadu ke mana. ”Kami tidak paham masalah ketenagakerjaan di bidang pendidikan,” ujarnya.
Undang-undang pendidikan yang dibuat pemerintah dan parlemen tidak mengenal kata ”guru honorer” atau ”siswa para honorer”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya menyebutkan kata ”pendidik”. Di dalamnya disebutkan, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang memadai. Mereka berhak atas penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja masing-masing.
Dalam undang-undang, guru diberi hak menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan guna menunjang kelancaran tugas mereka. Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Guru juga sering disalahkan, baik oleh pemerintah maupun orangtua siswa dalam banyak persoalan.
Dalam kondisi guru honorer seperti inilah, masa depan bangsa dititipkan. (LKS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar