MENGAPA penutur bahasa Indonesia sering kali masih ragu-ragu menggunakan bentuk kata - terutama kata kerja - yang didahului oleh "ng-" atau "ny-", seperti: ngopi, ngantuk, atau nyepi? Kata-kata ini hanya muncul dalam bahasa lisan. Kalau timbul dalam bahasa tulis, kata-kata kerja yang berawal dengan "ng-" atau "ny-" selalu dicetak miring (kursif). Barangkali keragu-raguan ini ada hubungannya dengan pengetahuan asal bahwa kata-kata Indonesia tidak boleh mengandung gugus konsonan pada awal suku kata pertamanya.
Gugus konsonan alias cluster adalah dua atau lebih konsonan berurutan yang terdapat dalam satu suku kata. Gugus konsonan bisa terdapat pada suku kata pertama, kedua, dan seterusnya, atau terakhir. Dan baru gugus konsonan namanya apabila jajaran konsonannya terdapat dalam satu suku kata. Kata karya (kar-ya), misalnya, tidak mengandung gugus konsonan, sebab "-ry-" terdistribusi pada suku kata berbeda.
Bahasa Indonesia sebetulnya telah mengenal empat macam gugus konsonan pada awal suku kata pertama, yakni: kh- (seperti dalam kata khawatir), ng- (ngilu), ny- (nyanyi), dan sy- (syarat). Karena "ng-" atau "ny-" memang merupakan gugus konsonan bahasa Indonesia, kata-kata ngopi, ngantuk, nyepi yang berbeda nuansa maknanya dengan mengopi, mengantuk, menyepi pantas digolongkan sebagai kata Indonesia yang bergugus konsonan pada awal suku kata pertamanya dan baku.
Dahulu, di luar keempat jenis gugus konsonan ini, bahasa Indonesia belum mengenal gugus konsonan lain. Masalah bahasa Indonesia dengan kata-kata yang bergugus konsonan pada awal suku kata pertamanya menyangkut pengimbuhan. Khusus dalam bahasa Indonesia yang pengimbuhannya dapat membawa konsekuensi perubahan bentuk suku kata pertama, gugus konsonan pada awal suku kata pertama perlu diperhatikan.
Penyerapan kata-kata lisan membuat kita terpaksa menerima kehadiran gugus-gugus konsonan lain pada awal suku kata pertama, seperti: bl- (dalam kata blok), dr- (drainase), dw- (dwi), fr- (frekuensi), gl- (glamor), gr- (griya), grh- (grha), khr- (khromosom), kl- (klarifikasi), kr- (kramat, kriya), pl- (plastik), pr- (protes), ps- (psikologi), sk- (skuadron), sp- (spesial), st- (stabil), str- (strategi), sw- (swasembada), tr- (transpor).
Banyak orang mempersoalkan apakah fonem pertama berupa k, p, s, t dari gugus-gugus konsonan kr-, pr-, str-, tr-, umpamanya, harus lebur mengikuti kaidah bahasa Indonesia, apabila kata-kata seperti: kritik, prakarsa, struktur, atau transmigrasi mendapat awalan me-? Satu pihak menyatakan fonem-fonem pertama tersebut mesti ikut luluh mengikuti kaidah menjadi mengritik, memrakarsa, menytruktur ("Bagaimana membacanya, Bung?"), dan menransmigrasi.
Namun sebetulnya kaidah pengimbuhan terhadap kata-kata yang mengandung gugus konsonan pada awal suku kata pertamanya sudah jelas, yaitu bahwa gugus konsonan pada awal suku kata pertama tidak mengalami pelesapan bila mendapat awalan me-. Dengan berpegang kepada kaidah ini, konsonan pertama semua kata yang mengandung gugus konsonan pada awal suku kata pertamanya pun tidak luluh jika memperoleh awalan me-. Bentuk-bentuk: mengkhawatirkan, mensyaratkan, mengkritik, menggrhakan, mengkramatkan, mempraktikkan, memprotes, menstabilkan, mentransformasikan kiranya lebih afdal. Semoga pendapat ini berterima.
Pendapat lain menyarankan agar kita jangan ikut arus. Tidak perlu menambah gugus konsonan baru ke dalam bahasa Indonesia. Cukup kepada semua suku kata pertama gugus konsonan liyan disisipkan satu vokal ("e"), maka semua masalah pengimbuhan niscaya sudah teratasi. Frekuensi > ferekuensi, plastik > pelastik, psikologi > pesikologi, stabil > setabil, strategi > setrategi, transpor > teranspor. Ini juga sebuah pilihan.***
LIE CHARLIE
Sarjana Tata Bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar