Belajar dari Korea Selatan
Oleh Sri Hartati Samhadi
Jumat, 18 Juli 2008 | 01:34 WIB
Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China, bergurulah pada strategi pembangunan ekonomi dan industrialisasi pada Korea Selatan. Mungkin itu adalah pepatah paling tepat untuk Indonesia. Korsel adalah negara yang dalam empat dekade sejak merdeka tahun 1945 mampu melakukan transformasi ekonomi secara dramatis.
Dari semula salah satu negara pertanian tradisional paling miskin yang baru bangkit dari puing-puing Perang Korea dan penjajahan Jepang, menjadi negara industri modern paling dinamis dan diperhitungkan di dunia.
Dekan Graduate School of International Studies, Seoul National University, Taeho Bark, menggambarkan Korsel hingga akhir 1950-an ibarat negara tanpa harapan. Perekonomian waktu itu masih didominasi sektor pertanian tradisional, miskin, nyaris tanpa sumber daya alam (SDA), dan inflasi tertinggi di dunia.
Begitu miskinnya, menurut Deputi I Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Anne O Krueger, untuk sekadar bertahan, Korsel harus bergantung pada utang luar negeri. Saking miskinnya, AS juga sampai memutuskan mengurangi bantuan karena mengira Korsel tidak akan pernah bisa tumbuh.
Tak sampai empat dekade kemudian, Korsel menjungkirkan semua pesimisme dan menyalip negara yang pernah memandang sebelah mata. Sikap AS itu justru membuat Korsel sadar, hanya kebijakan radikal yang bisa membebaskan perekonomian dari stagnasi dan kemiskinan.
Dalam 4,5 dekade, produk domestik bruto (PDB) Korsel meningkat 420 kali lipat dari 2,3 miliar dollar AS (1962) menjadi 969,9 miliar dollar AS (2007), sementara PDB per kapita naik 230 kali dari 87 dollar AS menjadi 20.045 dollar AS per tahun.
Korsel juga mencatat pertumbuhan ekspor rata-rata di atas 30 persen per tahun selama tiga dekade lebih. Nilai ekspor melonjak dari 3 persen dari PDB (1962) menjadi 37 persen dari PDB (2000). Ekspor yang sebelumnya 88 persen berupa produk primer, tahun 2004 sekitar 97 persennya berupa manufaktur teknologi tinggi.
Volume perdagangan meningkat 66 kali lipat dari 11 miliar dollar AS (1974) menjadi 728 miliar dollar AS (2007). Ini menempatkan Korsel sebagai kekuatan dagang ke-11 terbesar dunia. Korsel juga pemilik cadangan devisa terbesar keempat.
Di semua komoditas ekspor unggulan, Korsel hampir selalu mendominasi: nomor satu di industri pembuatan kapal; ketiga di semikonduktor; keempat di digital elektronik; kelima untuk baja, petrokimia, dan tekstil; serta kelima di otomotif.
Kunci sukses
Bagaimana dari negara miskin sumber daya, Korsel bisa membangun kekuatan industri yang begitu dahsyat? Kasus Korsel menunjukkan kunci sukses suatu pembangunan ekonomi bukan terletak pada ada atau tidaknya SDA, tetapi pada ada tidaknya kemauan dan kemampuan manusianya, terutama level pemimpinnya, dan pada pilihan pilihan strategi kebijakan.
Keberhasilan Korsel, menurut ekonom Korea Institut for International Economic Policy, Chuk Kyo Kim, adalah karena negara ini memberikan perhatian besar pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan.
Sukses Korsel juga ditopang oleh tumbuh suburnya jiwa kewiraswastaan, tenaga kerja yang sangat terlatih, pengelolaan utang luar negeri yang baik, pemerintahan yang relatif bersih, iklim perdagangan dunia yang liberal, makroekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik yang relatif bebas dari konflik.
Keberhasilan Korsel jelas didukung budaya kerja keras dan etos kerja yang tinggi. Orang Korsel dikenal sebagai pekerja keras, dengan jam kerja jauh lebih panjang dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) lain. Faktor lain adalah adanya kemitraan kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan tantangan baru.
Dari sisi strategi kebijakan, dari awal penguasa Korsel menyadari pentingnya mengembangkan sektor generatif. Hal itu meliputi sektor-sektor ekonomi unggulan yang secara simultan bisa menjadi sumber akumulasi kapital dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan berbagai industri turunan dan industri terkait, sekaligus sumber inovasi teknologi dan kelembagaan, seperti pada kasus industri baja dan industri pembuatan kapal.
Industri baja yang kuat menjadi katalis bagi tumbuhnya industri otomotif, pembangunan kapal, peti kemas, jalan raya, konstruksi, dan industri perlengkapan rumah tangga, yang saling mendukung dan memperkuat. Sementara itu, industri pembuatan kapal melahirkan industri rekayasa elektrik, elektronik, kimia, material, dan mekanis.
Terbangunnya industri generatif yang kokoh dimungkinkan karena ada dukungan total dari pemerintah, tak hanya insentif dan pendanaan, tetapi juga dihapuskannya berbagai hambatan. Kesabaran, konsistensi, dan ketekunan Korsel mengembangkan industri generatif di awal industrialisasi menunjukkan pentingnya strategi ”memperbesar kue ekonomi” lebih dulu sebagai jalan keluar dari kemiskinan ketimbang sibuk mencari cara untuk menggerogoti kue demi kepentingan diri sendiri seperti terjadi di Indonesia.
Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China, bergurulah pada strategi pembangunan ekonomi dan industrialisasi pada Korea Selatan. Mungkin itu adalah pepatah paling tepat untuk Indonesia. Korsel adalah negara yang dalam empat dekade sejak merdeka tahun 1945 mampu melakukan transformasi ekonomi secara dramatis.
Dari semula salah satu negara pertanian tradisional paling miskin yang baru bangkit dari puing-puing Perang Korea dan penjajahan Jepang, menjadi negara industri modern paling dinamis dan diperhitungkan di dunia.
Dekan Graduate School of International Studies, Seoul National University, Taeho Bark, menggambarkan Korsel hingga akhir 1950-an ibarat negara tanpa harapan. Perekonomian waktu itu masih didominasi sektor pertanian tradisional, miskin, nyaris tanpa sumber daya alam (SDA), dan inflasi tertinggi di dunia.
Begitu miskinnya, menurut Deputi I Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Anne O Krueger, untuk sekadar bertahan, Korsel harus bergantung pada utang luar negeri. Saking miskinnya, AS juga sampai memutuskan mengurangi bantuan karena mengira Korsel tidak akan pernah bisa tumbuh.
Tak sampai empat dekade kemudian, Korsel menjungkirkan semua pesimisme dan menyalip negara yang pernah memandang sebelah mata. Sikap AS itu justru membuat Korsel sadar, hanya kebijakan radikal yang bisa membebaskan perekonomian dari stagnasi dan kemiskinan.
Dalam 4,5 dekade, produk domestik bruto (PDB) Korsel meningkat 420 kali lipat dari 2,3 miliar dollar AS (1962) menjadi 969,9 miliar dollar AS (2007), sementara PDB per kapita naik 230 kali dari 87 dollar AS menjadi 20.045 dollar AS per tahun.
Korsel juga mencatat pertumbuhan ekspor rata-rata di atas 30 persen per tahun selama tiga dekade lebih. Nilai ekspor melonjak dari 3 persen dari PDB (1962) menjadi 37 persen dari PDB (2000). Ekspor yang sebelumnya 88 persen berupa produk primer, tahun 2004 sekitar 97 persennya berupa manufaktur teknologi tinggi.
Volume perdagangan meningkat 66 kali lipat dari 11 miliar dollar AS (1974) menjadi 728 miliar dollar AS (2007). Ini menempatkan Korsel sebagai kekuatan dagang ke-11 terbesar dunia. Korsel juga pemilik cadangan devisa terbesar keempat.
Di semua komoditas ekspor unggulan, Korsel hampir selalu mendominasi: nomor satu di industri pembuatan kapal; ketiga di semikonduktor; keempat di digital elektronik; kelima untuk baja, petrokimia, dan tekstil; serta kelima di otomotif.
Kunci sukses
Bagaimana dari negara miskin sumber daya, Korsel bisa membangun kekuatan industri yang begitu dahsyat? Kasus Korsel menunjukkan kunci sukses suatu pembangunan ekonomi bukan terletak pada ada atau tidaknya SDA, tetapi pada ada tidaknya kemauan dan kemampuan manusianya, terutama level pemimpinnya, dan pada pilihan pilihan strategi kebijakan.
Keberhasilan Korsel, menurut ekonom Korea Institut for International Economic Policy, Chuk Kyo Kim, adalah karena negara ini memberikan perhatian besar pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi agresif di kegiatan penelitian dan pengembangan.
Sukses Korsel juga ditopang oleh tumbuh suburnya jiwa kewiraswastaan, tenaga kerja yang sangat terlatih, pengelolaan utang luar negeri yang baik, pemerintahan yang relatif bersih, iklim perdagangan dunia yang liberal, makroekonomi yang solid, dan kondisi sosial-politik yang relatif bebas dari konflik.
Keberhasilan Korsel jelas didukung budaya kerja keras dan etos kerja yang tinggi. Orang Korsel dikenal sebagai pekerja keras, dengan jam kerja jauh lebih panjang dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) lain. Faktor lain adalah adanya kemitraan kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat, serta kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan tantangan baru.
Dari sisi strategi kebijakan, dari awal penguasa Korsel menyadari pentingnya mengembangkan sektor generatif. Hal itu meliputi sektor-sektor ekonomi unggulan yang secara simultan bisa menjadi sumber akumulasi kapital dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan berbagai industri turunan dan industri terkait, sekaligus sumber inovasi teknologi dan kelembagaan, seperti pada kasus industri baja dan industri pembuatan kapal.
Industri baja yang kuat menjadi katalis bagi tumbuhnya industri otomotif, pembangunan kapal, peti kemas, jalan raya, konstruksi, dan industri perlengkapan rumah tangga, yang saling mendukung dan memperkuat. Sementara itu, industri pembuatan kapal melahirkan industri rekayasa elektrik, elektronik, kimia, material, dan mekanis.
Terbangunnya industri generatif yang kokoh dimungkinkan karena ada dukungan total dari pemerintah, tak hanya insentif dan pendanaan, tetapi juga dihapuskannya berbagai hambatan. Kesabaran, konsistensi, dan ketekunan Korsel mengembangkan industri generatif di awal industrialisasi menunjukkan pentingnya strategi ”memperbesar kue ekonomi” lebih dulu sebagai jalan keluar dari kemiskinan ketimbang sibuk mencari cara untuk menggerogoti kue demi kepentingan diri sendiri seperti terjadi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar