Selasa, 29 Juli 2008

Pendidikan di Jerman

Gratis... Bayar... Gratis (Lagi)... 


KOMPAS/TONY D WIDYASTONO / Kompas Images 

Dhanang Kusumaningtyas (mahasiswa Teknik Elektro-kiri), Charles Wijaya Kusuma (mahasiswa Teknik Informatik-tengah), Philemon Ivan Derwin (mahasiswa Teknik Industri). 



Selasa, 29 Juli 2008 | 03:00 WIB 

Akhir Mei lalu wartawan Kompas, Tonny D Widiastono, berkesempatan melihat dari dekat kehidupan beberapa kampus di Jerman. Negeri penghasil barang-barang berteknologi tinggi ini masih menjadi daya tarik bagi para calon mahasiswa dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Di lain pihak, kampus-kampus di Jerman banyak mengalami kemajuan dan perubahan. Berikut laporannya.

Sisa-sisa pamflet berwarna oranye dengan tulisan warna hitam dan berisi ajakan untuk berdemo bagi mahasiswa Technische Universitat (TU) Darmstadt itu masih tertempel di sana-sini. Meski ajakan itu sudah berlaku sejak 24 Mei 2007, aksi dan gemanya masih terasa hingga satu tahun kemudian. Bahkan, akhir Mei 2008 lalu demo mahasiswa masih terus dilakukan.

Demo itu dipicu keputusan negara bagian Hessen-Jerman yang memberlakukan keharusan membayar biaya studi bagi para mahasiswa. Keputusan ini amat mengagetkan mahasiswa karena selama ini kuliah di negara bagian itu masih gratis. Selain itu, dengan adanya ketentuan membayar kuliah, berarti pemerintah telah menghilangkan hak dan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat (kaya atau miskin) untuk mendapatkan pendidikan.

Atas ketentuan ini, para mahasiswa tegas menolak. Maka, lahirlah pamflet-pamflet berisi ajakan demo. ”Demo. Gegen Studiengebühren. Verfassungsklage” (Demo. Melawan pungutan belajar. Komplain terhadap hal-hal yang tidak konstitusional).

Meski demikian, demo mahasiswa ini bukan sembarang demo, demo disertai penelitian dan penyelidikan. Para mahasiswa menemukan ketentuan yang termuat dalam undang-undang negara bagian bahwa lembaga pendidikan tidak boleh memungut uang dari peserta didik.

Ketentuan inilah yang digunakan sebagai senjata oleh para mahasiswa dalam berdemo. Demo-demo itu ”membawa hasil”. Mulai semester mendatang, kuliah diselenggarakan tanpa pungutan uang alias gratis lagi

Sebagian kecil
Terkait bayar-membayar uang kuliah, Dipl-Ing Chip Rinaldi Sabirin, mahasiswa S-3 Digital Control of Active Magnetic Bearings for High-Speed Drives, Jurusan Teknik Elektro, Institut für Elektrische Energiewandlung, TU Darmstadt, mengemukakan, pembayaran uang kuliah dimaksudkan sebagai ”bantuan” kecil atas beban biaya pendidikan yang harus ditanggung negara.

Selama ini biaya pendidikan mahasiswa teknik di TU Darmstadt sebesar 5.000 euro per tahun per mahasiswa, setara dengan Rp 73 juta (asumsi 1 euro sama dengan Rp 14.600). Untuk membiayai 17.000 mahasiswa TU Darmstadt, setiap tahun diperlukan biaya 85 juta euro.

”Jadi, kalau mahasiswa membayar uang kuliah 500 euro per semester atau 1.000 euro per tahun, yang saya dengar, jumlah itu tidak banyak berpengaruh pada pembiayaan. Memang sudah diperkirakan, suatu saat, belajar di Jerman harus membayar karena semakin banyak negara baru yang menguasai teknologi. Hal ini membuat Jerman tidak menjadi ’penguasa tunggal’ teknologi. Dulu, negara berteknologi kuat hanya Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. Sekarang mulai menyusul Korea Selatan, Taiwan, dan bekas Jeman Timur,” ujar Rinaldi Sabirin.

Ia mengakui, akhir-akhir ini masalah dana membuat Pemerintah Jerman dan beberapa negara bagian kerepotan. Ke mana mereka harus mencari biaya sebesar itu, sedangkan mereka yang berniat belajar ke Jerman terus meningkat. Maka, meski memberi sumbangan kecil, penarikan uang kuliah itu sebenarnya ada manfaatnya bagi perguruan tinggi sendiri. Di Jurusan Elektro TU Darmstadt, misalnya, sudah banyak dilakukan pertemuan untuk pembagian pemanfaatan uang kuliah, terutama untuk pengadaan sarana.

”Bahkan, universitas sudah mensyaratkan alat-alat praktikum baru sudah harus digunakan oleh para mahasiswa baru semester mendatang. Ini memerlukan biaya. Melihat kenyataan ini, meski sudah mengambil uang kuliah, profesor tetap harus mencari dana lain di dunia industri untuk membantu pendidikan,” tutur Rinaldi Sabirin. (baca juga: Membuat Pendidikan Selalu Aktual).

Daya tarik
Selain gratis, mutu pendidikan yang tinggi dan diakui dunia menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak mahasiswa dari seluruh dunia untuk belajar ke Jerman. Hal itu juga diakui Dr Ing Gunadi Sindhuwinata, President Director Indomobil.

”Yang amat menonjol dari pendidikan di Jerman adalah mutu yang bagus dan gratis. Dulu itu semua berlaku pada semua perguruan tinggi di seluruh Jerman. Kalau pun sekarang ada yang harus membayar, jumlahnya tidak besar dan umumnya masih bisa dijangkau. Memang, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Maka, dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, belajar di Jerman adalah yang paling murah dengan mutu yang bagus,” ujarnya.

Salah satu penyebab mengapa mutu pendidikan di Jerman tetap tinggi antara lain karena organisasi yang disentralkan, kurikulum standar yang berlaku pada masing-masing negara bagian. Dan, semua itu diatur. ”Sehingga, kalau orang Jerman asli lulusan gymnasium ingin masuk universitas, mereka harus mendaftar melalui Zentralstelle für die Vergabe von Studienplätzen, semacam pusat penempatan mahasiswa. Sementara itu, bagi mahasiswa asing, mereka harus melalui tahap pendidikan yang disebut studienkolleg selama sekitar delapan bulan.

”Dalam hal mutu, Jerman memang tidak kenal kompromi. Ujian hampir selalu berbentuk esai, tidak pernah berbentuk check system. Maka, jika mahasiswa tidak memahami materi kuliah, akan sulit mengikuti ujian. Padahal, di sana ada ketentuan, kalau dua kali gagal pada jurusan yang dipilih, mahasiswa harus keluar, tetapi boleh pindah ke jurusan lain. Sementara itu, proses kuliahnya, selain tutorial, mahasiswa diwajibkan untuk belajar sendiri. Muatan belajar sendiri ini amat tinggi. Jika mahasiswa tidak biasa dan tidak siap belajar mandiri, akan menemui banyak masalah atau kegagalan,” tambah Gunadi.

Soal dosen, mereka umumnya dosen karier. Tetapi, tidak sedikit yang diambil dari dunia industri. Dengan demikian, ada hubungan kuat antara dunia pendidikan dan industri. Soal buku, mahasiswa tidak perlu khawatir karena bibliotek yang lengkap selalu tersedia di mana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar