KOLAM anaerob, untuk pengolahan air kotor secara biologi menggunakan bakteri anaerob, di instalansi pengolahan air limbah (IPAL) PDAM Kota Bandung di Bojongsoang Kab. Bandung. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2004, IPAL Bojongsoang baru bisa melayani 18,67% limbah dari 2.250.000 penduduk Bandung* USEP USMAN NASRULLOH
PENCEMARAN air, merupakan masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan. Berbagai upaya pengendalian pencemaran air yang dilakukan hampir tidak memberikan hasil yang signifikan. Kuncinya satu, kesadaran masyarakat. Selama kesadaran masyarakat berperilaku hidup bersih dan menjaga kelestarian alam masih rendah, jangan harap kita bisa mewariskan air bersih untuk anak cucu.
Secara garis besar, pencemaran air dibedakan menjadi limbah padat dan limbah cair. "Limbah padat adalah pencemaran air berupa sampah padat terutama dari bahan anorganik, biasanya berupa plastik. Sementara limbah cair adalah pencemaran air berupa cairan yang dibuang, baik oleh industri, peternakan ataupun rumah tangga (domestik)," ujar Ir. Ratna Hidayat, peneliti lingkungan keairan di Puslitbang Sumber Daya Air (Pusair), Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum.
Unsur yang terdapat dalam limbah cair tersebut antara lain Nitrogen (N), Phospat (P), Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan Chemical Oxygen Demand (COD). Unsur yang terdapat dalam air yang tercemar tersebut berpotensi mengakibatkan berbagai penyakit mulai dari penyakit kulit hingga diare, muntaber, TBC, dan lain-lain. Selain merugikan bagi manusia yang mengonsumsinya, perairan umum yang tercemar juga merugikan bagi kepentingan air baku industri (ABI), air baku perikanan (Abperi), dan air baku pertanian (Abperta).
Salah satu upaya penanggulangan pencemaran air dari limbah domestik yang dilakukan selama ini adalah dengan sarana instalasi pengolahan air limbah (IPAL). IPAL penduduk terpusat yang dibangun pemerintah Indonesia ada di 11 kota yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Di Bandung, IPAL terdapat di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Limbah dari rumah penduduk disalurkan melalui sistem sewerage, atau saluran pipa. Sistem ini ditangani oleh divisi penanganan air kotor atau limbah domestik PDAM Kota Bandung. Limbah domestik berupa black water dan grey water. Black water adalah air limbah rumah tangga yang bersumber dari toilet/kakus, sementara grey water adalah air limbah rumah tangga nonkakus seperti buangan dari kamar mandi, dapur (sisa makanan) dan tempat cuci.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2004, IPAL Bojongsoang baru bisa melayani 18,67% limbah dari 2.250.000 penduduk Bandung, atau sekitar 420.000 jiwa. Secara keseluruhan, kesebelas IPAL di Indonesia tersebut juga baru bisa melayani sebagian kecil penduduk Indonesia. "Sebelas IPAL yang tersebar di 11 kota di Indonesia baru bisa melayani 1% limbah dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta. Jadi baru sekitar 2.000 penduduk yang terlayani," ungkap Ratna.
Penduduk yang belum terlayani sistem sewerage ini mengolah sebagian limbah rumah tangganya melalui septik tank atau langsung membuangnya ke perairan umum atau diresapkan ke dalam tanah. Sementara itu penduduk yang terlayani sistem sewerage PDAM Kota Bandung pun tidak semuanya bisa dialirkan ke IPAL Bojongsoang.
Menurut Direktur PDAM Kota Bandung, Jaja Sutardja kepada "PR" beberapa waktu lalu, sistem sewerage yang mampu mengalirkan limbah ke IPAL Bojongsoang untuk diolah, baru di wilayah Bandung Tengah-Selatan dan Bandung Timur. Sementara saluran limbah domestik di wilayah Bandung Utara dan Bandung Barat masih dialirkan ke Sungai Citepus tanpa diolah.
Penduduk yang menampung limbah domestiknya dalam septik tank juga tidak sepenuhnya aman, karena risiko pencemaran air tanah oleh septik tank masih tinggi. "Hampir sebagian besar septik tank penduduk belum dilengkapi bidang resapan yang dapat menurunkan sebagian unsur pencemar yang ada. Jika pun septik tank dapat menurunkan sebagian kandungan pencemar, tapi tetap tidak dapat terolah 100%. Sehingga effluent septik tank masih dapat mencemari lingkungan dan air tanah," tutur Ratna.
Sementara itu, pengelolaan limbah industri dilakukan dengan Program Kali Bersih (Prokasih) yang telah dimulai sejak tahun 1989. Prokasih ini ditunjang berbagai peraturan yang pada intinya memberi kewajiban untuk mengolah limbah yang dihasilkan oleh setiap kegiatan termasuk industri. Maka setiap industri diharuskan memiliki sarana IPAL Industri. Namun masih banyak pengusaha yang tidak mengindahkan aturan tersebut. Dalam pemberitaan media massa belum lama ini disebutkan bahwa 400 hektare lahan pertanian di Desa Sukamulya, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung terancam limbah cair.
Limbah tersebut berasal dari sekitar 20 industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Cimande. Artinya, masih banyak pabrik yang tidak dilengkapi sarana IPAL industri. Meskipun keberadaan IPAL industri juga bukan jaminan limbah akan terolah dengan baik. Dalam penelitian yang dilakukan Ratna Hidayat tahun 2004 terungkap bahwa ada sekitar 28 industri tekstil di Kabupaten Bandung yang belum memenuhi baku mutu limbah cair (BMLC).
"Efisiensi pengolahan limbah industri secara fisika dan kimia hanya mampu mereduksi unsur Nitrogen (N) sekitar 5%-30%. Selain itu masih terdapat parameter lain yang belum memenuhi BMLC dari effluent IPAL industri tekstil, yaitu BOD, COD, dan TSS. Limbah industri yang belum memenuhi BMLC tersebut tetap dibuang ke sungai," ujarnya.
Maka tak heran jika program "Cikapundung Bersih 2010" yang dicanangkan Wali Kota Bandung tahun 2005 silam, kini makin tak terdengar gaungnya. Sampah masih saja terlihat di sungai yang tepat membelah Bandung tersebut dan warna kelabu kehitam-hitaman serta bau tak sedap selalu membayangi aliran airnya.
Selain limbah rumah tangga dan industri, limbah peternakan juga potensial mencemari air. Limbah dari 3,8 juta ekor ternak setara dengan limbah penduduk sebanyak 2,8 juta orang. Meski demikian, limbah peternakan di Indonesia belum merupakan prioritas untuk ditangani. Menurut penelitian, kegiatan peternakan di Kabupaten Bandung telah menyebabkan tingginya bakteri total coli di Sungai Citarum hulu, khususnya di daerah Wangisagara, yaitu sebesar 4,6 x 10 (5) MPN/100 ml. Kandungan total coli tersebut telah jauh melampaui persyaratan peraturan baku mutu sumber daya air di Jabar untuk Sungai Citarum, yaitu sebesar 2000 MPN/100 ml.
Kelemahan dan keterbatasan IPAL dalam menangani limbah domestik dan industri membuat kita tidak bisa tinggal diam. Ada alternatif solusi yang ditawarkan Ratna, yaitu pengolahan air limbah dengan ekoteknologi. "Ekotekonolgi adalah pengolahan limbah cair berdasarkan ekosistem dengan tanaman air. Zat pencemar berupa N dan P dapat diserap. Kadar BOD, COD, deterjen dan bakteri patogen juga dapat diturunkan. Selain itu mampu menghilangkan bau tak sedap dan menjernihkan air," ujar Ratna.
Ekoteknologi ini bisa diterapkan dalam skala rumah tangga, perumahan, PKL, industri, dan pengelolaan air secara umum. Kelebihan ekoteknologi selain memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dalam menyerap unsur pencemar air, juga merupakan teknologi yang murah dan mudah perawatannya. Di samping itu, ekoteknologi juga mampu menambah estetika khususnya jika diterapkan dalam skala rumah tangga maupun perumahan.
Meski demikian, pada kasus tertentu, pengelolaan air limbah harus bersinergi antara sistem IPAL dengan ekoteknologi. "Misalnya dalam pengelolaan limbah industri tekstil, tidak bisa masing-masing jalan sendiri. Jika hanya dengan IPAL masih ada unsur seperti BOD dan COD yang tidak bisa terolah. Sementara jika limbah langsung dialirkan ke ekoteknologi, karena limbah tekstil panas maka akan membunuh tanaman air. Jadi harus sinergi, limbah diolah di IPAL dulu baru setelah itu dialirkan ke lahan ekoteknologi," tutur Ratna.
Selain ekoteknologi, penjernihan air dengan bak pengendap berkeping (BPB) dapat menjadi solusi yang mudah, murah, dan efisien. BPB adalah novasi dari bak pengendap biasa yang disempurnakan dengan menggunakan sederet keping pengendap. Fungsinya, memperluas bidang pengendapan sehingga prosesnya dapat berlangsung lebih efektif.
BPB merupakan inovasi dari bak pengendap biasa yang disempurnakan dengan menggunakan sederet keping pengendap. Fungsinya, memperluas bidang pengendapan sehingga prosesnya dapat berlangsung lebih efektif dibandikan dengan menggunakan bak konvensional. (Dety Yektiningsih/Agustin Santriana)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar